Yok, Adu Susah!

Meiske Demitria Wahyu 30 April 2012

“Bu, enak mana tinggal di kota apa disini?”

Pertanyaan singkat dari murid saya itu membuat saya berpikir sejenak. Sudah 5 bulan saya berada di Tulang Bawang Barat (TBB), dimana orang ‘kota’ mencap tempat ini masih pelosok namun orang ‘sini’ seakan tidak rela dicap pelosok (kecuali saat ada wacana–wacana tertentu yang memerlukan keterpelosokan hehe *wink*). 5 bulan saya mendengar omongan semacam, ”Wah, disini sih paling enak ya bu, apa-apa sudah gampang, coba kayak yang di Kick Andy itu IM-IM yang lain…” saat Kick Andy menayangkan tentang Pengajar Muda I di tempat-tempat yang jauh dan lebih terpencil. Bahkan saat ke ibukota kabupaten atau ke Bandar Lampung, ada orang-orang yang menyarankan untuk meninjau ulang lokasi penempatan PM di TBB karena dianggap sudah kurang tepat sasaran. Buntutnya banyak yang ingin didatangi Indonesia Mengajar.

Akhirnya kami meresapi pertanyaan dan pernyataan itu sebagai dukungan dan evaluasi sebagai pengajar muda. Anggap saja kami ternyata diketahui dan diinginkan, artinya banyak orang yang mau maju, artinya lagi pendidikan pun mulai dianggap serius. Puji Tuhan bila memang mereka merasa kaya dan sudah maju, sayapun tak punya hak membela atau membantah walaupun naluri kepengacaraan saya kepingin banget membuat pembelaan yang tajam dan sinis. Namun disinilah ketulusan diuji. Apa sih yang saya cari ketika ikut Indonesia Mengajar? Apa sih yang membuat saya mendaftar menjadi Pengajar Muda? Ngapain sih disini? Pak Anies dalam pelatihan selalu mengingatkan kami: “Ketulusan adalah tidak terbang saat dipuji, tidak tumbang saat dicaci.” Itulah yang membuat saya selalu bertahan dan mengingat kembali bahwa ikut IM itu bukannya sok martir, makin prihatin kondisi geografisnya berarti makin keren. Saya yakin banyak yang mempunyai anggapan seperti itu. Ketika suatu daerah perjalanannya lebih dari 10 jam diterjang ombak badai samudera, ataupun tempat yang makannya susah, atau daerah yang kurang air, atau daerah yang tinggal nyebrang sudah beda Negara, semuanya lebih eksotis dibanding 4 jam perjalanan naik bus AC dari ibukota provinsi.

Kemudian saya berpikir, ini bukan adu susah-susahan walaupun saya yakin semuanya punya kesusahan masing-masing. Ada tantangan yang berbeda. Ada kesempatan yang berbeda. Belum tentu di tempat yang semuanya gampang secara fasilitas itu gampang juga mengajarnya. Menjadi Pengajar Muda memang adalah salah satu kehormatan dimana kami (konon katanya) menunaikan janji kemerdekaan pada bangsa khususnya di bidang pendidikan. Namun jangan salah, memajukan pendidikan tidak hanya harus jadi Pengajar Muda. Lihatlah keluar kompleks rumahmu, kalau kompleks rumahmu adalah perumahan mewah, setirlah mobilmu barang 5-10km keluar kompleks dan carilah perkampungan kumuh, rel kereta, maupun simpang lampu merah. Disana kamu bisa berkarya. Tak harus belakang rumahmu pantai dan engkau bisa melihat gunung dari jendelamu bila kamu mau menjadi seorang guru.

Akhirnya, lihatlah kesempatan dan raihlah. “Carpe Diem, Seize the Day!” kata Mr. Keating di Dead Poet Society. 5 bulan drama ini kami anggap sebagai energi potensial. Semakin besar ‘massa’ drama ini, maka semakin besar pula energi potensialnya. Oleh karenanya, energi potensial yang besar itu kami ubah menjadi energi gerak buat kami berkarya. Justru segala kemudahan itu, daripada kami renung-renungkan sebagai suatu ketidakeksotisan, kami pakai untuk mengembangkan pendidikan. Untuk mengajak makin banyak orang peduli pendidikan. Bahwa isu pendidikan bukan milik pemerintah, LSM dan orang-orang serius saja tapi semuanya bisa bergerak. Pemusik, penggiat baca, aktivis mahasiswa, pemimpin redaksi, wartawan, anak SMA, semuanya bisa peduli dan bergerak. Sebenarnya kami sebagai Pengajar Muda hanya menyebarkan spiritnya.

Jadi untuk semua yang mau menjadi Pengajar Muda, pikirkan lagi bila tujuanmu hanya ingin ke daerah eksotis. Jangan terjebak pada romantisme laskar pelangi, ingin getaway atau lari dari masalah. NONSENSE. Bila kamu cuma mau jalan-jalan, menabunglah dan backpacking, jangan ikut IM. Menjadi Pengajar Muda itu tidak sekadar mengajar anak SD. Menjadi Pengajar Muda itu bukanlah menjadi Mesias. Menjadi Pengajar Muda harus siap ‘diinjak-injak’ atas nama pendidikan. Menjadi Pengajar Muda harus siap menelan harga diri dan ego. It’s not about you. Pengajar Muda shall never be a glory hunter.

Dan untuk semua Pengajar Muda yang sedang berkarya, ingat lagi tentang ketulusan. It’s not about me. Dimanapun kamu ditempatkan, buatlah sesuatu yang baik sebab pasti ada maksud Tuhan, dan rencanaNya selalu baik. Ingatlah kamu tidak sendiri. Ingatlah kamu tidak harus menyelesaikan seluruh masalah yang ada di tempat penempatanmu (dan di muka bumi ini :p). We are not playing God here. Kalau kata kata-kata mutiara di buku tulis anak SD jaman dulu: Do your best, let God do the rest ;). Tetap semangat, waktu yang diberikan tidak banyak. Setelah setahun, you can do every single thing you want, but hang on now! Saya percaya, senyum murid-murid kita pasti menjadi semangat untuk selalu bertahan.

Menjawab pertanyaan murid saya tadi, saya mengatakan bahwa ada enaknya dan ada ga enaknya tinggal di kota dan desa. Tapi saat ini saya menikmati kok hidup di desa. Oh ya, ngomong-ngomong menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008 dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, pelosok artinya tempat yang jauh atau tidak mudah didatangi. Terpencil artinya tersendiri, terasing, jauh dari yang lain. Sayangnya disini saya masih belum melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. Oh, mungkin masih kurang dibaca-baca ya :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua