Alafu, Ibu..
Matilda Narulita 27 Maret 2013Kres.. kres..
Kelas yang tadinya riuh mendadak tenang. Anak-anak berpandangan bingung.
Kres.. kres..
Gumaman mulai terdengar dari sudut ruangan. Terlihat mereka memicingkan mata, mencoba menerka apa yang sedang kubuat.
“Ibu sedang menggunting apa?”
Seorang anak memberanikan diri bertanya padaku. Aku yang masih bergelut dengan kertas di tanganku pun bergeming. Sudah hampir selesai, pikirku.
Anak-anak mengernyitkan dahi, masih belum mengerti apa yang kukerjakan.
“Nah!” ujarku memecah keheningan, “Tau ka seng, ini apa?”
Aku membuka lipatan kertas di tanganku.
“OHHH!! BENTUK HATI, IBU!” anak-anak berteriak riuh.
Aku tersenyum ketika mereka bertepuk tangan girang,merayakan keberhasilannya menebak hasil guntinganku.
“Ambil kertas, lalu gunting seperti Ibu bikin tadi.” ucapku sambil menyorongkan peralatan keterampilan pada petugas piket untuk dibagikan.
“Lalu, yang paling penting..” aku menghentikan kalimatku. Anak-anak mulai ber-ssst ssstt, mengingatkan temannya untuk tenang. “…tulis di kertas itu, ucapan terima kasih untuk orang yang kalian sayangi.”
“Boleh tulis untuk Mama, Ibu?”
“Kalau Bapak? Beta sayang Bapak te..”
“Beta kasih par Mei boleh ka seng, Ibu?*
“Tulis pantun persahabatan boleh ka?”
Berondongan pertanyaan mulai meriuhkan suasana kelas yang tadinya hening. Aku tergelak melihat antusiasme mereka. Ah, menulis surat memang menyenangkan ya.. ^^
“Buat siapa saja, boleh!” ujarku disambut teriakan “Hore!” dan tepuk tangan riuh dari anak-anak.
Mereka mulai sibuk dengan kertasnya masing-masing. Gunting yang jumlahnya terbatas pun dipakai bergantian. Kadang, saking semangatnya, mereka sampai tidak sabar ingin segera menggunting kartu ucapan. Bahkan sampai sedikit baku melawan khas anak-anak. Aku yang sedang menikmati pemandangan itu dikagetkan dengan pertanyaan Bobi, “Ibu seng bikin surat?”
“Ibu musti tulis surat juga..” Piden, yang duduk di sebelahnya, menimpali, “Nanti katong sama-sama kasih par orang yang katong sayang.”
Hmm.. Ide yang bagus. Sepertinya aku belum pernah menulis ucapan terima kasih juga sejak ditugaskan disini.
Baiklah.
“Nanti Ibu tulis juga.”
“Betul?”
“Betul.“
“Kasih par siapa, Ibu?”
Aku hanya tersenyum. Sedikit bimbang mau menulis surat untuk siapa. Beberapa bulan berada di desa Lamdesar Barat rasanya luar biasa berkat kebaikan orang-orang disini. Tapi.. Untuk siapa surat ini kutujukan?
Aku memandang anak-anak di hadapanku satu per satu. Mencoba mengingat kenangan-kenangan selama ini. Dan yang menarik perhatianku saat itu adalah Piden.
------------------------------------------------------------------
“Piden?”
Tanyaku sambil mengernyitkan kening. Aku melirik jam tanganku singkat.
12.20 WIT.
Sekolah baru usai 10 menit yang lalu. Anak-anak yang berlarian pulang sudah tak terlihat lagi. Aku yang masih tinggal di dalam kelas untuk menyiapkan pelajaran keesokan harinya dikejutkan oleh kehadiran seorang anak lelaki yang berdiri canggung di depan pintu. Berseragam lengkap, masih mengenakan sepatu yang warnanya kusam karena debu.
“Piden belum pulang?” tanyaku lagi. Ia hanya diam sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya menatap lantai.
“Ada yang tertinggal?”
“Mm…” gumamnya sambil menggelengkan kepala, sembari memasuki ruangan. Matanya tertumbuk pada buku tugas dan alat tulis yang berceceran di mejaku.
Kami sama-sama diam. Aku menunggu penjelasan darinya, sementara dia (sepertinya) setengah mati berharap aku berhenti menatapnya dalam-dalam.
“Jadi?”
“Mm.. Beta..”
“Ya?”
“Bet inga’ Ibu.” ucapnya lirih sambil menatapku. “Bet su bajalan sampai dekat rumah, tapi bet inga’ Ibu kerja sendirisaja. Jadi bet mau temani Ibu.”
Aku terperangah.
“Bet lapar, belum makan. Tapi beta inga’ Ibu yang pasti lebih lapar lai dari beta. Jadi bet datang saja, lalu bet tunggu Ibu selesai kerja dolo baru bet makan.”
Sekarang ganti aku yang terdiam. Aku tau pasti bagaimana senangnya anak-anak pulang ke rumah setelah seharian bergelut dengan pelajaran di sekolah. Dan tentunya, pulang berarti perut terisi penuh dengan makanan yang disiapkan oleh Mama. Perut kenyang, hati senang!
Dan anak ini, anak yang berdiri di hadapanku ini, porsi makannya paling banyak di antara teman-temannya. Terkadang melebihi porsi makan pria dewasa. Tapi siang ini, ia memilih untuk menunda makannya demi menemaniku yang sedang bekerja.
Ia beranjak ke sudut ruangan. “Kalau dekat, nanti Ibu seng bisa kerja bae-bae.” Jawabnya ketika kutanya kenapa ia duduk jauh sekali dariku.
5, 10, 15 menit, dan 3 berkas kemudian, Piden ingin pulang.
“Bet su lapar sakali, Ibu.” Ia meringis sambil memegang perutnya yang rata, dan akhirnya lari cepat-cepat setelah aku memaksanya pulang dan segera makan sebelum ia pingsan.
Aku pun lanjut mengetik. Hari sudah semakin siang dan cacing di perutku mulai berontak.
Namun, belum 5 menit berlalu, tiba-tiba tercium bau jagung bakar yang sedap. Sontak aku menoleh ke arah bau itu berasal. Dan disana, di pintu kelas, Piden sudah muncul kembali. Tangannya memegang jagung bakar yang sudah digigit setengah.
“Di rumah cuma ada 1 jagung bakar sa.” katanya sambil mematahkan jagung itu. “Katong bagi 2 e.. Kecil seng apa-apa to? Yang penting Ibu jang lapar lai.”
“Ibu..” lanjutnya sambil membuka tanganku, meletakkan bagian jagung yang masih utuh di tanganku. “Mari katong makan sama-sama dolo!”
“Kalau kerja banyak, tapi seng makan, nanti Ibu sakit.”
Ah, Piden..
-------------------------------------------------------------
“Ibuuu..Coba mari dolo. Beta pu kertas tarabek!” teriak Isak, mengagetkanku yang sedang melamun.
Ia melambaikan tangannya, memintaku datang untuk memeriksa kertasnya yang sobek. Aku berjalan menghampirinya yang duduk paling belakang sambil sesekali melirik hasil karya anak-anak lain.
“Ibu jang lihat!” kata mereka sambil menutup pekerjaannya. Sekilas, aku melihat kartu ucapan Petu yang hurufnya terlihat berantakan. Ah, aku senang sekali! Dulu, di awal kelas VI, Petu adalah anak yang kesulitan membaca dan menulis. Berhadapan dengan huruf, bagi Petu kecil, adalah neraka. Sabetan rotan membekas di tubuhnya yang mungil tatkala ia gagal merangkai huruf menjadi sebuah kata. Rasanya luar biasa sekali melihatnya berusaha keras melafalkan kata demi kata, lalu menuliskannya huruf per huruf, membentuk kata “Terima kasih”. Aku mengingatkan diri sendiri untuk memberikan apresiasi bagi Petu.. :)
Untuk Yobalina, gumamku pelan sambil membaca kata yang tertera di awal kartu ucapan milik Lodia.
“Ibuuuu.. Jang lihaaatt.. Bet maluuu..” ujarnya sambil merajuk. Aku menggodanya sampai ia terkekeh. Lesung pipi di wajahnya yang hitam manis membuat gadis pendiam itu terlihat cantik sekali ^^
Melihat anak-anak ini, aku teringat suatu sesi di kelasku.
-- -- -- -- ---- -- -- -- -- -- -- -- -- -- ---- -- -- -- -- --
“Ibuuu! Kasih pengumuman sudaaaahhh..”
Bel pulang baru saja berbunyi ketika anak-anakku berteriak, mengingatkanku untuk melakukan ritual sebelum pulang sekolah : pengumuman.
Pengumuman sepertinya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu, karena pada saat itulah aku mengajak anak-anak berdiskusi tentang les malam. Mereka akan mulai berunding untuk menentukan rumah siapa yang akan ditempati malam itu, juga pelajarannya.
“Di Reli pu rumah saja. Dia pu rumah paling besar!” usul seorang anak yang diikuti anggukan setuju dari seisi kelas, kecuali Reli.
“Dong ada mau ika’ agar-agar di bet pu rumah. Kalau malam ini seng bisa.” tolak Reli. Rupanya nanti malam ada kegiatan mengikat agar-agar (rumput laut) di rumahnya. Anak-anak pun berembuk kembali. Tak dinyana, dari barisan tengah, sebuah jari mungil teracung. Semua terdiam.
“Ibu..” ujarnya malu-malu,”Di beta pu rumah saja.”
---- -- -- -- ---- -- -- -- -- --
“JADI..” teriakku sambil mencoba mengalahkan keriuhan malam itu. Kami belajar di rumah Dorenci. Ia mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah saat belajar malam kali ini. Segerombolan anak yang sedang baku melawan karena berebut duduk di dekatku pun mendadak diam.
“Siapa yang masih ingat, ini namanya pulau apa?” tanyaku sambil menunjuk deretan pulau kecil, tepat di sebelah pulau Jawa. Anak-anak yang tadinya duduk tenang pun kembali riuh. Mereka terlalu bersemangat mencermati peta Indonesia yang kubawa, sampai-sampai terdengar suara mengaduh setelah kepala mereka berbenturan.
“Coba cari tau, itu pulau apa?” tantangku sambil menyorongkan peta ketika tiba-tiba..
Pet.
“Aaaaaarrgghhh!! Lampu matiiii!” anak-anak yang sedang khusyuk mencermati peta pun berteriak. Aku pun terkaget-kaget ketika listrik mendadak mati. Namun yang lebih mengagetkan adalah ketika tiba-tiba tangan-tangan kecil di dekatku meraba-raba, mencari tanganku, dan ketika sudah memegangnya mereka langsung mencengkeram tanganku kuat-kuat sambil berkata,
“Ibu! Tenang saja, jangan takut! Katong samua jaga Ibu bae-bae!”
Ah.. :’)
--- --- --- --- --- ---
“Ibuuuuu... cepat siniiiiii..”
Aku yang keasyikan melihat pekerjaan anak-anakpun kembali berjalan menuju bangku Isak. Ia tampak merengut, kesal sekali karena sudah memanggilku dari tadi tapi aku malah sibuk dengan anak-anak lain sampai lupa mendatanginya.
Melihatnya cemberut, aku justru menggodanya sampai ia tertawa, menampakkan barisan giginya yang rapi.
“Bagaimana?” aku memperhatikan kertasnya yang ternyata tidak sobek. Hmm.. Lalu untuk apa dia memanggilku?
Dengan cepat ia menarik tanganku, lalu membisikkan sesuatu di telingaku.
Ibu tulis ucapan par siapa, tanyanya.
“Seng tulis par beta ka?” Ia menggigit bibirnya. Rupanya, Isak setengah mati ingin agar aku menulis ucapan terima kasih untuknya. Aku tersenyum.
Isak adalah anak yang badannya paling mungil di kelasku. Bahkan dia lebih kecil daripada anak kelas III di sekolahku. Tapi, ia adalah anak paling pemberani yang aku kenal. Bayangkan, dia tidak pernah mau meninggalkanku berjalan sendirian di sekitar desa, apalagi pada malam hari. Ia tau pasti betapa para pemuda desa selalu berusaha mengambil kesempatan untuk menggangguku. Di suatu malam, ketika berjalan bersama anak-anak, ia menginstruksikan kepada mereka untuk membentuk formasi mari-katong-lindungi-Ibu-Tilda ketika akan melewati segerombolan pemuda. Alhasil, dengan formasi itu, aku berjalan dikelilingi 2 anak laki-laki di depan, 2 di samping kiri dan kanan, 2 di belakang.
“Tenang saja, Ibu! Nanti katong jaga Ibu! Kalau ada yang baganggu, beta bikin dong manyasal seumur hidup!” ujar Bobi –yang saat itu berjaga di samping kiriku- sambil memperagakan jurus silat, yang langsung diikuti oleh anak-anak lain yang memamerkan kemampuan karatenya untuk melindungiku. Aku tergelak.
“Katong laki-laki. Katong jaga Ibu.” Ujar mereka, membuatku merasa setahun ini aku pasti akan baik-baik saja. ^^
Dan di suatu malam, ketika aku sedang lelah dan lapar sekali setelah seharian mengikuti kegiatan di Gereja, aku terkejut melihat rumah dalam keadaan tidak terkunci. Kala itu aku sedang sendirian, karena mama dan adik angkatku sedang pergi keluar pulau.
Hatiku berdebar, takut jika ada tamu tak diundang menerobos kamarku dan mengambil laptop serta barang-barang penting lainnya. Aku bergegas memasuki kamar.
Aman.
Barang-barangku masih ada di tempatnya. Aku beranjak menuju dapur, memeriksa keadaan di belakang. Ketika melewati ruang makan, kekagetanku semakin bertambah melihat nasi, telur dadar kesukaanku, dan piring makan beserta sendok sudah tertata rapi di atas meja.
Aku masih terkaget-kaget memandangi meja makan ketika kulihat Isak keluar dari dapur, tak kalah kagetnya. Ia membawa sambal dan kecap dari dapur.
Dengan kikuk, ia menaruh sambal, lalu menghadapku sambil menunduk. Tak berani menatap mataku.
“Jadi?” tanyaku dengan perlahan. Aku menunduk, menyejajarkan wajahku dengan wajahnya.
Ia terus menunduk sambil menarik-narik bajunya, tanda ia gugup. Badannya semakin gelisah ketika aku memegang kedua bahunya, sambil meminta penjelasan.
“Beta tau Ibu sendirian. Beta tau Ibu su cape.” Katanya sambil menarik nafas, ”Jadi beta datang la memasak par Ibu, supaya pulang nanti, Ibu seng usah pusing-pusing mamasak. Ibu tinggal makan saja.”
“Beta seng bisa mamasak, jadi goreng tel..” aku langsung memeluknya erat-erat, tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyelesaikan kalimatnya.
Nasi dan telur dadar malam itu adalah makan malam terbaik yang pernah kurasakan. ^^
---- ---- ---- ---- ----
“Ibu! Jang talalu banyak malamun!”
Akh! Lagi-lagi aku tertangkap sedang melamun. Isak yang tadinya ceria, sekarang nampak cemberut lagi. Aku mencubit pipinya dengan gemas sambil menyuruhnya menyelesaikan tugas keterampilan dariku cepat-cepat karena bel pulang akan berdentang.
“Sedikit lai su selesai.” ksilahnya.
Aku kembali ke tempat dudukku, merencanakan membuat kartu ucapan bentuk hati berukuran sangat besar, yang akan aku persembahkan sebagai ucapan terima kasih untuk anak-anakku tercinta. Yang selama ini sudah begitu menyayangiku, begitu melindungiku, yang tanpa adanya mereka, rasanya aku tidak mampu melaksanakan tugasku di sekolah ini dengan baik :)
Aku sedang menuliskan kata pertama ketika tiba-tiba sepucuk kertas terjatuh di pangkuanku. Aku mendongak, berusaha mencari tau siapa yang melemparkannya ketika kulihat Isak lari cepat-cepat dari hadapanku.
Kubuka lipatan surat bentuk hati itu, yang ukurannya besar sebelah, lalu terlihat goresan warna-warni bertuliskan :
Untuk : Ibu Tilda
Ibu Tilda yang Isak sayangi, terima kasi banya suda kasi belajar Isak. Isak senang sekali belajar deng Ibu. Nanti kalau Ibu pulang Jawa, jang lupa Isak, jang lupa teman-teman.
Alafu, Ibu.
Ah.. I love you, too.. :’)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda