Hujan di Senin Pagi
Melissa Tuanakotta 25 Maret 2012Apa yang akan kamu lakukan jika di hari senin pagi kamu mendapatkan udara dingin yang disertai dengan hujan? Hmmm,, ralat hujan yang disertai dengan angin dan badai tepatnya.
Aku yakin, semua sepakat untuk kembali ke kasur, tarik selimut, dan segera melanjutkan mimpi indah yang telah dilewati semalaman. Nikmatnya..., apalagi sebelum lanjut tidur sarapan pagi dulu dengan secangkir kopi hangat dan roti sebagai pasangannya. Sempurna!
Tapi segera ambil jarum lalu pecahkan segala lamunan yang ada di dalam balon pikiran itu.
Pagi ini aku terbangun oleh suara ayam, tidak jauh beda dengan pagi-pagi lainnya. Yang cukup membedakan adalah suara gemerecik dari atas genting. Aku segera membuka jendela dan mendapati pemandangan rombongan air lagi turun dari langit. Rombongan itu tidak datang sendirian ternyata mereka ditemani oleh rombongan petir dan angin kencang.Aku membuka pintu rumah untuk semakin meyakinkan, dan ternyata itu semua benar adanya, bukan fatamorgana di pagi hari.
Dari yang sudah-sudah, jika hujan turun di pagi hari, apa lagi hujan rombongan, bisa dipastikan sebesar 95% murid sekolahku tidak akan berangkat. Banyak alasan selain takut kehujanan lalu sakit. Medan di sini memiliki komposisi tanah lempung, sehingga ketika terkena air hujan otomatis menjadi lumpur. Apalagi dengan keadaan kamar mandi yang berada di luar rumah tanpa atap, lebih baik tidak mandi dari pada mandi sambil hujan-hujanan.
Aku pun sangat berharap hujan ini berhenti sejenak, barang 10 menit saja. Agar kami di sini bisa berangkat ke sekolah. Tapi harapan hanyalah harapan, karena hujan tidak akan berhenti dalam sekali tepuk.
“Bu guru gak bisa menghentikan hujan, tapi hujan juga gak akan bisa menghentikan semangat bu guru,” ujar salah seorang temanku yang menanggapi kicauanku di sosial media tentang hujan di senin pagi ini.
Entah mengapa, kata-katanya seolah memberi semangat kepadaku yang hampir saja menyerah terhadap keadaan. Aku segera menyiapkan peralatan mengajar dan memacu motorku menembus hujan menuju sekolah induk. Perjalanan yang biasanya hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit dari rumah, alih-alih menjadi 45 menit. Aku tidak mau terbang bebas dari motor akibat hujan dan tanah lumpur ini. Aku bukan pemain sirkus yang bisa lompat dari motor, loncat indah, dan kembali duduk di atas motor.
Dari jauh aku sudah bisa melihat bangunan sekolah induk. Aku sedikit memacu lebih kencang, lalu belok memasuki pelataran sekolah dan mendapat sambutan dari bangunan kosong. Tidak ada satu murid pun di sana. Pintu-pintu kelas pun masih berhiaskan gembok. Begitu pula dengan ruang gurunya. Aku mulai mengingat-ingat apa betul sekarang Senin atau Minggu? tapi aku yakin ini hari Senin karena tadi adik angkatku juga pergi ke sekolah. Tapi kenapa tidak ada siapa-siapa di sekolah?
Aku pun segera memarkirkan motorku dan duduk di bangku depan ruang guru. Clingak clinguk, tengok kiri, tengok kanan, tetap tidak ada orang. Ternyata benar mitos itu, jika hujan di pagi hari, maka hari itu akan menjadi hari libur mendadak. Dongkol rasanya.
Tapi tidak lama, terdengar suara bocah dari sudut bangunan. Muncullah si Wahyu, anak kelas 4 yang biasanya tidak tertarik untuk pergi ke sekolah. Aneh memang, yang lain sekolah dia malas, yang lain malas dia sekolah.
“Buk, udah pada pulang buk!” lapornya.
“Gara-gara hujan yah?”
“Bukan loh buk, gak ada gurunya. Tadi ada beberapa, sekarang sih tinggal orang empat buk, yang lain pulang. Tunggu ya buk, aku panggil dulu,” dia pun berlari ke belakang sekolah memanggil teman-temannya.
Tidak lama kemudian datanglah yang lain, dua anak kelas lima dan satu anak kelas 6. Baju mereka basah dan mereka berjalan tanpa alas kaki. Di sini anak-anak memang lebih memilih untuk tidak menggunakan alas kaki, alasannya agar sepatu atau sendal mereka tidak cepat rusak.
Salah satu kelas memiliki pintu yang bolong, sehingga kelas tersebut menjadi pilihan kami untuk berteduh.
Dalam kelas aku banyak berpikir. Apa jadinya kalau tadi aku juga menganggap hari ini sebagai hari libur dan lebih memilih untuk diam di kasur? Anak-anak ini pergi ke sekolah dan pulang tanpa mendapatkan apa-apa, sementara baju mereka basah oleh air hujan. Mungkin sudah tradisi jika hujan di pagi hari maka tidak usah pergi ke sekolah, tapi ternyata ada juga anak yang semangat untuk pergi ke sekolah.
Aku mendengarkan cerita mereka. Tersirat rasa kekecewaan di dalam cerita tersebut. Mereka kecewa karena tidak ada satupun guru yang datang untuk memberikan pelajaran hari ini. Untuk mengobati kekecewaan mereka aku pun mengajak mereka belajar ringan sambil bermain. Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam, dan ketika hujan sedikit reda, aku segera memutuskan untuk pulang.
Aku banyak berpikir hari ini, terutama tentang hujan. Sebenarnya hujan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak pergi ke sekolah. Karena sepanjang perjalanan pulang, aku mendapati murid-muridku sedang bermain di bawah hujan. Apa bedanya dengan mereka kehujanan ketika pergi ke sekolah? Mungkin kondisi jalanan sedikit sulit, tapi walaupun lambat aku bisa tiba di sekolah dengan selamat.
Segala alasan menjadi suatu pembenaran. Aku bukan seorang profesional tapi aku mencoba untuk menjadi profesional. Aku bukan orang yang idealis tapi aku berusaha menjadi orang yang idealis. Aku juga sering mengeluh tetapi aku jadikan keluhan itu sebagai pemicu semangat. Hidup seperti bukan menjadi diri sendiri, tapi justru itulah hidup tidak selamanya tentang diri sendiri. Di sini aku hidup untuk mereka, murid-muridku. Jika hanya memikirkan diri sendiri, aku tidak akan memecahkan balon pikiran tadi dengan jarum, tapi langsung merealisasikan saat itu juga.
Tanpa kita sadari secara penuh waktu itu berjalan dengan cepat. Setiap tarikan nafas, setiap langkah kaki, setiap gerakan jarum jam adalah sebuah sejarah yang tidak bisa diulangi kembali. Apakah satu hari harus kita sia-siakan akibat hujan?
Hujan tidak akan bisa menghentikan semangat seorang guru, hujan juga tidak akan bisa menghentikan semangat murid untuk menerima ilmu. Semoga kalimat ini tidak hanya berarti untuk diriku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda