Perempuan Emas

Matilda Narulita 27 Maret 2013

Lamdesar Barat, 14 Maret 2012

 

Drrrmmm..

Suara mesin menderu pelan. Sebentar saja, lalu mati.

Terdengar suara orang meng-engkol mesin sambil menggerutu. Sesekali ia memukul mesin supaya lekas menyala. Aku bergegas melongok ke sumber suara. Rupanya, Bapak Oce -tetangga sebelah rumah- sedang mencoba menyalakan genset. Malam itu, listrik masih padam.

Kalamarin ada pohon besar tumbang la kasi rubuh tiang listrik di perbatasan Lamdesar deng Kelaan!” ujar seorang bapak yang baru pulang dari kebun, “Listrik seng manyala lama ini..”

Hujan besar lagi, pohon rubuh lagi, mati listrik lagi. Begitu terus selama 3 bulan terakhir. Dan sampai hari ini, sudah 7 hari listrik tidak menyala sama sekali. Persediaan minyak tanah untuk pelita sudah menipis, padahal baru seminggu lagi motor laut berangkat ke kecamatan.

 “Ibu”, panggil Bapak Oce sambil menarik nafas panjang, “Su seng bisa lai..”

Sudah tak bisa lagi , katanya. Peluh diusapnya dengan tangan yang menghitam berlumuran oli.“Katong su usaha biking manyala genset tapi seng jadi.”

Ah, rupanya genset masih belum bisa dinyalakan.

“Danke, Bapak. Terima kasih lai.” ujarku sambil menghela nafas. Ini genset ketiga yang gagal dinyalakan.

Aku cepat-cepat menyiram minyak tanah ke dalam kaleng dan menyalakan pelita. Hari sudah menjelang malam. Sebentar-sebentar dari  dapur terdengar omelan Tante Aci yang kehilangan pisau, atau teriakan Mama Bat yang terkena cipratan minyak panas saat menggoreng ikan. Jatahku memasak sudah kuselesaikan. Mie dan bihun goreng serta sayur daun singkong sudah tertata rapi di meja makan. Kursi plastik warna-warni pun sudah kususun berjejer lima.

Aku merebahkan diri di kursi paling ujung, memejamkan mata sambil menikmati bau ikan berbungkus daun kelapa yang sedang dibakar. Hmm.. Sepertinya lezat sekali. Dini hari tadi, sekitar pukul 3, Bapak Meli mengetuk pintu rumah. Makin lama makin kencang karena aku tak kunjung bangun dan membukakan pintu untuknya. Sambil setengah terpejam, aku menyeret langkah menuju pintu depan. Belum setengahnya terbuka, Bapak Meli sudah merangsek masuk.

“Ibu, katong dapa’ ikan segar paling banyak!” ujarnya setengah berteriak sambil mengacungkan 2 tali ikan. Lima, sepuluh, tujuh belas, dua puluh, aku menghitung dalam hati. Beberapa di antaranya bahkan sepanjang lengan orang dewasa.

Aku merapatkan sarung yang kupakai. Udara dingin yang menyelinap melewati celah pintu membuatku menggigil. Tanpa menghiraukan badannya yang basah kuyup sehabis menjala, Bapak Meli langsung mengambil pisau dapur.

“Nanti Ibu tinggal goreng saja..” katanya sambil membersihkan sisik ikan dan mengeluarkan isi perutnya, “..supaya jang repot lai bikin bersih ikan.”

Dan, selamat ulang tahun, Ibu” ujarnya sambil tersenyum. Ah ucapan ulang tahun pertamaku. 

Hari ini aku berusia 25 tahun. Golden age, katanya. Beberapa hari sebelumnya, di kota kecamatan, aku meminta Pastor Paul untuk datang dan memimpin ibadah ulang tahunku.

“Ada makanan apa nanti? Katong pesta besar ini!” ujarnya penuh semangat,“Minimal bakar babi satu ekor.”

Aku tergelak.

“Seng, sederhana saja mo.. Tapi pastor harus datang!”

“Iyo, nanti beta datang.”

“Janji?”

“Iyo.Nanti lihat cuaca saja to..”

“Kalau seng datang bagaimana?” ujarku sambil cemberut. Melihatku berkacak pinggang, ia pun terbahak.

“Yang penting beta su siapkan hadiah khusus.”

“Apa itu?”

“Tunggu saja..”

 

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam lewat 5 menit. Beberapa umat sudah berkumpul di ruang tamu rumahku. Untuk kesekian kalinya aku melirik ke halaman, berharap di tengah hujan deras ada nyala lampu dari motor yang dikendarai Pastor. Namun nihil. Yang terlihat hanya kilasan cahaya dari senter yang mengarah ke rumahku.

“Ibu,katong mulai saja kah?” tanya Ketua Dewan Gereja padaku, “Sepertinya Pastor seng datang. Hujan terlalu deras.”

Aku menghela nafas. Cuaca hari ini memang tidak mendukung. Dua jam perjalanan darat melewati kubangan lumpur, menembus hutan, di bawah guyuran air hujan, tentu merepotkan Pastor. Aku cukup terhibur melihat umat yang tetap datang walau mereka punya pilihan untuk tidur nyenyak di rumah.

“Shalom!” terdengar sapaan Ketua Dewan, pertanda ibadah akan segera dimulai. Ia menaruh pelita di atas mimbar, dekat dengan kitab suci yang ia pegang. Begitu dekatnya sampai ia terbatuk beberapa kali terkena asap hitam pelita.

Ulang tahun kali ini memang spesial.

Spesial karena dirayakan ribuan kilometer dari rumah, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa keluarga. Tidak ada dering HP di tengah malam, tidak ada lagu ulang tahun yang dinyanyikan dengan suara mengantuk, tidak ada bunyi sms atau notifikasi ucapan di media sosial. Tidak juga ciuman di kening dari mama di tengah malam.

Tapi toh, sambil memejamkan mata, mengatupkan tangan, bibirku menyunggingkan senyum.

Hari ini, ada yang memberikan sebagian besar tangkapan ikannya sebagai hadiah ulang tahunku, ada yang berjalan sekian kilometer untuk mencabut singkong dan sayuran untuk hidangan malam ini, ada juga yang menembus hujan deras hanya untuk mengucapkan doa bagiku.

Sungguh, bahagia itu sederhana.

Dan beberapa malam setelahnya, di depan Pastor, tak henti-hentinya aku bercerita tentang hari ulang tahunku. Tentang bagaimana aku menyiapkan semuanya, tentang bagaimana umat berkumpul dan makan bersama, juga tentang anak-anak yang menemaniku tidur malam itu.

Dengan sedikit kesal aku menagih hadiah ulang tahunku.

“Harus spesial.” kataku tanpa kompromi. Pastor pun tergelak.

“Jadi?” tanyaku lagi. Sejujurnya aku penasaran juga, hadiah apa yang akan diberikan oleh Pastor.

“Baiklah..” ujar Pastor sambil menyalakan rokok yang ia pegang, “Hadiahnya adalah sebuah nama. Nama Tanimbar.”

Keningku berkerut.

“Nama ini bukan nama sembarangan. Maknanya pun istimewa.” lanjutnya. “Begitu istimewa sampai tidak banyak orang yang menyandang gelar ini.”

“Apa itu?” desakku tak sabar. “Apa nama Tanimbarku?”

“Maslamdity.”

Wah!” teriakku senang. Maslamdity, Maslamdity, ulangku dalam hati. Terdengar indah.

Artinya?”

Pastor menghisap rokok, lalu menghembuskannya perlahan.

“Perempuan emas.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua