Salah? Gak Masalah!

Matilda Narulita 30 Desember 2011

 “Jadi” ujarku di kelas Matematika pagi itu, “siapa berani mencoba mengerjakan soal ini?”

 

 

 

 

Hening.

Beberapa kepala tampak menunduk cepat-cepat. Satu, dua, lima kepala. Tanganku masih menunjuk deretan angka yang tertera di papan tulis.

 “Ayooo.. Siapa mau coba? Angkat tangan dolo baru maju ke muka!”

Masih hening.

Garis bilangan yang kugambar di papan tulis sudah mulai terhapus disana-sini setelah tadi kami asyik bermain lompat angka. Anak-anak kelas 6 begitu antusias ketika kupandu mengerjakan operasi hitung bilangan negatif di pertemuan pertama ini.

Tadinya.

Ya, tadi kelas begitu riuh ketika kami bersama-sama ‘melompati’ angka-angka di sepanjang garis bilangan untuk mencari hasil 3 dikurangi 7.

“Jadi kalau katong lompat 7x ke arah kiri, berhenti di angka berapaa?”

“NEBFATIF EMPAT, IBUUUUU!!”

“Negatif, bukan nebfatif. Ne!”

“NE!!”

“Ga!”

“GA!!”

“Tif!”

“TIF!!”

“Negatif!”

“NEBFATIF!!!”

Ah, baiklah.. (^_^”)

Sayangnya keriuhan itu mendadak surut ketika aku menantang anak-anak untuk mengerjakan soal di depan kelas.

Satu, dua, tiga, ..., sembilan.” Aku berhitung dalam hati. Hmm.. Semakin banyak kepala yang tertunduk rupanya. Kupandangi angka yang berderet di bawah garis bilangan.

4 – 6 = ...

Rasanya soal tersebut tak terlalu sulit. Toh sebelum ini kami sudah mengerjakan beberapa contoh soal bersama-sama.

“Ayo katong coba jawab sama-sama yaa..” kembali kurayu mereka.

”Salah itu seng apa-apa. Ibu seng akan pukul kamong. Kalau seng tau, nanti Ibu bantu.”*

Ah! Tiba-tiba mereka mengangkat wajahnya dan menatapku! Sebagian nampak mengernyitkan dahinya. Sebagian lagi saling berpandangan dengan teman sebangkunya.

5 detik, 10 detik. Nihil. Tetap saja tidak ada yang mengangkat tangannya.

Aku sedang menghela nafas kecewa ketika kulihat sebuah jari mungil teracung dari barisan tengah.

“Ya?” tanyaku.

Ibu, beta mau coba kerjakan soal.” ucapnya lirih.

Aku terkesiap. Kusorongkan spidol hitam ke tangannya yang agak gemetar. Dengan ragu ia menggoreskan spidolnya di bawah angka 4, membuat garis lengkung ke kiri.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam.”

Dia menghitung dengan lirih. Enam garis lengkung, dan berhenti di angka -3.

4 – 6 = -3

Ia menatapku penuh harap.

Di belakang, anak-anak sudah riuh. Rupanya mereka menyadari garis lengkungnya kurang tepat, sehingga berhenti di angka yang salah.

“Hah, jawabannya salah! Mati ose! Dapat pukul itu!”

Bisikan provokatif mulai muncul dari belakang, satu demi satu, sampai-sampai raut muka si anak pemberani ini mulai kecut. Dia pun tertunduk.

“Salah itu seng apa-apa. Katong belajar sama-sama supaya bisa to.” ujarku sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan, memberikan suntikan kepercayaan diri padanya.

Kupegang tangannya, lalu kutuntun perlahan-lahan, membuat lengkungan dari 1 angka ke angka yang lain. Satu demi satu, sampai angka -2. Senyum mulai mengembang di bibir mungilnya.

“Bet su tau, Ibu!” serunya riang.

Kutantang dia mengerjakan 1 soal lagi.

7 – 8 = ...

Hanya beberapa detik saja yang ia butuhkan untuk membuat lengkungan dan menggoreskan angka -1 di sebelah tanda ‘sama dengan’.

Bisa?” tanyaku sambil tersenyum.

“Bisa, Ibu!!” ucapnya sambil tertawa lebar dan kembali ke tempat duduknya. Kepalanya tidak lagi tertunduk. Tepuk tangan riuh dari seisi kelas jadi bonus untuknya yang berani maju ke depan dan mengerjakan soal :)

Kuinstruksikan anak-anak untuk membuka buku matematikanya dan mengerjakan 10 soal yang kutulis di papan tulis. Sambil menunggu mereka menyelesaikan pekerjaannya, aku duduk di kursi guru.

10 menit, 15 menit, masih belum selesai. Semua sibuk dengan bukunya, mengerjakan soal itu. Tampak wajah-wajah yang semangat menghitung. Sebagian lainnya tampak mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba terdengar percakapan dari seberang mejaku. Pelan saja, tapi cukup jelas kudengar.

“Susah sekali. Bet seng dapa’ jawab.”** katanya lirih.

“Coba sendiri dolo. Salah seng apa-apa. Ibu seng akan pukul katong! Ingat ka seng, yang Ibu bilang setiap pagi?“ teman di sebelahnya menimpali, masih sambil berbisik.

“Oh iyoo.. Saya bisa! Saya bisa! Saya pasti bisa!” seru mereka bersamaan. Lalu keduanya kembali menekuni pekerjaannya. Kali ini dengan senyuman dan semangat yang kuat terasa.

Aku tertegun.

Setiap pagi, sebelum memulai pelajaran, aku selalu meminta anak-anak untuk berdiri dan bernyanyi bersama. Juga meneriakkan yel kelas 6.

“Kelas enaaaaaamm?” teriakku.

“Saya bisa! Saya bisa! Saya PASTI BISA!” teriak mereka tak kalah kuatnya sambil mengacungkan tangan.

Yel yang kugunakan untuk membangkitkan semangat anak-anak, yel yang hanya kuteriakkan sekali sehari, nyatanya menjadi kalimat yang selalu mereka pegang. Yang selalu mereka yakini. Yang membuat mereka percaya mereka pasti bisa.

“Ibu, su habis!” teriak seorang anak. Sudah selesai, katanya. Teriakannya membuyarkan lamunanku. Ah, ternyata sudah banyak yang menyelesaikan pekerjaannya.

“Siapa berani maju ke muka?” tanyaku setengah berharap.

Dan, kejutan! Lima anak mengacungkan tangannya, ingin menjawab pertanyaan. Soal berikutnya, lebih banyak lagi anak yang mengacungkan tangan. Begitu seterusnya sampai di soal kesepuluh, hampir semua anak berdiri, mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, berteriak, memohon-mohon agar ditunjuk untuk maju ke depan kelas. Beberapa bahkan mulai menaiki kursi, berharap bisa menarik perhatianku dan menunjuk mereka.

Aku tak bisa menahan senyumku. Betapa mereka ingin sekali mencoba menjawab pertanyaan dengan kemampuannya sendiri. Betapa mereka menikmati rasa deg-degan yang muncul ketika maju ke depan. Betapa meluap-luapnya perasaan mereka yang baru kali ini diberi kesempatan untuk mengerjakan soal di depan kelas.

Tepuk tangan membahana untuk kesekian kalinya ketika seorang anak bisa mengerjakan soal terakhir, bertepatan dengan bel tanda istirahat. Aku sedang menghapus papan tulis ketika sepintas kulihat ada beberapa anak yang tetap berdiri sambil mengangkat tangannya.

“Ya?” tanyaku dengan bingung. Soal di papan tulis sudah habis.

“Ibu, beta mau jawab pertanyaan!” serunya. “Ibu, seng usah istirahat lai. Katong belajar, sudah.. Kasih soal yang banyak e, Ibu! Beta mau maju lai!”***

Ah.. :)

NB :

* Salah itu tidak apa-apa. Ibu tidak akan pukul kalian. Kalau tidak tau, nanti Ibu bantu.

** Susah sekali. Saya tidak bisa menjawab.

*** Ibu, tidak usah istirahat lagi. Kita belajar saja. Kasih soal yang banyak ya, Ibu. Saya mau maju lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua