Kelasku Bertaburan Bintang Kelas

Melissa Tuanakotta 17 Desember 2011

Satu pengalaman yang paling mengesankan ketika aku menjadi Pengajar Muda adalah aku menjadi seorang wali kelas. Menjadi seorang guru pun aku masih belum percaya, tapi di SD Negeri 01 Lokal Jauh Indraloka II ini justru aku dipercaya untuk menjadi seorang wali kelas. Luar biasa!! Menjadi seorang wali kelas, menurutku bukan hanya sekedar menghantarkan seluruh mata pelajaran kepada murid, tapi senantiasa melihat perkembangan dan kemampuan anak hari demi hari. Interaksi yang terjadi menimbulkan rasa perhatian lebih dari pada hubungan guru dengan murid, tetapi bagaikan seorang ibu yang mengasuh banyak anak.

Pertama kali aku menginjakkan kakiku ke dalam kelas 5, di SD lokal jauh ini aku terkejut melihat jumlah muridku yang hanya 12 orang saja. Dibandingkan dengan kelas lainnya yang memiliki jumlah murid berpuluh-puluh orang. Cerita dengar cerita, kelas 5 yang aku pegang saat ini adalah kelas 5 tahun pertama. Sebelumnya tidak ada kelas 5 di sekolah ini, hanya sampai kelas 4. Sehingga ketika ingin melanjutkan sekolah, murid-murid ini harus pindah ke sekolah induk yang memiliki waktu tempuh kurang lebih 30 menit dari sekolah lokal jauh ini.

Berbagai pertimbangan dilakukan oleh pihak sekolah, karena banyak masukan dari orang tua murid agar sekolah lokal jauh menambahkan kelas hingga kelas 5. Pertimbangan terberat adalah guru honorer yang ditempatkan di sekolah ini hanya tiga orang saja dan bangunan kelas pun tidak mencukupi. Akan tetapi permintaan untuk mengadakan kelas 5 terus berdatangan, bahkan wacana anak tidak akan melanjutkan jenjang pendidikan jika tidak ada kelas 5 di sekolah ini pun ada. Akhirnya pihak sekolah pun menyetujui untuk mengadakan kelas baru. Kedatangan Pengajar Muda Angkatan 1 yang bertugas di sekolah ini pun sedikit memberikan bantuan tenaga untuk menjadi wali kelas 5 tahun pertama di 2011.

Aku sedikit ingin bercerita tentang pengalamanku dengan wali kelas ku sewaktu SD dulu di Bandung, tepatnya di SD Banjarsari I. Selalu teringat dengannya, seorang wanita yang dikenal sebagai guru senior biasa disapa dengan Bu Edah. Guru adalah satu memori yang tidak akan pernah hilang ketika sekolah, begitu pula dengan memori yang ada di dalam kepalaku ini tentang Bu Edah. Ketika aku duduk di bangku kelas satu, dia menjadi wali kelasku. Ketika aku duduk di kelas enam, dia pun kembali menjadi wali kelasku. Bu Edah selalu memberikan motivasi kecil kepada murid-muridnya. Salah satunya adalah dengan membubuhi gambar bendera di setiap nilai yang diberikan kepada 10 murid pertama yang berhasil mengumpulkan soal mencongak, ulangan harian, bahkan tugas. Teringat dengan jelas, bahwa seluruh anak menginginkan bendera dalam nilainya. Semua belajar dengan giat, untuk menjadi sepuluh orang pertama yang mendapatkan bendera. Kenangan manis dengan seorang guru, yang mungkin tidak akan pernah bisa aku lupakan seluruh hidupku. Ingin rasanya aku yang hanya selingan ini menjadi sebuah memori bagi murid-muridku di kelas 5 ini kelak.

Aku selalu menyapa muridku dengan “teman-teman”. Mungkin aku sedang berperan sebagai seorang guru, tapi perasaanku terhadap mereka adalah seorang teman yang ingin berbagi ilmu, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika aku sedang berjalan bersama mereka, aku tidak keberatan jika mereka menggandeng tanganku. Bahkan Aku selalu berbagi cerita dengan mereka selayaknya aku berbagi cerita dengan teman-temanku di luar sana. Salah satu keuntungan aku menjadi wali kelas adalah aku bisa mengadakan sesi bimbingan konseling. Sesi ini aku jadikan sarana mengakrabkan diri dengan murid-muridku karena aku bisa bertukar pikiran, mendengarkan pendapat, pandangan dan perasaan mereka terhadap suatu hal. Dalam sesi ini pula aku selalu memberikan motivasi kepada mereka untuk selalu mencari ilmu dan meraih mimpi serta cita-cita mereka. Aku bukan ingin menggantungkan harapan, tapi aku hanya ingin mereka berusaha untuk memutar roda kehidupannya. Aku adalah orang yang selalu percaya tidak ada yang tidak mungkin ketika kita memang berusaha semaksimal mungkin.

Ketika aku sedang bertukar pikiran dengan mereka aku selalu menatap mata mereka. Aku melihat impian itu di mata mereka, aku melihat berjuta harapan di mata mereka. Mereka berada bersamaku di sini adalah sebagai langkah awal bahwa mereka ingin menggapai apa yang mereka inginkan.

“Menurutmu sekolah itu penting?” tanyaku di salah satu sesi bimbingan konseling kepada anak yang bernama Desi.

“Penting lah bu.”

“Kenapa kamu anggap sekolah itu penting?”

“Karena aku ingin menjadi pintar Bu.”

“Kenapa kamu ingin menjadi pintar?”

“Aku tidak ingin dibilang bodoh Bu, aku ingin menjadi pintar biar bisa tahu berbagai macam hal.”

“Apa cita-citamu?”

“Aku ingin menjadi seperti Ibu, aku ingin menjadi seorang guru seperti Ibu. Ibu dan Bu Yuni adalah salah satu inspirasi saya untuk menjadi seorang guru. Guru itu orang yang pintar dan tahu berbagai macam hal”

Aku menatap matanya. Tatapan tulus dan penuh harapan. Mataku pun sedikit berair saat itu suaraku pun mulai bergetar. Aku setengah mati menahan tetesan air mata. Aku ini memang cengeng, mudah sekali tersentuh perasaannya lalu menangis kemudian. Tapi ketika kalian berada di posisiku saat ini, aku yakin kalian akan merasakan hal yang sama denganku.

Setelah aku mendengarkan cerita dari seluruh muridku, aku menutup buku catatanku. Aku menghela nafas panjang. Aku melakukan sesi ini tepat beberapa hari sebelum pembagian buku rapor. Aku ingin mengetahui pandangan mereka tentang pendidikan, pencapaian indikator, dan apakah mereka paham dengan materi pelajaran yang aku berikan atau tidak.

Ingat istilah “kebakaran rapor” ? Istilah tersebut sangat aku hindari ketika aku masih duduk di bangku sekolah. Ibuku akan seperti orang “kebakaran jenggot” jika aku “kebakaran rapor”. Nilai rapor berada di bawah rata-rata dan ditulis dengan tinta berwarna merah yang mencerminkan api. Sampai saat ini aku selalu beranggapan bahwa tinta berwarna merah adalah tinta yang menyeramkan.

Salah satu tantangan menjadi wali kelas adalah ketika aku harus mengisi buku rapor. Aku tidak ingin menorehkan tinta merah ke dalam rapor muridku. Bahkan jika diijinkan aku ingin sekali mengisi buku rapor dengan spidol warna-warni seperti pelangi atau cukup dengan tinta warna pink biar terkesan penuh dengan cinta. Sayang itu semua sepertinya tidak boleh aku lakukan, sehingga itu hanya tertimbun dalam benakku saja.

Aku menghadapi satu fenomena dimana beberapa hasil ulangan dari murid-muridku berhiaskan warna merah. Saat-saat memeriksa hasil ujian akhir semester adalah saat-saat aku merasa gagal menjadi seorang guru melihat tinta merah bertebaran di lembar jawaban. Aku merasa seperti patung lilin yang terbakar oleh tinta merah, sehingga aku pun meleleh. Teringat kejadian-kejadian di kelas selama satu bulan aku mengajar, mereka terlihat aktif, bahkan mereka selalu berhasil mengerjakan soal-soal dan mereka dengan tersenyum puas berteriak “PAHAM” ketika aku bertanya apakah mereka paham atau tidak

Mungkin dulu nilai adalah satu hal yang paling mutlak, segala sesuatu yang berhubungan dengan rapor adalah nilai bahkan kepintaran anak pun dilihat dari nilai. Di sini aku selalu teringat dengan apa yang disampaikan oleh Munif Chatib, salah satu konsultan pendidikan yang menerapkan paradigma gurunya manusia mengajar dengan hati. Sedikit aku petik kata-katanya:

“ Belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan belajar adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.” Dari situ aku mulai menyimpulkan nilai bukan suatu hal yang paling mutlak untuk bisa melihat keberhasilan anak. Aku mencari formula yang tepat untuk memberikan nilai, karena aku tidak mau mengikuti sistem “katrol” yang sering dilakukan. Aku memberikan kesempatan kepada murid-muridku untuk mengerjakan kembali soal ujian mereka di rumah, bahkan aku dengan senang hati menerima mereka jika ingin dibantu mengerjakan soal-soal tersebut. Aku memberi tugas tambahan ini agar mereka bisa berusaha mengubah nilai mereka sendiri, karena aku tidak setuju jika nilai berubah otomatis dengan sistem katrol.

Selain aku menilai usaha mereka, nilai rapor akhir pun tidak terlalu dilihat dari nilai akhir ujian mereka. Aku mengambil 50% dari nilai keseharian mereka, 30% dari nilai ujian tengah semester dan 20 % dari ujian akhir semester. Sesuai dengan tujuan yang ingin aku capai adalah membantu siswa mengembangkan dirinya, hal itu bisa terlihat dari keseharian mereka. Sehingga persentase terbanyak aku pilih dari keseharian mereka bukan dari nilai ujian akhir. Aku sebagai wali kelas tahu perkembangan murid-muridku, sehingga aku tahu betul bagaimana kemampuan murid-muridku dalam memahami pelajaran apakah sesuai dengan indikator atau tidak, sehingga menurutku sedikit tidak adil ketika semua nilai dimutlakan kepada nilai ujian akhir.

Aku pun meninggalkan sistem rengking. Ketika mengisi rapor, aku tidak membubuhi rengking di dalam rapor karena aku menganggap semua anak di dalam kelas ku ini adalah juara dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Aku menganggap mereka ini adalah bintang, bintang yang akan bersinar di tengah kegelapan malam. Bahkan aku membuat 12 bintang dari kertas lipat berwarna kuning untuk ditempelkan di dada mereka, agar mereka selalu melekatkan di hati mereka bahwa mereka ini adalah sang juara.

Aku menatap lekat-lekat buku rapor bersampul biru itu. Satu rasa ketika aku selesai menandatangani rapor terakhir, mungkin aku bukanlah seorang bos besar yang menandatangani kontrak kerja dengan keuntungan besar, mungkin aku bukanlah seorang superstar yang menandatangani poster untuk dipajang di kota-kota besar, tapi aku adalah seorang guru yang menandatangani rapor calon orang-orang besar. (Amin)


Cerita Lainnya

Lihat Semua