info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Sebuah Kisah tentang Upacara Bendera

Meiske Demitria Wahyu 3 Mei 2012

Rabu, 2 Mei 2012.   

Sejak hari Senin, saya sudah berpesan pada anak-anak bahwa Rabu nanti kita akan mengadakan upacara bendera memperingati Hari Pendidikan Nasional. Menceritakan sedikit mengenai kisah Ki Hajar Dewantara, saya berusaha menggugah semangat para murid untuk upacara di tengah minggu. Mereka pun akhirnya 'percaya' bahwa upacara hari Rabu itu penting untuk dilaksanakan. Ketika saya menyampaikan kepada dewan guru, sedikit terbersit keengganan dan keraguan untuk upacara hari Rabu. Malah saya ditanya balik, apa sudah izin kepala sekolah? Sayapun mengiyakan pertanyaan tersebut. Entah apa alasannya, namun menurut saya inilah yang seringkali terjadi di Indonesia. Ketaatan pada keteraturan tanpa dibekali pengertian mengapa harus taat. Upacara harusnya hari Senin dan saat 17 Agustusan. Sayapun mendobrak kebiasaan tersebut.  

Rabu pagi pukul 7.15 sebagaimana disepakati, tampak anak-anak sudah berlarian di lapangan namun belum membentuk barisan. Kelas 4 yang bertugas untuk upacara hari itu sudah siap namun mereka bingung karena kunci kantor tidak ada. (Disini ruang guru disebut kantor). Sembari saya menertibkan anak-anak untuk berbaris dan bersiap untuk upacara, saya menyuruh seorang anak untuk menjemput si kunci ke rumah salah seorang guru yang dekat dengan sekolah karena seluruh peralatan untuk upacara memang ada di dalam kantor.Hasilnya nihil, pintu rumah terkunci, lapor si anak yang saya mintai tolong. Singkat cerita, saat itu memang sedang heboh pemberkasan untuk kenaikan gaji guru. Tak perlulah saya menceritakan drama soal itu. Saya berpikir, bisa saja saat itu anak-anak yang sudah siap saya bubarkan dan selesai perkara. Namun saya belajar untuk menghargai setiap usaha. Kelas 4 kemarin sudah berlatih. Kelas yang lainnya sudah siap dan rapi. Ditambah lagi, matahari sudah semakin tinggi sehingga saya harus segera mengambil keputusan.   

Akhirnya, dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak jadi melaksanakan upacara namun seluruh siswa SDN 02 Sumber Jaya saya kumpulkan membentuk 4 saf. Saya menjelaskan dan memohon maaf karena tidak jadi melaksanakan upacara sebab kunci kantornya tidak ada sehingga alat-alat yang akan digunakan tidak bisa diambil. Namun, saya memberikan amanat saja kepada mereka untuk bersyukur bahwa mereka bisa mengenyam pendidikan dengan nikmat hingga saat ini. Dengan berapi-api saya menjelaskan bahwa keadaan mereka ini sudah bagus, sudah punya gedung permanen, jalan ke sekolah walau memang cukup sulit namun masih bisa ditempuh, pakaian dan peralatan sekolah juga cukup layak. Saya bercerita tentang murid rekan Pengajar Muda yang lain yang jauh-jauh disana. Mereka terkesima mendengar bahwa ada kondisi yang lebih sulit dari mereka. Saya tidak mau murid saya dininabobokan oleh keterbatasan. Mereka harus tahu bahwa mereka tidak patut bersungut-sungut dan mengeluh seperti generasi diatas mereka. Mereka harus tahu bahwa hidup mereka tidak hanya sekedar dilanjutkan dengan sesuatu bernama 'bantuan'. "Memang yang kita punyai terbatas, namun syukurilah dan manfaatkan sebaik-baiknya yang sudah ada, supaya ketika kita akan diberikan sesuatu yang lebih besar dan lebih baik, kita siap menerimanya kelak," ujar saya pada anak-anak.

Dari sudut mata saya melihat wali kelas 6 baru tiba. Saya tetap melanjutkan 'orasi' Rabu pagi itu. Sekarang saya berbicara bagaimana mereka harus bersyukur karena guru-guru mereka adalah guru yang penuh dedikasi. Walaupun rumah beliau-beliau ini jauh dan jalan menuju sekolah ini sulit namun mereka masih mengupayakan untuk hadir dan mengajar. Lagi-lagi, walau saya tidak suka membandingkan, saya menceritakan bagaimana guru benar-benar kesulitan mengajar dalam medan yang luar biasa sulit di tempat-tempat lain di luar pulau. Apalagi kalau hujan deras turun. Saya mengajar mereka untuk memberikan penghormatan pada guru-guru mereka yang setiap hari bisa dikatakan berjuang, walaupun kelihatannya biasa-biasa saja.   Poin berikutnya saya sampaikan khusus untuk kelas 6 yang akan menghadapi UN. Poin itu tentang kejujuran. Dan para muridpun terkaget-kaget saat saya bilang menyontek itu sama dengan mencuri. Lebih kaget lagi saat saya juga bilang bahwa mencontek sekarang berarti menyiapkan diri menjadi koruptor nantinya (tentunya setelah saya jelaskan dengan bahasa sederhana apa itu korupsi dan koruptor, ya mereka tidak tahu artinya). Saat bicara kejujuran ini sengaja saya keras-keraskan supaya tidak hanya murid-murid saja yang mendengarkan.

Sebagai penutup, saya memanggil ke depan semifinalis OSK 2012 dan Ronal Sandi murid kelas 6 yang tengah mendaftar untuk seleksi beasiswa Insan Cendekia Mandiri di Sidoarjo. Sembari membiasakan seluruh murid untuk belajar menghargai, sayapun menyemangati yang lain untuk terus berprestasi dalam kebisaannya masing-masing. Seluruh amanat tersebut saya sampaikan kurang lebih 15 menit saja, tidak buru-buru dan tidak saya lambat-lambatkan. Semoga meresap dan tidak didengar sambil lalu. Lebih lagi, semoga di hati rekan-rekan guru amanat tersebut bersarang. Bersama-sama kamipun menutup amanat singkat Hari Pendidikan Nasional dengan meneriakkan yel: "SDN 02 Sumber Jaya, BERANI dan PERCAYA DIRI" serta Tepuk Semangat bersama-sama. Lalu barisan saya bubarkan dan anak-anak berlarian ke kelasnya masing-masing.  

....  

Kisah ini ternyata belum berakhir.

Wali kelas 6 dengan muka sumringah tiba-tiba menawarkan: "Bu, apa anak-anak mau tetap disuruh upacara?" Saya mengatakan bahwa kunci kantornya tidak ada. TING! tiba-tiba beliau mengeluarkan anak kunci. "Ini, saya ada serepnya bu." Ya baiklah, mari kita mainkan. Anak-anak dipanggil kembali, berbaris dengan rapi walau matahari sudah cukup terik. Senangnya melihat yang kelas kecil dibantu oleh kakak-kakak kelasnya untuk berbaris. Hanya dalam beberapa menit formasi sudah terbentuk. Tak usahlah saya kisahkan bagaimana akhirnya lagi-lagi saya menjadi pembina upacara, mungkin ini karma saya dulu waktu SD :p. Dan upacara Hari Pendidikan Nasional itu pun berlangsung lancar dengan beberapa kesalahan yang masih bisa ditolerir. Yang lebih penting, mereka tahu bahwa pernah ada pahlawan yang mati memperjuangkan pendidikan sehingga mereka tidak sembarangan menganggap pendidikan ini adalah sesuatu yang sudah ada dari sananya.    

Semoga kisah ini tidak berakhir saat itu. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua