info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bah! Tong pi Larat!*

Matilda Narulita 11 Juli 2011

Dengan motor laut, Larat –yang merupakan ibukota Kecamatan Tanimbar Utara– dapat ditempuh selama 3,5 – 4 jam dari Desa Lamdesar Barat. Motor laut merupakan sebutan untuk perahu/kapal kecil dengan 3 mesin yang biasa digunakan untuk mengangkut 20 – 30an penumpang ke desa tujuan. Bisa juga digunakan untuk mengangkut rumput laut kering atau muatan lainnya.

Menuju Larat, kita harus menyusuri Laut Arafuru, melewati desa – desa dengan pantai yang luar biasa indah. Keluar dari Lamdesar Barat, desa pertama yang akan kita temui adalah Desa Kelaan yang berseberangan dengan Desa Romean yang terletak di Pulau Fordata. Kemudian ada Desa Keliobar dengan garis pantai yang panjang dan jejeran pohon kelapa yang meliuk tertiup angin. Setelah melewati Keliobar biasanya sudah muncul 2 – 3 bar sinyal di layar HP. Lalu ada Desa Watidal, desa terakhir sebelum sampai Larat. Ada juga Desa Lelungluan, desa di ujung paling utara Pulau Yamdena yang berhadapan dengan Larat. Semuanya berada di pesisir, dan semuanya punya keunikan masing-masing. Bahkan pantai – pantainya pun tak serupa. Pemandangan yang jamak terlihat di setiap desa adalah bangunan besar dengan menara yang tinggi, Gereja.

Di Maluku Tenggara Barat, agama mayoritas yang dianut penduduknya adalah Kristen Protestan, sebagian lagi Katolik. Ada juga kampung Islam yang terletak di Kecamatan Wuarlabobar, dimana sebagian penduduk desanya mayoritas Muslim. Duduk beralaskan kayu di atas motor laut membuat badan pegal, sehingga sebentar-sebentar saya mengubah posisi duduk agar nyaman. Yah, beginilah fasilitas yang didapat dengan membayar Rp 20.000,00 saja. Belum lagi suara mesin yang memekakkan telinga. Di belakang saya, terlihat banyak penumpang yang tidur bergelimpangan. Seorang ibu mengikat sarung ke rangka atap kapal dan menaruh bayinya di dalam sarung. Sambil meninabobokan anaknya, sang ibu mengambil posisi yang nyaman dan memasang selimut, bersiap tidur.

Perjalanan memang cukup lama. Tapi saya memilih untuk tetap terjaga, dengan pashmina yang saya belitkan di wajah, life vest menempel di badan, kamera di tangan kanan dan kepala yang sebentar-sebentar melongok keluar kapal. Menikmati laut yang berwarna hijau jernih, sehingga dasarnya terlihat, pepohonan dan batu-batu besar di pinggir laut. Langit biru cerah dengan matahari yang menyengat membuat air laut menjadi berkilauan terpapar sinarnya. Mata pun menyipit, menikmati siluet nelayan yang sedang berdiri di atas ketinting. Tak lama, air laut berubah menjadi biru tua, dengan sebersit gulungan ombak warna putih. Ada sensasi tersendiri menaiki motor laut, terutama bila harus menerjang ombak tinggi dan angin kencang. Goncangannya terasa kuat, sampai terkadang kulit basah terkena cipratan air laut. Suatu kali saya iseng merasakan air laut itu. Ah! Memang asin bukan main! x)

“Takut ka seng deng ombak tadi?”

Lamunan saya terhenti ketika seorang bapak bertanya apakah saya takut dengan ombak tinggi yang mengguncang kapal barusan.

“Seng, Bapak.” jawab saya sambil tersenyum.

Tidak, Bapak, saya tidak takut. Entah kenapa saya justru menikmatinya. Bagi saya yang baru pertama kali ini menjadi anak pesisir dan mengandalkan transportasi laut untuk berpindah tempat, ayunan ombak justru menjadi suatu kesenangan tersendiri bagi saya.

Dasar anakku memang petualang tulen” begitu ucap mama saya ketika saya dengan antusias bercerita tentang pengalaman pertama diayun gelombang tinggi. Saya pun terkekeh.

“Di Molomaru, ombaknya lebih tinggi lagi, Nona. Kalau angin su kencang, motor laut seng bisa lewat.” ucap bapak di sebelah saya tadi. Molomaru (biasa disingkat Momar) adalah kecamatan dimana 2 teman saya, Dedi dan Bagus, ditempatkan. Pihak Indonesia Mengajar yang ditugaskan untuk survey ke MTB bahkan tidak sempat mengunjungi Momar, karena speedboat tidak bisa merapat. Laut sedang ganas disana.

“Kalau dengan ferry, masih bisa. Ferry kesana tiap 2 minggu sekali. Tapi kalau motor laut, perahu kecil? Ah, seng..” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.

Sesekali bapak itu menghisap cerutunya sambil merapatkan jaket yang ia kenakan. Angin yang bertiup memang dingin, padahal hari masih siang. Beberapa orang mulai bangun dan membuka bekalnya. Bebah,kasbi rebus, petatas, dan nasi kering dinikmati dengan lahap.

“Kasbi, Nona Ibu?” seorang ABK dengan ramah menawari singkong rebus.

“Seng usah, terima kasih. Beta su bawa makanan.” ujar saya sambil membuka sebungkus biskuit. Tidak mengenyangkan, tapi cukuplah untuk mengganjal perut. Kasbi sedikit berbeda dengan singkong di Jawa. Rasanya lebih lembut dan manis. Biasanya kasbi, juga kelompok ubi-ubian lain seperti keladi dan petatas, serta pisang direbus atau digoreng untuk jadi santapan sehari-hari. Bisa juga dimakan dengan colo-colo, cabe yang diuleg dengan bawang merah. Di MTB, bebah atau sagu biasa dicetak bentuk hati (sehingga biasa disebut hearten) dan dijejerkan di depan rumah agar terkena panas matahari. Setelah kering, bebah bisa langsung dimakan.

“Kalau Nona makan biskuit Jawa, beta makan biskuit Lamdesar saja to.” kelakar seorang ibu sambil menggigit bebah yang ia bawa. Saya terkekeh. Sembari menggigit biskuit, saya memandang para penumpang lekat-lekat. Memandang ceceran remah-remah bebah dan potongan kasbi yang tersisa. Memandang ABK yang berlumuran oli. Memandang berkarung-karung rumput laut kering yang akan dibawa ke Larat. Orang-orang inilah yang akan menemani saya selama setahun ke depan. Dengan makanan yang mereka gali dari kebun sendiri. Dengan kearifan lokal mereka tentang alam yang mereka diami. Dengan potensi-potensi desa yang menunggu untuk dikembangkan.

Ah, rasanya setahun ke depan akan menjadi hari-hari yang paling menyenangkan dalam hidup saya.

Motor laut bergerak perlahan ke arah kiri. Mesin mulai dimatikan.

“Nona, itu Desa Lelungluan.” Ujar seorang bapak sambil menunjuk ke arah kanan. Jejeran rumah dengan Gereja besar berwarna putih terlihat sangat dekat. Di belakangnya, terdapat perbukitan hijau yang menyegarkan mata. Tepat di seberang Desa Lelungluan, di pinggir dermaga, motor laut berhenti.

 

“Bah, Nona. Angkat ose pu tas. Katong su sampai Larat.”**

 

Note :

* Ayo! Kita pergi ke Larat!

** Ayo, Nona. Bawa tasmu. Kita sudah sampai Larat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua