Tentang Air

Meiske Demitria Wahyu 27 Agustus 2012

12 bulan lalu, menurut saya air itu hanyalah suatu hal yang seharusnya sudah selalu tersedia. Waktu aliran air di rumah bermasalah, saya bersungut-sungut dan merasa sangat kesulitan. Air yang sedikit buat saya adalah bencana. Bagaimana mau mandi bersih, keramas, mencuci, masak, menyiram tanaman, dan sebagainya dan sebagainya. Tentunya berbagai kritik maupun keluhan dilayangkan. Hari gini ga ada aer? So last years deh ih.

Lalu tadi sore saya memikirkan betapa bersyukurnya hari ini punya setengah bak kurang sedikit air bersih di rumah. Desa saya sedang kekeringan. Fenomena yang saya baru tahu 27 tahun lebih saya hidup. Dulu saya pikir isu kekeringan itu cuma ada di berita atau contoh kasus di buku pelajaran PPKN. Seingat saya dulu saya pernah mengalami kesulitan air yang cukup parah saat banjir besar di Kelapa Gading. Itupun akhirnya keluarga kami mengungsi. Tapi disini saya melihat bahwa penduduk desa Kagungan Jaya ini setiap tahun mengalami hal yang sama. Kadang lebih parah, kadang tetap sama. Hebatnya mereka bisa mencari apapun yang bisa disyukuri. Seperti prinsip orang Jawa: Masih untung kita gak sampai betul-betul kekeringan…Masih untung ada air walaupun sedikit…Masih untung sumur Mbah Par masih ada airnya…dan masih untung masih untung lainnya.  

Saya tertampar. Ketika saya di Jakarta kekurangan air, tinggal telepon sana sini beres masalah, atau setidaknya ada air yang bisa dibeli. Disini? Beli pun ya ga ada yang jual. Kalaupun jual pasti jauh dan mahal, minimal dari desa sebelah. Tapi mereka tetap hidup seperti biasa tuh, tetap kerja, anak-anak tetap sekolah, yang dagang tetap dagang, yang menyadap karet tetap menyadap karet. Wow, mungkin anak kota seperti saya terlalu dimanjakan dengan banyak kemudahan sehingga kadang lupa bersyukur. Lebih banyak mengeluh daripada mengucap terima kasih.   

Disini saya juga belajar tentang berbagi dalam kekurangan. Sumur di rumah saya disini digunakan oleh beberapa keluarga dalam keadaan normal. Karena musim kering, semakin banyak orang yang menggunakan air sumur kami. Padahal kalau dilihat-lihat debit air sumur pun juga tidak terlalu banyak. Ajaibnya air selalu ada dan bisa dipakai bersama-sama. Ayah angkat saya mengatakan, berkat itu akan terus mengalir bila dibagi. Luar biasa!   Dulu, kampanye hemat air itu tampaknya mengawang-awang menurut saya. Kini, mau tidak mau saya harus berhemat. Mandi dengan air yang sangat terbatas, cukup dengan seember dua ember saja sudah harus bersih mandi, bahkan keramas. Nyatanya dalam keadaan terdesak saya bisa. Pelatihan di Rindam dan Kopassus jelas sangat membantu. Dalam pengalaman saya ini, seringkali saya tertawa saat mandi. Si cici yang dulu cenderung obsesif-kompulsif, pecinta kebersihan dan amat resik kini harus mandi seirit-iritnya. Taaapi saya ini masih untung, setidaknya masih ada air yang bisa ditimba kok :).


Cerita Lainnya

Lihat Semua