Antara Aku, Sekolah, dan Badai
Melissa Tuanakotta 15 November 2011Aku melihat bayangan diriku di cermin, lalu aku berkata kepada diriku sendiri “SEMANGAT”.
Desa Indraloka II memiliki 4 sekolah dasar yang sudah menyandang predikat negeri, salah satunya adalah SD Negeri 01. Sekolah ini terletak di pusat desa dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari tempat tinggalku jika menggunakan motor. Karena membutuhkan waktu yang lama dan jarak yang cukup jauh dari daerah permukimanku, maka sekolah ini merintis satu sekolah swasta yang letaknya jauh lebih dekat. Aku bertugas di dua sekolah ini, setiap senin dan selasa aku mengajar bahasa Inggris di sekolah induk, dan sisanya aku menjadi wali kelas 5 di sekolah lokal jauh.
Untuk mempermudah pekerjaan, kami di sini mendapatkan fasilitas motor dari Indonesia Mengajar. Jumlah seluruhnya ada 4, satu di Gunung Terang, dua di Gunung Agung, dan satu di Way Kenanga. Motor ini sangat amat membantuku, mengingat intensitasku yang harus bolak balik dari SD induk dan SD lokal jauh untuk menjaga jalur koordinasi antara dua sekolah ini.
Jadi, hari ini adalah hari pertamaku mengajar sebagai guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SD Induk. Aku sudah mempersiapkan seluruh bahan ajar dengan segala konsep yang ada, untuk mengajar di 5 kelas selama satu hari penuh. Pagi aku harus mengajar di kelas 3, setelah istirahat sambung di kelas 5A lalu dilanjutkan di kelas 6. Siang aku harus mengajar di kelas 4 dan kelas 5B.
Ketika aku bercermin, aku berpikir apakah akan jauh lebih baik jika aku menggunakan jaket? Tapi jika melihat keluar jendela kamar aku mendapatkan pemandangan teriknya sinar matahari. Ketika mau berangkat, aku berpikir apakah lebih baik jika aku membawa jas hujan? Tapi jika melihat keadaan cuaca sepertinya tidak akan hujan. Aku pergi tanpa membawa apa-apa, cukup membawa tas yang berisi bahan ajar.
Sepanjang perjalanan aku berpikir bagaimana penampilan pertamaku akan mengajar di sekolah induk, bagaimana aku harus bisa berada dalam lingkaran yang sama denganku, dan bagaimana aku harus besosialisasi dengan guru-guru di sana. Dari cerita yang aku dapatkan dari Pengajar Muda sebelumnya, aku harus aktif ketika berada di sekolah ini, karena selain muridnya penduduk di sekolah ini tipekal orang-orang pasif. Dengan semangat pagi aku harus membangun aura-aura positif dalam pikiranku.
Dari jauh aku melihat bangunan sekolah induk, sangat berbeda dengan keadaan sekolah lokal jauh yang masih bisa dibilang dengan sekolah darurat. Sekolah ini terdiri dari tiga bangunan berbentuk huruf U, dua bangunan sudah menjadi bangunan permanen dan satu bangunan masih berdinding kayu. Sedangkan sekolah lokal jauh hanyalah satu bangunan memanjang, yang antara kelas satu dengan kelas lainnya hanya bersekat papan sehingga dengan mudah murid kelas lain menyusup masuk ke dalam kelasku. Ketika motorku memasuki halaman sekolah salah seorang murid kelas tiga berteriak:
“MASUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUK!! BU MELISSA DATANG”
Walaupun ini adalah hari pertamaku mengajar di sekolah ini, tapi ini bukanlah kali pertamaku datang ke sekolah ini. Ketika Yunita Ekasari Bahrun, Pengajar Muda angkatan I yang sebelumnya bertugas di sekolah ini, mengadakan perpisahan aku ikut hadir. Dalam kesempatan itu aku masuk ke seluruh kelas yang ada dan diperkenalkan kepada seluruh murid.
Aku memarkirkan motor di samping ruang guru, dengan langkah pasti aku masuk ke ruangan berdinding kayu itu. Seluruh mata memandangku, aku tersenyum dan aku menyalami seluruh pemilik mata yang sedang memandangiku itu. Baru sedikit berbincang lonceng pun telah berbunyi, aku pun mengucap kata permisi untuk segera masuk ke dalam kelas. Kesan pertama seperti sedang berada di dalam lemari es di tengah-tengah padang pasir.
Ketika aku memasuki kelas anak-anak pun segera terdiam dan duduk dengan manis. Aku mempersilahkan mereka untuk segera menyiapkan kelas dan berdoa. Kelas ini cukup padat penduduknya tidak sebanding dengan ukuran kelasnya, bahkan satu bangku panjang ada yang diduduki oleh 4 orang. Aku memandang ke seluruh kelas berdinding kayu ini, berbagai gambar terekam oleh mataku dan tersimpan dalam memori otakku. Langit-langit kelas yang mulai bolong, keadaan kelas yang menyisakan debu, dan seragam sekolah yang mulai pudar. Ketika mereka berdoa, aku pun berdoa kepada Tuhan untuk menyisipkan satu masa depan cerah untuk seluruh yang ada di dalam ruangan ini.
Penampilan pertama di kelas pagi bisa dibilang cukup sempurna. Aku bisa menguasai kelas dan menarik perhatian mereka. Suaraku mulai serak, tapi aku harus tetap prima karena masih ada dua kelas lagi di siang hari. Aku menatap ke arah langit, melihat matahari yang bersinar pasti saat itu. Panasnya sangat terasa menyengat di kulit, tidak ada satu orang pun terlihat bermain di lapangan saat itu. Aku diam di ruang guru sendirian menanti jadwal mengajarku yang akan baru dimulai pukul tiga sore setelah istirahat. Kemejaku sudah mulai basah oleh keringat.
Lonceng sekolah telah berbunyi nyaring, seluruh murid berseragam merah putih berhamburan keluar saat itu. Seiring dengan langkah kaki mereka sinar matahari pun mulai redup, aku kembali menatap langit. Tidak ada lagi sinar matahari yang menyengat seperti beberapa saat lalu, langit telah dihiasi oleh beberapa awan hitam. Aku kembali ke dalam ruang guru untuk berbincang dengan guru kelas yang ada. Aku bertanya kepada mereka apakah akhir-akhir ini turun hujan, mereka menjawab tidak. Mereka bilang sudah dari lebaran hujan tidak pernah turun, beberapa tempat mengalami kekeringan sumur sehingga harus mengungsi ke sumur yang berair. Ya, aku tahu itu karena itu yang terjadi kepadaku saat ini, mengungsi ke sumur tetangga ketika mau mandi.
“Bu Melissa, nanti setelah ibu mengajar kelasnya langsung dipulangkan saja ya,” kata guru kelas 4.
“Di bubarkan bu? Bukannya masih ada satu pelajaran lagi?” tanyaku sambil menunjuk jadwal ajar.
“Oh iya, tapi tadi sebelum istirahat sudah disekaligusin, kalau sekolah sore memang begitu ko bu biar tidak terlalu malam pulangnya,” jawabnya.
“Terus, kalau kelas lima bagaimana Pa? Kan Bahasa Inggris pelajaran terakhir?” tanyaku kepada guru kelas 5.
“Ya, Bu Meli ngajar di dua kelas sekaligus. Dulu juga Bu Yuni seperti itu,” jawabnya dengan pasti.
Aku adalah salah satu orang yang sangat tidak setuju dengan sistem mengajar di dua kelas dalam waktu yang sama. Menurutku itu sangat amat tidak efektif, aku tidak bisa memberi perhatian penuh kepada murid dan fokus menjadi terbagi-bagi. Tapi si guru kelas nampak tidak keberatan dengan semua itu. Aku hanya bisa menghela nafas.
Lonceng tanda masuk telah dibunyikan, aku melangkan menuju kelas. Langit mendung saat itu, berwarnakan kelabu. Aku mencatat sebuah lagu di papan tulis kelas empat lalu aku melangkah ke kelas 5 untuk melakukan hal yang sama. Ketika aku kembali ke kelas empat dan mengajarkan mereka untuk bernyanyi, salah seorang anak berkata:
“Bu, gelap bu. Pulang yah bu”
“Ko baru masuk sudah pulang? Nanti lah kan ada waktu pulangnya. Sudah kita bernyanyi kembali ya!”
Selesai bernyanyi aku pindah ke kelas 5 untuk melakukan hal yang sama. Tiba-tiba ada cahaya kilat disertai deru halilintar yang sangat keras. Anak-anak pun berteriak sambil berpelukan.
“Bu takut bu,,,,” teriak mereka.
Mereka merengek minta pulang. Kilat dan halilintar pun kembali muncul. Seluruh murid berpelukan, bahkan ada yang menangis. Aku pun menenangkan mereka dan segera berlari ke ruang guru. Aku ingin bertanya kepada guru kelas mereka apakah boleh kelas dibubarkan karena cuaca yang buruk. Tapi apa yang aku dapatkan? Aku mendapatkan ruang guru yang gelap dan tidak ada siapa-siapa di sana. Sang guru kelas telah angkat kaki terlebih dahulu sebelum waktunya.
Angin bertiup sangat kencang, aku kembali ke kelas lima dan kelas empat mempersilahkan mereka untuk pulang. Mereka pun bergerak cepat karena sudah mulai hujan ditambah dengan cahaya kilat dan dentuman halilintar. Terjadi badai saat itu. Hujan turun sangat deras dan aku terjebak di sekolah sendirian. Satu hal yang aku rasakan, aku takut. Siapa yang tidak takut berada dalam badai seorang diri?
Aku mengirim pesan singkat kepada Daniel yang mengatakan aku takut. Kenapa aku merasa sangat takut? Karena aku mendapatkan kabar bahwa beberapa waktu yang lalu ada orang yang kehilangan nyawanya akibat tersambar petir. Daerah Indraloka, tepatnya di daerah Daniel adalah daerah yang mempunyai daya tarik untuk petir. Aku kurang begitu mengerti tentang masalah ini, tapi pada intinya ada beberapa daerah yang menjadi daerah sambaran petir entah karena medan magnet atau apalah itu. Mungkin untuk lebih jelasnya bertanyalah kepada Daniel yang lulusan dari jurusan Metereologi dan Geofisika, Institut Pertanian Bogor.
Ketika aku sedang terdiam tiba-tiba ada suara yang memanggil. Dia adalah Pak Ulung, seorang guru SMP. Bangunan sekolahku ketika siang hari dipinjam oleh siswa SMP, maka tidak heran masih ada guru di sana. Kehadirannya seolah menjawab doaku kepada Tuhan, bahwa aku sedang takut berada sendirian di sini.
“Bu, sini bu, jangan sendirian,” katanya.
Aku pun segera masuk ke dalam ruangannya, di sana juga ada seorang guru perempuan yang bernama Bu April. Aku mengucap banyak syukur dengan kehadiran mereka di tengah badai ini. Kami berbincang-bincang cukup lama dan untungnya Pak Ulung berasal dari Bandung, sehingga kami mempunyai banyak topik untuk diperbincangkan.
Hujan turun cukup lama, hingga waktu menunjukkan pukul lima sore. Kami memutuskan untuk pulang saat itu melihat hujan sudah mulai reda. Aku mengucap pamit dan segera memacu motor untuk pulang. Kejadian belum berakhir saat itu, di tengah jalan hujan turun kembali sehingga keadaanku pun kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitu pula dengan seluruh bahan ajar yang berada di dalam tasku. Sudah terlanjur basah, aku pun melanjutkan perjalanan pulang.
Setibanya aku di rumah, aku disambut oleh teriakkan anak muridku dari sekolah lokal jauh. Mereka biasa menghabiskan waktu sorenya untuk bermain atau sekedar membaca buku di rumahku.
“Bu Melissa, Ibu dari mana? Ko kehujanan? Basah semua itu Bu,,,Bu,,,” ujar mereka seraya mendekatiku.
Aku tersenyum, melihat mereka. Mereka yang selalu mengisi rasa sepi selama aku disini. Mereka yang selalu menantikan kedatanganku untuk sekedar mendengar cerita atau bermain denganku. Keceriaan yang mereka berikan membuat semangatku yang telah runtuh hari ini kembali muncul. Aku pun segera berganti pakaian lalu memutar lagu untuk bernyanyi bersama dengan mereka dan segera mengundang tawa. Rasa lelah hari ini seolah sirna dengan kehadiran mereka. Terima kasih, tanpa kalian mungkin aku sudah menangis hari ini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda