Hari Guru Penuh Haru

Melissa Tuanakotta 25 November 2011

“Terkadang diriku sering buat mu marah, Namun segala maaf kau berikan...”

Sepenggal bait dari lagu “Terima Kasih Guruku” selalu terngiang-ngiang dalam benakku hari ini. Hari dimana orang-orang memberikan apresiasi untuk mereka yang disebut dengan guru, para pejuang pendidikan yang dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Siapa sangka aku menjadi bagian dari hari guru ini. Mungkin seumur hidupku ini adalah hari guru yang penuh makna dan harapan kepada muridku untuk belajar saling menghargai dan menyayangi.

Aku sudah mulai terbiasa dengan rutinitas aku di sini. Ketika matahari sudah mulai menyapa dunia, ayam-ayam di sekitaran rumahku mulai berkokok dan membangunkanku dari lelap. Mungkin jikalau hanya ada satu ayam aku tidak akan rela untuk bangun dari mimpi indahku. Tapi kalau berpuluh-puluh ayam?

Induk semangku memelihara ayam bangkok dirumahnya. Setiap aku tanya berapa jumlah ayam yang mereka miliki, mereka tidak akan pernah bisa menjawabnya, karena mereka pun tidak akan pernah tahu berapa jumlah ayam-ayam itu. Aku pun mulai terbiasa dengan kehadiran kumpulan ayam itu, padahal dulu aku sangat benci dengan unggas sekeluarga. Tapi kalau berpikir positif, aku sekarang sudah tidak butuh membunyikan alarm untuk bangun, karena mereka si ayam.

Sudah empat kali Jumat aku berada di sini. Setiap Jum’at aku harus memiliki semangat berlebih dan kekuatan penuh. Jangan anggap aku berlebihan, karena beginilah yang harus selalu aku siapkan di hari Jum’at. Mengapa? Karena aku harus selalu siap memimpin olahraga seluruh siswa, dari kelas 1 hingga kelas 5, yang berada di SD lokal jauh Indraloka 2 ini.

Satu hal yang membuat hatiku tersentuh pagi ini, salah satu temanku mengucapkan:

 “Selamat hari guru @ratucumi”.

Aku masih sering lupa saat ini aku sedang menjadi seorang guru. Aku tidak pernah tahu arah dan tujuan hidupku, selalu saja berubah-ubah sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranku. Waktu masih berseragam putih merah aku ingin menjadi seorang pembalap, ketika berseragam putih biru ingin jadi penyiar radio, lalu besar dikit lagi kira-kira waktu aku berseragam putih abu-abu aku ingin menjadi pemadam kebakaran. Setelah itu aku ingin menjadi dokter, tapi nasib berkata lain karena aku malah kuliah di jurusan agrobisnis. Perjalanan belum berakhir, karena aku lulus bukan dengan gelar sarjana pertanian, tapi sarjana ilmu komunikasi. Ya, setelah dua tahun aku bergelut di dunia pertanian, tiba-tiba aku ingin menjadi seorang wartawan dan segera pindah jurusan. Setelah lulus, aku memang sempat bekerja di perusahaan media cetak, tapi lagi-lagi aku putar arah dan di sinilah aku sekarang menjadi seorang guru.

Lagi-lagi aku harus memutar otak bagaimana caranya agar murid-muridku bisa ikut memperingati Hari Guru. Mengingat tempo hari mereka pun tidak tahu apa itu hari pahlawan. Untunglah hari ini hari Jum’at, seperti apa yang aku katakan tadi, hari ini aku mempunyai kuasa penuh terhadap seluruh murid. Aku sudah merancang beberapa skenario dalam benakku untuk mereka, yang aku jamin akan membuat mereka mengenang Hari Guru ini dengan penuh rasa bahagia.

Aku melangkah dengan pasti, seorang diri, dengan menggunakan seragam olahraga yang aku dapatkan dari Indonesia Mengajar. Seragam berwarna biru menyala yang tentu saja akan menarik perhatian orang-orang yang melihatku. Dari kejauhan ketika aku hampir tiba di sekolah aku sudah mendengar ada yang berteriak.

“Masuuuuuuuuuuuuuuuuk!!! Bu Melissa sudah datang”

Aku tersenyum, aku yakin mereka akan bahagia hari ini. Aku akan mengadakan senam pagi dengan menggunakan lagu “Aku Bisa”. Aku sudah mempersiapkan semuanya, dari mulai laptop hingga speaker portable yang siap menyala ketika aku pasang. Tapi apa yang terjadi? Speakernya mati total. Suara yang terdengar hanya sayup-sayup seperti berbisik, kalah dengan suara murid yang berteriak tidak sabar untuk segera mulai senam.

Oh Tuhan, mengapa ini harus terjadi. Ketika aku sedang mempersiapkan semua ini dengan segala kendala teknis,  yang ada tiba-tiba aku mendengan suara tangis dari arah kelas 3. Kelas yang letaknya tepat di sebelah kelasku. Aku pun segera menghampiri kelas itu.

“Ada apa ini?”

“Itu loh bu, si Fitri aku kan pingin lihat bukunya bu. Tapi dia ga mau kasih,” kata seorang anak yang bernama Sane. Anak yang bernama Fitri pun nangis semakin menjadi-jadi.

“Tapi si Sane mukul mukanya Fitri Bu,” adu salah seorang anak yang aku lupa namanya siapa.

Si Sane yang tadinya berusaha mencari dukunganku langsung memalingkan muka dan bergabung dengan teman-temannya. Aku memanggil Sane dan menanyakan apakah benar dia memukul teman perempuannya. Ia tidak mau mengaku. Sekali lagi aku bertanya kepadanya dan dia pun malah tidak menggubrisku. Aku mulai bertanya dengan sedikit tegas.

“Sane, apa benar kamu memukul temanmu?”

Sane diam

“Sane coba tolong, ketika diajak bicara oleh orang lain tatap mukanya,”

Sane tetap diam

“Sane apa kamu tidak mendengar Ibu? Atau kamu sudah tidak mau mendengarkan Ibu? Kalau kamu sudah tidak mau lagi mendengarkan ibu, ibu tidak akan ikut campur dengan masalah kalian. Atau sudah tidak mau lagi diajar oleh ibu?” kataku dengan sangat amat tegas.

Salah seorang anak melemparkan celetukkan “iya” ketika aku bertanya apakah mereka tidak mau lagi diajar olehku. Jujur rasanya aku sedikit goyah dan seluruh bagian tubuh pingin rontok satu-satu dari mulai ujung kepala hingga ujung kaki. Hasil rontokkannya pun aku harap menjadi serpihan debu yang hilang bersamaan dengan tiupan angin.

“ Apa benar seperti itu?” tanyaku.

Pertama aku hanya mendapatkan jawaban hening, lalu disambut dengan penyangkalan bahwa mereka masih ingin diajar olehku. Dan mereka melontarkan nama seorang anak, Rendi, sebagai tertuduh yang menyeletukkan kata “iya”.

Ini bukan kejadian sekali dua kali anak kelas 3 bikin onar. Aku terkadang merasa jengah ketika harus mengatasi bocah-bocah yang ada di kelas ini. Aku ingin sekali memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Mungkin ini saatnya mereka belajar mengambil resiko dari apa yang telah mereka putuskan. Aku menarik nafas panjang dan membuat keputusan bulat, dan mengatakan:

“Baiklah, kalau memang seperti itu, Ibu akan menyerahkan sepenuhnya kelas tiga kepada wali kelas kalian. Ibu sekarang akan memberikan pelajaran olahraga dulu dan kalian bebas untuk mengikuti pelajaran lain selain olahraga,” tanpa panjang lebar aku pergi meninggalkan mereka.

