Belajar IPA Itu Menyenangkan !

Melissa Tuanakotta 20 Januari 2012

Pada intinya, anak-anak itu suka bermain. Tidak ada yang bisa melarang, anak-anak itu selalu senang bermain dan segala hal yang menyenangkan. Mereka tidak suka dengan suasana yang penuh dengan perarturan dan mereka ingin bebas berekspresi. Kenapa aku bisa menyimpulkan hal seperti itu? Karena aku pernah menjadi anak-anak, aku tahu dan mengerti apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka inginkan.

Selama aku menjadi seorang guru, aku akan selalu berusaha memahami murid-muridku. Aku akan berusaha membuat suasana kelas menjadi menyenangkan. Ketika suasana menyenangkan, mereka pasti akan menganggap bahwa belajar itu adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan bukan membosankan.

Kalau di dalam kamus praktis Bahasa Indonesia, guru itu orang yang kerjaannya mengajar. Menurutku pengertian itu sangatlah membosankan. Coba bayangkan apalah jadinya tiap hari mengajar? Aku selalu membayangkan setiap hari itu bermain. Setiap hari aku bermain dengan murid-muridku dan dalam kegiatan bermain itu aku berbagi ilmu. Aku ingin ketika belajar anak-anakku itu bergembira dan aktif.

Aku ingin berbagi cerita tentang betapa menyenangkan belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Dulu aku selalu bingung sebenarnya  apa sih kelebihanku selain kelebihan berat badan (eh?!)? Sampai pada akhirnya salah satu temanku mengatakan kehebatanku adalah cara aku menyampaikan atau bercerita tentang sesuatu. Aku ingin mencoba kehebatanku itu dalam pelajaran IPA untuk pesawat sederhana dan sifat cahaya.

Sebelum pergi ke sekolah aku mempersiapkan seluruh bahan ajar. Aku membuat sebuah pesawat dari kertas lipat dengan membawa bendera merah putih, lalu kotak speaker  serta buku tulis yang akan aku jadikan sebuah rumah dengan atap. Satu lagi adalah bendera merah putih yang akan aku pinjam setibanya di sekolah nanti. Setelah aku siap dengan semua peralatan aku segera berangkat.

“Selamat pagi teman-teman, hari ini ibu punya satu cerita menarik,” ujarku setelah mereka berdoa.

“ Suatu hari ada sebuah pesawat sederhana yang terbang mengelilingi Indraloka 2 dengan membawa bendera merah putih (sambil menggerak-gerakkan pesawat dari kertas lipat mengelilingi kelas). Tiba-tiba pesawat sederhana ini mengalami ganguan! Sang pilot segera melakukan pendaratan darurat. Karena tidak ada landasan luas untuk mendarat, pesawat pun mendarat di atap sebuah rumah. Sang pilot berteriak kepada penduduk sekitar untuk menolongnya turun (sambil menyangkutkan pesawat di rumah yang terbuat dari tumpukan kotak speaker dan buku yang dibuka lebar menyerupai suatu atap).

Warga setempat datang lalu membawa jungkat-jungkit untuk menurunkan pesawat dari atap rumah (sambil menyelipkan penggaris besi di bawah kotak speaker, lalu membuat gerakan mengungkit sehingga pesawat jatuh dari atas buku). Pesawat pun segera meluncur dari atap yang bentuknya miring. Warga segera mengangkat pesawat sederhana dengan menggunakan roda dorong.

Sang pilot mengucapkan terima kasih kepada masyarakat karena sudah membantunya,” selesai aku bercerita dan anak-anak pun bertepuk tangan.

“Eh teman-teman, bendera yang dibawa oleh pesawat sederhana ketinggalan nih, enaknya kalau ada bendera kita apain yah?”

“Dipasang di tiang bendera Bu !” jawab seorang anak.

“Ya betul sekali,” jawabku pasti sambil menarik bendera merah putih milik sekolah dari dalam saku celanaku. Anak-anak terkesima melihat gerakanku, mungkin mereka pikir aku tukang sulap yang bisa mengubah bendera kecil dari kertas menjadi bendera yang biasa mereka gunakan untuk upacara bendera.

“Ayo kita pasang benderanya di tiang bendera!”

Aku bersama murid-muridku lari ke lapangan sekolah. Lalu kami mengadakan upacara kecil. Mengibarkan bendera merah putih seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Selesai upacara kecil aku mengajak mereka duduk melingkar di lapangan sekolah yang beralaskan rumput. Aku menjelaskan, bah secara tidak langsung kita sedang membahas tentang jenis-jenis pesawat sederhana, yaitu bidang miring (atap rumah), tuas (jungkat-jungkit), roda (untuk mengangkut pesawat), dan katrol (bendera yang dikerek). Mereka terkesima dan saling pandang. Murid-muridku tidak percaya bahwa mereka baru saja belajar mengenai pesawat sederhana.

Setiap pelajaran IPA, aku selalu bertanya mengenai pesawat sederhana dan Alhamdulillah mereka pun selalu mengingatnya.

Setelah berhasil dengan pesawat sederhana, aku mencoba kembali mengajak murid-muridku bermain ketika belajar tentang sifat cahaya dalam pertemuan selanjutnya. Kali ini aku cukup membawa senter dari rumah.

Setelah menyapa, aku mengajak muridku untuk duduk di lapangan sekolah. Aku meminta mereka menutup mata dan menyebutkan apa yang mereka lihat.

“Woalah bu,, bu,, ya ga bisa lihat apa-apa lah bu, kan matanya lagi ketutup,” jawab seorang anak.

Setelah itu aku minta mereka untuk membuka matanya. Mereka merasa silau karena cahaya matahari. Lalu sedikit aku bercerita, tentang listrik yang selalu mati jam sebelas malam. Suasana menjadi gelap hingga tidak bisa melihat apa-apa.

“Ketika kalian tidak bisa melihat apa-apa, biasanya apa yang kalian gunakan?”

“Lampu,”

“Lilin,”

“Cahaya bulan bu!” jawab seseorang diiringi oleh gelak tawa teman-teman lainnya.

Aku pun segera menjelaskan kepada mereka tentang sumber-sumber cahaya. Bahwa senya benda yang dapat memancarkan cahata disebut dengan sumber cahaya.

“Nah sekarang coba kalian gambar matahari, lalu di bawah matahari kalian gambar warga kelas 5. Ada ibu, Rizal, Fahim, Rio, Wayan, Beni, Adi, Ayu, Ida, Siti, Desi, Efi dan Jumi. Setiap anak mendapat satu garis matahari.”

Mereka pun menggambar sambil bercanda.

“Coba perhatikan gambar kalian, sinar mataharinya lurus apa tidak?”

“Lurus Bu!”

“Betul sekali, jadi menurut kamu cahaya itu kalo merambat lurus apa bergerigi?”

“Lurusssss..”

“Betul sekali, salah satu sifat cahaya adalah lurus. Sekarang yuk kita kembali ke kelas!”

Semua anak berlarian menuju tempat duduknya masing-masing. Kali ini aku mengeluarkan senter, lalu meminjam piring, mangkok, bening, gelas berisi air dan sebatang lidi. Aku meminta dua orang anak maju ke depan, yang satu pegang senter dan yang satu lagi pegang piring serta mangkok bening. Murid yang lain diminta memperhatikan bagamana sifat cahaya selanjutnya.

“Kalau cahaya senter diarahkan ke piring, kalian bisa melihat cahayanya tidak?”

“Tidak..”

“Kalau cahaya senter diarahkan ke piring bening?”

“Kelihatan Bu..”

Aku pun segera menjelaskan piring itu benda gelap karena tidak bisa ditembus oleh cahaya, sedangkan mangkok merupakan benda bening yang dapat ditembus oleh cahaya. Lagi-lagi aku melihat kepuasan dari muka mereka.

Aku pun melanjutkan kegiatan selanjutnya. Kali ini aku menggunakan gelas yang berisi air lalu aku memasukkan batang lidi kedalam gelas tersebut.

“BUUUUUUUUU, lidinya bengkok!” teriak mereka kagum. Seolah-olah aku ini tukang sulap.

“ Nah, bengkok kan. Ini bukan sulap, tapi ini yang disebut dengan pembiasan. Apa?”

“Pembiasan”

“Apa yang terjadi kepada lidi, juga terjadi kepada cahaya. Cahaya juga dapat dibiaskan jika melewati dua medium yang berbeda. Medium yang pertama adalah udara, dan medium kedua adalah air.

Kegiatan yang paling akhir adalah kami semua bergerak menuju motorku. Aku memberikan instruksi agar semua anak bisa melihat wajahnya masing-masing di kaca spion. Mereka pun langsung beraksi dengan membuat mimik wajah yang aneh lalu tertawa. Aku menyorotkan senter ke kaca, lalu aku bertanya:

“Apakah kalian bisa melihat cahaya tersebut?”

“Bisa bu! Cahayanya mantul yah bu.”

Aku tersenyum bangga, mereka menyimpulkan sendiri sifat cahaya yang terakhir bahwa cahaya dapat dipantulkan.

Menyenangkan bukan? Kita mengajarkan sesuatu dengan cara bermain. Tanpa disadari mereka pun mendapatkan ilmu yang ingin kita sampaikan. Belajar tanpa ada rasa bosan sama sekali. Anak-anak berimajinasi melalui sebuah cerita dan selalu mengingat isi dari cerita tersebut. Anak-anak pun bergerak bebas kesana kemari, melibatkan pancaindra, praktek langsung, sehingga secara tidak langsung menjadi lebih kreatif. Guru senang murid senang, belajar pun menjadi kegiatan yang menyenangkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua