Menuju Tanah Pengabdian..

Matilda Narulita 11 Juli 2011
Carrier seberat 15 kg bersandar nyaman di punggung. Tangan kanan menjinjing backpack seberat 10 kg, sementara tangan kiri sesekali meletakkan dry bag berisi laptop dan barang elektronik lainnya untuk sejenak mengusap peluh atau memperbaiki posisi carrier yang mulai terasa berat. Di pojok ruangan, tersembul beberapa life vest berwarna orange yang wajib dibawa untuk dipakai di daerah penempatan. Hari itu, Kamis, 16 Juni 2011, jam tangan masih menunjukkan pukul 00.15 dini hari ketika kami tergopoh-gopoh memasuki bandara Soekarno-Hatta. Bersama dengan tim Fak-Fak, kami bersiap menaiki burung besi yang akan menerbangkan kami ke Bandara Pattimura, Ambon. Doa didaraskan, memohon keselamatan selama perjalanan. Dan tepat pukul 02.00 WIB pesawat lepas landas, diikuti perasaan excited, takut, cemas, bahagia yang bertumpuk sekaligus. Mulai detik ini, perjalanan telah dimulai. 3,5 jam berselang dan udara sejuk perbukitan menerpa wajah kami ketika turun dari pesawat. Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIT. Ah, kami sudah menginjakkan kaki di tanah Ambon. Di sana pulalah tim Maluku Tenggara Barat (MTB) berpisah dengan tim Fak-Fak. Mereka melanjutkan 1,5 jam perjalanan dengan pesawat menuju tanah Papua, sementara pesawat perintis yang seharusnya membawa kami ke Saumlaki, ibukota kabupaten Maluku Tenggara Barat, mengalami kerusakan sehingga penerbangan ditunda. Semalam saja kami di Ambon, menikmati semilir angin pantai dengan sepiring rujak dan kelapa muda, mengunjungi patung Christina Martha Tiahahu, pahlawan asal Maluku, juga Gong Perdamaian di pusat kota Ambon. Hujan mengiringi kami meninggalkan Ambon pagi itu. Cukup cemas mengingat pesawat yang kami naiki berukuran kecil, dengan penumpang sebanyak 30an orang saja. Ternyata langit Maluku sedang ramah. Hujan turun sebentar saja, dan setelah 2 jam perjalanan melewati langit biru cerah, hamparan pulau-pulau hijau, pantai dengan gradasi warna yang memukau, serta gulungan ombak Laut Banda, kami disambut dengan senyum ramah para bapak dari Dinas Pendidikan Kabupaten MTB yang menjemput di Bandara Saumlaki. Ah Saumlaki, kota yang unik. Angkot berlomba-lomba menyetel lagu berbahasa daerah dengan suara keras, yang ternyata diciptakan oleh warga Saumlaki, dengan genre yang berbeda-beda. Penginapan kami tepat berada di pinggir laut. Tak perlu ditanya berapa kali kami menganga karena terkagum-kagum melihat laut dan aktivitas para nelayan. Ketika teman-teman Pengajar Muda di daerah lain sudah beraktivitas di desa masing-masing, kami masih berkumpul di Saumlaki, menunggu kapal ferry dan motor laut yang hanya berangkat seminggu sekali. Sehingga kami harus menunggu selama 5 hari untuk bisa berangkat ke desa penempatan. Banyak sekali kebetulan-kebetulan luar biasa yang memudahkan kami. Tapi lebih baik cerita ini disimpan dulu saja :D Saya ditempatkan di SD Kristen Lamdesar Barat, desa Lamdesar Barat, Kecamatan Larat, yang berada di Pulau Larat. Bersama 3 teman pria, pada hari Selasa sore saya harus menempuh perjalanan selama 16 jam dengan menggunakan kapal ferry. Kami mengambil tempat di kamar ABK yang berisi 3 tempat tidur tingkat, sehingga cukup untuk 6 orang. Saya tidur di atas, tepat di bawah AC yang jaraknya hanya 15 cm dari kaki saya. Jika duduk, kepala saya langsung terantuk atap kamar. Berbekal antimo, kami memulai perjalanan panjang ini. Kapal transit di Pulau Sera pada tengah malam. Pagi harinya, kapal berhenti lagi di Wunla, tempat dimana Sandra harus turun untuk menyeberang ke desa Labobar, Kecamatan Wuarlabobar. Sementara saya, Dedi, dan Bagus (juga Fira, dari Indonesia Mengajar, yang menemani kami sampai di desa penempatan) melanjutkan perjalanan menuju Larat ditemani kasbi (singkong) rebus dan ikan berbumbu yang dibeli di atas kapal. Nikmat! Tepat pukul 10 pagi, kapal merapat di dermaga pelabuhan Larat. Dengan muka kusam karena tidak mandi seharian, mengenakan rompi Indonesia Mengajar yang wajib kami pakai saat keberangkatan, saya menuju kantor UPTD dan kantor Camat untuk melaporkan diri bersama Kepsek dan Fira. Belum-belum saya sudah diminta untuk mengajar SD di Larat setelah masa tugas saya di SDK Lamdesar Barat berakhir :D Dan sudah waktunya saya berangkat ke desa penempatan, berpisah dengan Dedi dan Bagus yang akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Molomaru menaiki ferry. Ditemani Fira, saya berangkat bersama Kepsek ke desa Lamdesar Barat menaiki ojek, membelah hutan. Kondisi jalan menuju Lamdesar Barat tidaklah bagus. Aspal sudah rusak dan berlubang, jalan sempit, sehingga sepanjang perjalanan saya hanya bisa meringis menahan rasa sakit karena ‘tertampar’ daun-daun dan ranting pohon, bahkan sebagian jalan masih berupa tanah kapur. Sehingga jika hujan turun, jalan menjadi sukar dilalui. Ketika menengadah ke langit, saya melihat gradasi warna biru dengan semburat awan putih, bertabrakan dengan warna hijau pepohonan. Pantai berpasir putih mengintip malu-malu di tengah rimbunnya hutan. Sepanjang 2 jam perjalanan, perasaan saya meluap-luap sampai rasanya saya tak ingin perjalanan ini berakhir. Dan seketika pemandangan itu tergantikan oleh rumah-rumah dengan jejeran rumput laut kering di sebelahnya. Desa Lamdesar Barat ada di depan mata saya. Rute ke Lamdesar Barat : Jakarta – Ambon              : pesawat, 3,5 jam Ambon – Saumlaki          : pesawat perintis, 2 jam Saumlaki – Larat               : kapal ferry, 16 jam Larat – Lamdesar Barat  : -  ojek, 2 jam -   motor laut, 4 jam Total perjalanan               : 23,5 – 27,5 jam

Cerita Lainnya

Lihat Semua