Ibuuuu, Katong Mau Belajaaaaaaaaarrr~

Matilda Narulita 27 Maret 2013

“Ibu, itu apa?”

Kesibukanku mengoreksi tugas Matematika teralihkan oleh pertanyaan dari seorang anak laki-laki yang menghampiri mejaku. Dengan sedikit heran, aku mengambil kertas yang ia tunjuk, terselip di antara tumpukan buku.

“Ohh...” ujarku sambil menyorongkan kursi, menyuruhnya duduk. ”Ini catatan kemajuan siswa kelas VI, untuk pelajaran Matematika.”

Ia mencermati kertas itu. Aku hendak melanjutkan pekerjaanku ketika tiba-tiba ia berkata, “Ibu, kenapa Sibran baru sampai penjumlahan?”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Anak-anak mendadak gelisah ketika aku mulai menuliskan angka di papan tulis.

“Huh! Matematika lai..” begitu keluh mereka. Aku tersenyum. Ini kali pertama aku mengajar Matematika di kelas 5. Guru yang seharusnya bertugas saat itu berhalangan hadir.

“Ibu, belajar yang lain saja..” teriak seorang anak dari kursi belakang, “Katong su paling bosan deng Matematika itu.”

Aku kembali tersenyum. Tiga soal pembagian bersusun sudah tertulis di papan. Mudah saja, pikirku, toh aku hanya ingin menguji kemampuan dasar mereka.

“Nah, kamong kerjakan sudah.” perintahku pada anak-anak, “Yang su habis kerja, kasih par Ibu. Nanti Ibu priksa..”

Satu dua anak mulai bacakar, mencorat-coret buku untuk mencari jawabannya. Beberapa anak serempak menggunakan jari tangannya untuk menghitung.

Dua, lima, sepuluh menit sudah berlalu. Belum ada juga yang maju dan menyerahkan pekerjaannya.

Aneh, pikirku. Sepuluh menit adalah waktu yang terlalu lama untuk mengerjakan soal semudah itu. Pembagian bersusun diajarkan sejak kelas III, jadi semestinya mereka sudah menguasainya. Toh soal yang kuberikan pun tak rumit. Aku memutuskan untuk berkeliling, memeriksa pekerjaan mereka.

Dan aku terhenyak.

Sebagian besar anak mengisinya dengan angka sembarang. Secara tiba-tiba muncul angka aneh di kolom jawaban, misalnya :

2/24\53

   14_-

  10

  10  -

   0

Sisanya? Kosong. Kertas di hadapannya hanya tertulis soal tanpa penyelesaian.

Sambil menghela nafas aku berjalan ke arah papan tulis dan menghapus semua soal yang sudah kutulis. Anak-anak berpandangan, bingung. Dengan cepat aku menorehkan 20 soal yang bervariasi, mulai dari penjumlahan, pengurangan, sampai perkalian dan pembagian. Masing-masing 5 soal, dengan tingkat kesulitan yang berbeda.

Kerjakan.” perintahku singkat.

Belum 10 menit berlalu ketika aku mendapati ada anak yang tidak mengisi soal penjumlahan dengan jawaban yang benar. Terlihat gelisah, ia berusaha menutupi pekerjaannya ketika aku mendekat untuk memeriksa. Duduknya semakin tak tenang saat aku bertanya “Kenapa tidak mengerjakan?”

Ia bergeming. Wajahnya menunduk. Aku kembali mengulang pertanyaanku, kali ini dengan sedikit pelan, “Abang, kenapa tidak mengerjakan?”

Abang nampak seperti mau menangis. Wajahnya kian tertunduk. Aku bisa merasakan tangannya mencengkeram kuat pena yang ia pegang.

Aku memegang tangannya perlahan. Sembari tersenyum, aku berbisik, “Abang, kalau Abang seng tau, tanya Ibu.”

“Kalau belajar deng Ibu, Abang salah seng apa-apa. Seng bisa jawab, seng apa-apa. Yang penting Abang mau belajar. Nanti Ibu ajar Abang sampai bisa.” ujarku.

Dengan ragu ia mengangkat muka, menatapku.

“Abang mau bisa?”

Genggaman tanganku semakin erat.

Sambil tersenyum, ia berkata, “Mau, Ibu!”

---------------------------------------------------------------------------------

Sejak dulu, mengerjakan Matematika selalu membuatku merasa bak detektif yang sedang beraksi; memutar otak, mencari petunjuk untuk memecahkan kasus yang rumit. Semakin sulit kasusnya, tentu akan semakin menantang. Sehingga, ketika kasus berhasil dipecahkan, rasanya seperti memenangkan pertandingan besar. Puas!

Sementara disini, Matematika –bagi anak-anakku– layaknya monster yang mengerikan. Berhadapan dengan angka membuat mereka panas dingin. Jangan kaget ketika mendapati ada anak kelas V yang  tidak mengerti konsep perkalian. Atau anak kelas IV yang menjumlahkan bilangan puluhan pun masih menggunakan jari, bahkan sampai meminjam jari temannya.

“Kasih tinggal dong begitu sudah. Dong memang paling bodoh!” begitu para guru biasa berkeluh. Bagi mereka, anak-anak sekolah sangatlah bodoh, sampai-sampai mereka sudah malas menghadapi anak yang tak memahami penjumlahan. Sayangnya, hal itu pula yang dipercaya oleh anak-anak.

“Siapa yang bodoh?” tanyaku dengan geram ketika suatu kali mendapati ada anak yang baku maki, dan mengatai temannya bodoh.

“Siapa ajar kamong bilang begitu?” aku kembali bertanya tanpa menunggu jawaban mereka.

Mereka hanya saling menatap sambil menundukkan kepala.

“Tapi..” ucap seorang anak dengan lirih,”banyak orang bilang katong bodoh.”

“Dengar,” kataku mulai melunak, “Kalau katong bilang teman itu bodoh, berarti katong berdoa par Tuhan supaya dia jadi bodoh betul.”

Mereka terdiam. Aku memegang bahu mereka pelan.

“Kamong mau kamong pu teman jadi bodoh?”

“Seng, Ibu..” ujar mereka.

“Jadi?”

“Katong seng memaki lai, Ibu!”

:)

 ------------------------------------------------------------------------

Aku selalu lupa ada yang namanya papan tulis ketika mengajar Matematika. Di setiap kelas yang kumasuki, aku selalu terkagum-kagum dengan keunikan tiap anak dalam mencerna pelajaran, terutama berhitung. Kemampuan mereka yang bervariasi membuatku harus mengajar secara individu, juga memberi tugas secara personal. Bayangkan serunya ketika di kelas yang sama, ada yang hanya butuh 1 kali penjelasan untuk menyelesaikan persoalan pecahan dari yang mudah sampai yang sulit, tapi ada juga yang butuh 2 , 3, bahkan 5 kali penjelasan untuk bisa mengerjakan perkalian 2 digit dengan benar.

Itu baru 1 kelas.

Pernah bayangkan, apa yang terjadi jika dalam 1 hari, mengajar 6 kelas sekaligus? Sudah sendirian, menghadapi 130 anak, sangat aktif pula!

“Kalau mau tutup sekolah, seng belajar dolo, seng apa-apa.” Kata salah seorang guru. “Atau, sekolah sa sampai jam 9 atau 10. Sudah itu pulang sa.”

Guru-guru lain sedang pergi ke kecamatan selama 2 hari. Namun, bagiku, libur sekolah bukanlah pilihan. Pilihan untuk bersenang-senang dengan anak-anak sepertinya menggoda. Tapi, sampai pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, aku belum menemukan metode yang paling tepat untuk mengajar 130 anak sekaligus, sambil memastikan mereka benar-benar belajar –bukannya main gila-.

“Ibu, katong belajar apa hari ini?” celetuk seorang anak kelas VI dari barisan tengah.

“Ibuuu.. Katong lai!”