Aku tetap mengajak murid-muridku senam walaupun tanpa musik. Perasaanku sangat kacau saat itu. Seolah-olah meledak bagai bom atom, aku memberikan hukuman untuk satu kelas. Ketika aku berada di lapangan, anak-anak kelas 3 ikut berbaris. Dengan tegas aku memberikan instruksi kepada mereka untuk membentuk barisan sendiri dan olahraga sesuka hati tidak perlu mengikuti aku.  Aku melihat wajah menyesal mereka. Raut wajah yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, semoga hanya kali ini saja aku melihat raut yang seperti itu. Aku tahu mereka kecewa, atau mungkin mereka merasa kesal. Tapi aku yakin keputusanku untuk memberikan mereka pelajaran seperti ini adalah keputusan yang tepat.

Ketika perasaanku yang tidak menentu ini sedang meradang, masalah berikutnya datang kembali. Kali ini datang dari seorang anak yang bernama Toyo. Di depan mataku, aku melihat ia membanting temannya yang bernama Adi. Aku memperingatkannya, tapi Toyo bergerak kembali membanting Adi. Saat itu aku bergerak dengan cepat menghampiri Toyo dan segera mengunci dia dalam pelukkan dari belakang. Sementara murid-muridku yang lain segera membantu Adi yang sedang kesakitan.

Demi Tuhan, aku tahu Toyo sedang emosi. Dalam pelukkanku aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu cepat dan nafasnya yang tersengal-sengal. Berkali-kali dia meronta, tapi tenagaku jauh lebih kuat dari padanya. Aku menenangkan Toyo. Hanya itu yang ada dipikiranku. Aku menenangkannya dalam pelukkanku sambil menggiringnya untuk menarik nafas panjang.

Aku sudah sering mendengar tentang Toyo. Toyo adalah murid kelas 4 dan dia pernah tidak naik kelas. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, tidak sebanding dengan teman sekelasnya. Banyak yang bilang Toyo itu anak nakal dan berandalan. Semua guru selalu memandang sinis kepada Toyo. Entah mengapa aku tidak pernah ingin menyimpulkan seorang Toyo seperti dari kabar yang telah aku dengar. Itu terbukti ketika Toyo meneteskan air matanya di pelukanku. Aku menyadarinya dari tetesan air mata yang jatuh ke tanganku.

Ketika keadaan sudah cukup tenang, aku kembali mengambil alih keadaan. Aku menyuruh semua anak berteriak sekencang-kencangnya.

“Kepada teman-teman yang bisa mendengarkan ibu di sini, yang merasa kesal kepada temannya boleh berteriak dengan kencang,” kataku.

Semua anak pun berteriak

“Kepada teman-teman yang memiliki rasa amarah dalam dirinya, boleh berteriak dengan kencang!”

Lagi-lagi mereka berteriak.

Untuk mencairkan suasana aku mengajak mereka untuk bertepuk tangan, berpegangan tangan lalu bernyanyi bersama-sama.

Setelah semua anak kembali bersemangat, aku mengajak mereka berkumpul lalu duduk bersama di lapangan. Aku berbagi cerita kepada mereka tentang indahnya saling menghargai dan menyayangi kepada sesama. Di mana dalam hidup ini janganlah saling membenci, tapi tebarkanlah rasa kasih sayang. Ketika kita saling berpegangan tangan akan terasa lebih nyaman dibandingkan dengan tangan saling mengepal. Kita tidak bisa hidup sendiri tapi kita akan membutuhkan orang lain. Aku menatap Toyo dan Adi, Aku memberikan kebebasan kepada mereka untuk menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin seusai pelajaran nanti.

Aku menarik nafas panjang. Tanpa terasa air mataku pun ikut menetes seiring dengan hempasan nafasku. Timbul banyak lamunan dalam diamku, apakah harus seperti ini Hari Guru pertamaku? Begitu banyak kejadian yang sangat amat merusak skenario yang telah aku buat tadi pagi. Aku segera menghapus air mataku, aku tidak ingin mereka menyadari aku menangis.

“Teman-teman, Ibu ingin tanya sekarang hari apa?”

“Hari Jumat, Buuuuu”

“Iya betul sekali, ada yang tau sekarang kita sedang memperingati hari apa?”

Seperti biasa, hanya hening yang kudapat.

“Hari ini adalah Hari Guru. Boleh tidak ibu meminta kalian bernyanyi “terima kasihku” untuk guru-guru yang ada di sekolah ini sebagai salah satu cara untuk menghargai guru-guru kalian?”

Anggukan penuh semangat aku dapatkan. Mereka pun bernyanyi. Entah mengapa lagu ini menuai rasa haru dalam batinku. Aku merasakan, sungguh-sungguh merasakan sendiri perjuangan seorang guru saat itu. Tidak hanya sekedar membagi ilmu, akan tetapi selalu diuji dengan segala tingkah laku murid. Aku tahu aku marah, tapi aku tidak bisa marah. Aku tahu aku sedih tapi aku tidak bisa sedih. Aku tau aku lelah tapi aku tidak boleh lelah.

Setelah itu aku kumpulkan seluruh murid di depan gedung sekolah. Aku panggil Bu Marem dan Bu Wiwid, kebetulan Bu Mur sedang kebagian jatah libur hari itu. Setelah aku memberikan aba-aba muridku pun bernyanyi. Apa yang terjadi? Beberapa muridku menangis ketika bernyanyi. Aku menatap mereka dan mereka kembali menatapku. Banyak pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku. Aku juga menangkap rasa rindu mereka kepada Yunita Ekasari Bahrun, Pengajar Muda Angkatan I yang aku gantikan posisinya. Rasa haru pun aku lihat dari Bu Marem dan Bu Wiwid saat itu.

Nyanyian telah usai, beberapa anak masih terisak. Seorang murid pun maju untuk mencium tanganku dan guru-ruru lainnya sambil berkata “Terima kasih Bu”. Murid-murid yang lain pun mengikutinya.

Semua murid telah masuk kembali ke dalam kelas. Aku berbincang-bincang sejenak dengan Bu Marem dan Bu Wiwid. Mereka memberikan aku nilai positif atas tindakan tegasku kepada anak kelas 3, mengendalikan situasi, dan penyelesaian masalah. Setelah itu aku kembali ke dalam kelasku dan mendapatkan surat yang ditujukan untukku.

“Bu, saya mewakili kelas 3 saya minta maaf yah bu. Aku tahu aku salah. Kami masih ingin diajar oleh ibu.”

Surat singkat yang ditulis oleh salah seorang anak kelas 3 kepadaku. Setelah aku selesai membacanya, aku melihat si penulis surat sudah berada di depan mukaku dan meminta maaf secara langsung sambil menangis. Begitu pula dengan Fitri dan Rendi, aku tidak melihat Sane. Ternyata Sane memilih untuk pulang ke rumahnya setelah kejadian tadi. Aku pun segera masuk ke kelas 3, aku melihat semua sedang menangis saat itu.

“Teman-teman. Asal kalian tahu, Ibu tidak marah. Ibu hanya ingin kalian belajar untuk menghargai dan saling menyayangi. Itu saja. Ibu tidak mau melihat murid-murid ibu saling membenci atau saling menyakiti. Kalian saling menghargai dan menyayangi pun itu sudah cukup buat ibu. Semoga kalian bisa belajar banyak dari kejadian hari ini.”

Segala sesuatu yang telah aku rancanag untuk Peringatan Hari Guru tidak ada yang terwujud satu pun. Hari Guru yang ingin kulewati dengan penuh tawa, canda, dan rasa bahagia, berubah menjadi Hari Guru penuh haru. Semua rasa berkecamuk jadi satu. Akan tetapi, percayalah justru Hari Guru yang aku lewati ini adalah Hari Guru yang tidak pernah aku lupakan selama hidupku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua