Ngaben di Lahan Sawit

Meiske Demitria Wahyu 7 Juli 2012

Selesai ibadah rumah tangga malam Kamis itu seperti biasa para jemaat bercakap-cakap santai sembari menikmati suguhan sederhana yang dihidangkan sang empunya rumah yang kebagian tugas menjadi ‘host’. Disini kami kadang hanya mengudap kacang rebus atau ubi goreng dari kebun sendiri dilengkapi teh manis hangat dan diselingi gelak tawa yang ramah dan penuh rasa kekeluargaan. Saat ngobrol-ngobrol itulah saya diberitahu bahwa akan ada Ngaben esok hari di desa Tandus, bagian dari desa kami di wilayah lain yang cukup jauh. Wow, Ngaben di Lampung? Di pelosok Lampung malah. Saya yang selalu tertarik dengan apapun tentang Bali sangat ingin datang. Ibu angkat saya seperti membaca pikiran saya,”Wah kalau acara-acara seperti ini harus ajak Ardi ya Meis, dia pasti seneng.” Malam itu saya segera menghubungi Ardi alias Awe ini.

Esoknya setelah Jumatan, Awe, rekan saya sekecamatan muncul di depan rumah. Saat ditanya arah Tandus, sayapun tak tahu. Siapa yang Ngaben pun belum jelas, tapi karena masih liburan, dengan menanyakan arah pada ayah dan ibu angkat saya, kamipun berangkat. Mengajak murid saya yang tinggal di sebelah rumah, bertiga kami boncengan menuju lautan pohon karet dan sawit. Ternyata rutenya cukup seru, jalanan menuju desa Tandus melewati hutan karet dan sawit dimana kadang untuk melewati kali kecil yang sudah kering hanya dibatasi bilah-bilah kayu yang diletakkan tidak terlalu rapat. Saya dan Fanus murid saya sampai harus turun dulu agar kami bertiga tidak terjerembab. Sayapun hampir terpeleset jatuh ke kali kering karena mendadak salah satu bilah kayu mencuat. Sisa perjalanan tidak terlalu ekstrem. Berbekal naluri berpetualang, saya dan Awe hanya mengandalkan bertanya pada orang-orang. Ternyata Ngaben diadakan di salah satu bagian dari desa Tandus dimana bagian ini ditempati oleh mayoritas orang bersuku Bali.  

Sampai disana ternyata acara Ngaben sudah selesai. Penduduk sekitar membaca kekecewaan di muka kami dan menawarkan untuk masuk dulu ke salah satu rumah. Melihat perangkat upacara yang sudah terpasang rapi, saya pikir sang empunya rumahlah yang mengadakan Ngaben. Ketika masuk, kami disambut dengan ramah  dan dipersilakan duduk oleh beberapa orang. Tidak berapa lama kami duduk, terhidanglah kue-kue sederhana dan air mineral dalam gelas. Wah, seperti mau kondangan saja. Saya dan Awe bercakap-cakap dengan sosok yang sangat berkarisma dalam batik rapi dan sarung, juga dengan balutan kain di kepala seperti orang Bali. Ternyata saya menemukan bahwa beliau adalah Ketua Banjar Adat Desa Balian Nusa Mertadadi. Kami akrab memanggil beliau dengan Bli Gede. Dengan sabar beliau melayani pertanyaan-pertanyaan kami. Dalam waktu yang singkat, kami sudah banyak belajar mengenai toleransi, mengenai keseimbangan dalam hidup, mengenai semangat kebersamaan. Kami dijelaskan bahwa ini adalah acara Ngaben pertama di desa Balian sejak berdirinya (disebut desa Balian karena dihuni oleh para transmigran dari Bali). Bahkan ini adalah Ngaben pertama di Tulang Bawang Barat. Agak menyesal karena tidak menyaksikan dari awal, tapi saya sangat senang berkesempatan mendengarkan penjelasan mengenai Ngaben dari seorang ahlinya, dan bukan di Bali. Kami bahkan diundang untuk menghadiri acara Ngaben Massal pada bulan Agustus nanti di daerah Kalianda, Lampung bagian selatan.  

Bli Gede menjelaskan tentang tiga tingkatan Ngaben. Ada jenis Nista yang sederhana, Madya kelas menengah dan Utama yang paling atas. Menariknya, tidak ada kewajiban bahwa satu keluarga harus mengadakan Ngaben dengan kelas tertentu baru akan ‘diterima’. Semua tergantung kemampuan keluarga masing-masing. Filosofi tentang keseimbangan hiduplah yang dijelaskan oleh Bli Gede sehingga umat Hindu akan mengusahakan benar-benar agar setelah meninggal dapat dilakukan upacara Ngaben. Elemen-elemen tubuh manusia yaitu tanah, air, api, angin dan zat hampa sejatinya dikembalikan lagi menyatu ke alam saat ia meninggal. Lewat upacara Ngabenlah proses pengembalian elemen-elemen tersebut dilakukan.  

Setelah berbincang-bincang, Bli Gede mohon diri untuk memimpin upacara pasca pembakaran jenazah yang sudah dilakukan tadi. Menurut Bli Gede, upacara ini dilakukan sebagai upacara penyucian, lagi-lagi untuk memulihkan keseimbangan antara energi positif dan negatif. Membersihkan area rumah yang tadi dipakai untuk melakukan upacara pembakaran jenazah. Sayapun baru mengerti bahwa Ngaben itu adalah suatu rangkaian upacara yang panjang. Mulai dari doa-doa, pembakaran jenazah, penyucian hingga melarung Abu Prerai, abu dari jenazah yang sudah dibakar. Kalau orang Cina melarung abu jenazah yang sudah dikremasi dalam sebuah guci, orang Bali melarung Abu Prerai dalam bentuk bungkusan kain kuning dengan sebuah kayu kecil bergambar wajah manusia di atasnya.  

Saya dan Awe juga mohon ijin agar dapat memotret jalannya upacara. Bli Gede dengan senang hati mempersilakan, bahkan mengajak kami mengikuti tahapan selanjutnya setelah upacara penyucian ini, yaitu melarung Abu Prerai. Saya memperhatikan dengan saksama proses upacara itu. Kami begitu dekat dan bebas sebagai ‘orang luar’ untuk belajar kebudayaan. Kalau ini terjadi di Bali pasti kami harus berdesak-desakan dengan ratusan bahkan ribuan turis lainnya untuk ‘mempelajari’ Ngaben ini. Setelah upacara penyucian selesai, seluruh anggota Banjar bersiap-siap untuk melarung. Tadinya kami diajak untuk ikut naik ke truk bak terbuka yang akan menuju sungai tempat abu dilarung, tapi karena keterbatasan tempat akhirnya kami sepakat untuk mengikuti rombongan dengan naik motor. Walaupun umumnya Abu Prerai dilarung di laut, tapi karena di desa Tandus tidak ada laut maka tidak apa-apa bila dilarung di sungai, sebab air sungai akhirnya akan mengalir ke laut juga.  

Perjalanan menuju sungai Sadang sangat panjang. Saya takjub dengan kemampuan sopir truk yang membawa peralatan Ngaben melewati (lagi-lagi) bilah-bilah kayu yang tampak ringkih dengan kecepatan yang hampir sama dengan motor kami para rombongan. Sekitar 30 menit kami sampai. Tak terdengar gemericik air sungai dari jalan, kami harus memarkir motor di jalan lalu berjalan kaki sedikit untuk menuju sungai. Sungguh menarik memperhatikan bagaimana warga Banjar bahu membahu secara efisien memindahkan peralatan Ngaben menuju pinggir sungai. Tidak berapa lama, seluruh peralatan telah siap dan prosesi melarung dilakukan. Perlahan tapi pasti Abu Prerai menjauhi kami menuju laut. Seorang pemangku adat mengiring Abu Prerai agar terus berjalan tanpa halangan. Made Umbreg pun telah sempurna kembali ke alam semesta saat Abu Prerai mengalir bersama aliran sungai menuju laut lepas nun jauh disana. Beruntung sekali saya, Awe dan Fanus murid saya menyaksikan sejarah hari itu.  

Setelah prosesi larung dilakukan, Awe mengambil foto-foto dan saya berbincang-bincang dengan menantu Made Umbreg, Ibu Wayan Swarni. Bu Wayan mengundang saya untuk mampir lagi kapan-kapan. Konsumsi pun dibagikan. Seluruh penduduk Banjar tampak masih mengobrol dan bersantai di pinggir sungai. Karena hari sudah mulai sore dan saya hampir ‘lupa’ membawa murid saya, kamipun pamit. Diiringi senyum dan keramahan Desa Balian Nusa Mertadadi kami pulang menempuh perjalanan yang sangat panjang. Sungguh pengalaman yang luar biasa.  Jumat, 29 Juni 2012 itu saya melihat budaya Bali di Tulang Bawang Barat, Lampung. Inilah privilese yang tidak didapat oleh semua orang.

Menurut saya, inilah bonus menjadi Pengajar Muda :)  

Kisah lengkap mengenai prosesi Ngaben Made Umbreg juga bisa dibaca di blog Awe.


Cerita Lainnya

Lihat Semua