“Iyo, Ibuu.. Katong mau belajar deng Ibu lai!”

Ah, rupanya mereka ingin segera belajar. Baiklah, akhirnya kuputuskan, hari ini bermain Matematika!

Peraturannya : setiap anak mendapat soal yang berbeda dari teman yang lain. Soalnya pun kutulis langsung di buku masing-masing. Jadi, jangan harap kalian bisa saling mencontek, pikirku.

Mari kita hitung, jika 1 anak mendapat 5 soal yang berbeda, maka jika aku menulis untuk 120 anak (anggap saja 5 anak tidak masuk karena sakit, dan 5 lainnya sedang ke toilet), hari itu aku telah menuliskan 600 soal Matematika yang berbeda. Baiklah! *singsingkan lengan baju*

Dan tak sampai 20 menit kemudian, segerombolan kecil anak sudah mengerubungiku, menyodorkan buku pekerjaannya, lalu menunggu sampai aku selesai mengoreksi dan –jika ada yang salah- maka kujelaskan satu persatu. Begitu terus sampai aku tak menyadari gerombolan kecil tadi bertambah sedikit demi sedikit sampai akhirnya mereka berdiri berdesakan di depan mejaku, dan mulai menjajah sebelah kiri kananku, bahkan bagian belakang. Sampai-sampai aku bisa merasakan nafas mereka di tengkukku ^_^”

“Antri dolo e..” teriakku, mencoba mengalahkan suara lebah-lebah kecil berseragam sekolah yang berdengung di sekelilingku.

Dan, gagal.

Mereka tetap saja berkerumun di sekelilingku. Nampaknya suaraku terlalu pelan.

“Coba antri dolo. Bisa ka seng?” teriakku lagi, mencoba mengalahkan suara ribut khas anak-anak.

“ANTRI DOLO TE!!!!” tiba-tiba seorang anak di sampingku berteriak kuat. Sangat kuat. Rupanya ia merasa kasihan denganku yang sudah kehabisan suara. Tapi, aduh telingakuu.. >.<

Setelah 3 jam dan 200 soal kemudian, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Puji Tuhan. *pijit-pijit jari yang mulai keriting*

“Terima kasih untuk hari ini. Kalau mau mengerjakan soal, boleh datang di Ibu pu rumah.” Ujarku saat memberikan pengumuman di apel siang. Mau siang ka, sore ka, malam, boleh saja.”

Berjalan pulang ke rumah, pikiranku sudah melayang membayangkan nikmatnya tidur siang. Baru membuka pintu, masih mengenakan pakaian untuk mengajar, ada suara memanggilku pelan.

“Ibu..”

Aku pun memalingkan muka, dan mendapati beberapa anak berpakaian bebas, menjinjing tas, dan mengenakan bedak muka.

Katong mau belajar.”

Sedikit heran, aku membukakan pintu lebar-lebar dan menyuruh mereka masuk. Dengan cepat aku berganti pakaian, lalu siap dengan alat tempurku; pena dan kertas coretan.

Maka dimulailah permainan Matematika babak kedua!

--------------------------------------------------------------------------

15.15 WIT dan ini sudah kelima kalinya aku menyuruh mereka pulang. Bukannya apa-apa, tapi mereka terlalu bersemangat sampai-sampai aku kewalahan dengan permintaan mereka. Bayangkan, diberi 5 soal, ngambek. Diberi 7 soal, muka masih datar. 10 soal, baru aku mendapat senyum lebar. Alhasil, siang itu aku menulis nyaris 200 soal lagi untuk 10 anak yang datang ke rumahku. Apalagi, aku harus menjelaskan jika ada yang salah, sampai dia bisa mengerjakan soal dengan benar.

*lap keringat*

Sore hari, setelah –akhirnya- mereka pulang dengan setumpuk tugas (“Kasih PR yang banyak par katong e, Ibu!”), aku pun bisa istirahat.

Malamnya?

60 lebih anak datang ke rumah untuk belajar.

Baiklah! *singsingkan lengan baju*

Keesokan harinya, setelah bangun dalam keadaan tangan pegal-pegal, anak-anak sudah mengerumuniku lagi. Mereka berebutan menunjukkan tugas yang telah mereka kerjakan.

“Beta seng mancontek, Ibu! Ini beta pu pemikiran sendiri.” Mereka membanggakan hasil kerja keras mereka.

Lucunya, ada yang suka gemas dengan dirinya sendiri karena berkali-kali membuat kesalahan sepele untuk soal yang mudah. Sampai-sampai, saking kesalnya, ia memegang tanganku dan berkata dengan lantang, “Ibu, beta su mangantuk ini. Tapi beta janji, satu kali lai beta pasti jawab deng benar!”, lalu ia berjalan ke pojok ruangan dan kembali berkutat dengan soal yang sama. Ah, gigihnya.. ^_^

Yang lebih membanggakan, hari ini anak-anak berhasil antri dengan tertib!

Bayangkan ada 100 lebih anak mengular, mengantri untuk dinilai. Antrian yang dimulai dari dalam kelas VI, memanjang sampai ruang kelas IV, rasanya tidak habis-habis. Yang sedang tidak mengantri, rupanya sibuk mengerjakan dan membetulkan lagi jawaban yang salah. Ah, anak-anakku terkena demam Matematika! ^^

Siangnya, semakin banyak anak yang datang untuk belajar. Begitu terus selama beberapa hari.

“Isak sekarang paling rajin belajar.” Kata seorang ibu pada suatu kesempatan.”Pulang sekolah, seng baganti pakaian dolo, langsung kasih keluar buku lalu kerjakan tugas.”

Beta pu anak su seng mau nonton film lai.” Yang lain ikut menimpali. “Dong lebih suka pigi di Ibu pu rumah lalu belajar.”

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu ketika, aku berjalan ke arah laut selesai memberi les siang pada muridku. Melewati suatu rumah, aku tertegun melihat Suri, murid kelas IV, mengerjakan soal Matematika yang baru saja kuberikan, sambil menggendong adiknya yang masih bayi.

Dua minggu lalu, pemandangan ini pun kujumpai. Bedanya, Suri menggendong adiknya sambil melamun. Sesekali menggumamkan lagu “Putih Abu-Abu”. Ah.. :)

--------------------------------------------------------------------------------------------------

“Ibu seng cape?” Tanya seorang tetangga yang melihatku kewalahan didatangi anak-anak siang dan malam.

“Seng”, ujarku sambil tertawa. “Beta senang anak-anak mau belajar.”

“Seng pernah cape? Betul?” ucapnya sedikit ragu.

Aku tergelak, teringat suatu siang dimana aku sedang dalam kondisi lapar dan lelah setelah beberapa hari mengajar 6 kelas sekaligus. Di pikiranku saat itu, terbayang mi kuah panas yang dicampur cabai pedas. Hmmm.. sedap!

Aku pun bergegas menutup pintu dan jendela depan. Hari ini les diliburkan, begitu pengumuman yang kuberikan kepada anak-anak. Tapii, sejujurnya aku tak yakin mereka akan mematuhinya.

“Ibuuuuu..”

Nah! Apa kubilang? Pasukanku sudah mulai datang!

Aku berjingkat menuju dapur, membuka sebungkus mie instan dengan perlahan-lahan. Jangan sampai mereka tau aku ada di dapur, begitu pikirku.

“IBUUU!!” Tok tok tok.”KATONG MAU BELAJAAAARRR..”

Ah! Mereka mulai berteriak dan mengetuk pintu! Makin lama makin kuat!

“IBUUU!!” Tok tok tok.”KATONG SU DATANG INIIII..”

Aku cepat-cepat memasak mi, menyeduhnya dengan taburan cabai, lalu bersiap menyantapnya ketika tiba-tiba pintu dapur terbuka lebar.

“Naaaahh.. Ibuuu, seng bisa sembunyi laiii.. Mari la katong belajar sudaahhh..”

Akh!


Cerita Lainnya

Lihat Semua