info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Inikah Titik Nol Mereka?

Meiske Demitria Wahyu 30 Maret 2012

“It is not the sharpest that will win, but the most persistent.”  

Jumat pagi itu murid-murid sudah berbaris dan berjalan rapi dalam rangka jalan sehat. Tiba-tiba barisan mendadak mencang mencong karena ada yang mulai onar keluar barisan dan mencium tangan saya. Jepan yang suka iseng malah berteriak, ”Ada artis…ada artis,” dan semuanya tertawa riuh. Setelah terjadi kehebohan singkat itu akhirnya mereka kembali di barisannya masing-masing.   

Di tengah jalan menuju ke sekolah, saya ikut nimbrung dengan beberapa anak kelas 6. Saya mengobrol ringan sembari bertanya,”Kalau kalian SMPnya di Jakarta atau keluar pulau lah gitu, kira-kira mamak dan bapak kamu ngijinin ga’?” “Wah gimana ya bu, belum tahu juga tuh,” kata Nuryadi sang juara kelas. “Kayaknya sih boleh lah bu,” kata Sandi agak sok tahu. Saya pun memberitahukan kepada mereka bahwa berdasarkan informasi ada beasiswa dari sebuah SMP Islam berasrama yang terletak di daerah Sidoarjo, Jawa Timur. Anak-anak itu langsung tampak antusias. Pertanyaan-pertanyaan mulai terlontar dari mulut mereka, mulai dari pertanyaan umum seperti sekolahnya seperti apa sampai pertanyaan jajannya nanti dimana. “SMP kalau disana nanti tidur dimana bu?” “Belajarnya susah apa tidak ya bu?” “Bisa apa ga’ ya ngikutinnya bu?” “Bayarnya gimana bu?”  

Saya menjelaskan bahwa yang penting percaya diri dan tekun, karena materi apapun pasti bisa kalau dipelajari dengan rajin. Kepada anak-anak itu saya menceritakan sedikit kalau beasiswa itu seleksinya ketat dan harus mempersiapkan banyak hal, tapi jangan mudah menyerah. Jangan sampai kalah sebelum berperang. Lalu saya iseng bertanya pada Alfin, Sandi dan Nuryadi yang memang suka main bola, ”Kamu memangnya ga’ mau masuk sekolah bola?” “Ya mauuu bu, tapi biayanya itu…” kata Sandi spontan. “Kalau memang ada beasiswa, tapi di luar pulau (di luar Lampung maksudnya), kalian mau tidak?” “Mau bu!” jawab mereka serempak seakan tak perduli apakah diizinkan oleh orangtuanya atau tidak. “Baiklah, ibu akan coba carikan informasi ya, kalian belajar dulu yang rajin, sholat jangan bolong-bolong juga.” Mereka bertiga yang biasanya aktif bergerak tampak khidmat mendengarkan saya.  

Tak terasa perjalanan hampir berakhir. Menuju belokan jalan itu saya menceritakan kepada Fitri, Mega, Sandi, Nuryadi, Alfin dan Yani mengenai kisah Alif di “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi.  Bahwa dari kampung di Sumatra Barat Alif dimasukkan orangtuanya di Pondok Madani Ponorogo, Jawa Timur walapun ia ingin kuliah di Bandung menjadi insinyur. Ternyata ia berhasil meraih mimpinya di Perancis yang sebelumnya tampak sangat jauh dan tak tercapai. Apa rahasianya? Saya lalu berkata pada anak-anak itu, ”Rahasianya adalah suatu kalimat dalam bahasa Arab.” Mereka bingung dan berpandangan,”Kok bahasa Arab bu, emangnya ibu bisa?” “Eits, bisa dong. Rahasianya adalah Man Jadda Wajada. Ada yang tahu artinya?” untuk efek dramatis sengaja saya berdiam sebentar. “Artinya…Siapa yang berusaha paling sungguh-sungguh maka niscaya akan mendapatkan.” Tanpa saya suruh, mereka mulai melafalkan kalimat tersebut pelan-pelan. “Ayo tidak apa-apa, diulangi lagi lebih keras: Man Jad-da Wa-Ja-da…” Semacam adegan di filmnya, kami semua mengucapkan seperti mantra keras-keras dengan senyum di wajah masing-masing: “Man Jadda Wajada. Man Jadda Wajada.” (Tentunya tanpa kapak karatan, balok kayu dan Donny Alamsyah :p)  

Ketika sampai di sekolah, seperti tanpa beban mereka berlari ke lapangan dan bermain bola. Memang agak longgar jadwal hari Jumat itu jadinya. Saya memberitahukan perihal info beasiswa itu kepada Wali Murid mereka yang disambut dengan respon yang baik. Namun memang Beliau juga menguatirkan hal yang sama, takut tidak diberi izin oleh orangtuanya. Saat saya menuju ruang guru, Sandi dengan muka girang menghampiri saya, “Gimana bu, boleh sama Pak Wagirin gaa?” “Ya tentu boleh, tapi sama pertanyaannya, bapak mamakmu setuju apa tidak,” jawab saya dengan senyum. “Ibu coba carikan informasi yang lebih lengkap, nanti ibu kasitau lagi ya.”  

Perjalanan pagi itu singkat, namun saya yakin memberikan suatu pengharapan baru. Perjalanan pagi itu singkat, namun saya yakin memberikan suatu pengharapan baru. Harapan menuju masa depan. Keluar dari cangkang. Untuk tahu bahwa dunia tidak selebar daun kelor. Sesuatu yang bisa disebut titik nol, dimana mereka akan mencoba menapaki masa depan. Titik nol, dimana pertama kali mereka keluar kampung, keluar kota, keluar provinsi, bahkan keluar pulau. Awal yang baru dari segalanya. Awal pendidikan mereka. Mereka mungkin bukan yang terhebat, bukan yang paling tajam. Tapi saya mengajarkan mereka untuk tekun. Persistent.   

Semoga Tuhan mengabulkan impian mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua