Benar atau Selamat?

Matilda Narulita 17 Juli 2011

*tulisan ini adalah refleksi minggu ke-5 pelatihan intensif Indonesia Mengajar, ditulis 5 Juni 2011

Seberapa berani kita mengambil keputusan? Terutama jika keputusan itu tidak didukung oleh orang-orang terdekat. Bisa jadi, bagi beberapa orang -termasuk saya- keputusan menandatangani kontrak Indonesia Mengajar adalah keputusan terbesar dalam hidup.

Bayangkan, tak sedikit yang melepas pekerjaannya demi mengikuti Indonesia Mengajar. Atau ada juga yang menolak tawaran pekerjaan dari perusahaan multinasional ternama demi mengajar di daerah terpencil.

Di suatu sesi kepemimpinan di minggu ke-5 pelatihan, para pengajar muda mendapat kesempatan bertemu orang-orang luar biasa seperti Rene Suhardono, seorang career coach; Tri Mumpuni, pendiri IBEKA yang sudah mendirikan instalasi mikrohidro di luar Jawa; juga Erry Riyana, mantan wakil ketua KPK. Selain itu kami juga mendapat pelajaran tentang Sekolah Siaga Bencana, Pertolongan Pertama, Outcome Mapping, serta Pengalaman Praktek Mengajar (PPM).

Sebagai seorang career coach, Rene selalu menekankan untuk mengikuti apa yang menjadi passion kita, what we enjoy the most. Bagi saya, melakukan suatu hal yang menjadi passion kita sangatlah menyenangkan. Tapi ketika berbicara tentang pekerjaan, bekerja mengikuti passion bisa jadi merupakan suatu hal yang berat.

Seorang teman masuk fakultas kedokteran karena pilihan orang tua. Padahal dia menyadari passion-nya ada di fotografi. Bagi beberapa orang, terutama orang tua, bekerja sebagai fotografer tidak akan mencukupi kebutuhan hidup. Sementara dokter adalah pekerjaan terpandang, yang bergaji tinggi. Padahal kebahagiaan tidak selalu diukur dari uang. Berani memutuskan untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan sendiri terkadang menjadi suatu kemewahan. Dan berani mengikuti passion dan mengembangkannya bisa membuka suatu kesempatan yang luar biasa.

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini adalah pertanyaan yang terlontar dari Ibu Tri Mumpuni. Seberapa beranikah kita membela hal yang benar? Apakah keselamatan lebih penting daripada mengungkapkan hal yang benar? Bisa jadi ketika mengajar, kita menemui kecurangan-kecurangan yang terkadang menyeret kita untuk ikut terlibat.

Dilematis, terutama ketika kita dihadapkan pada konsekuensi dari setiap pilihan sikap.

Ketika kita memilih hal yang benar, banyak pihak yang akan menjadi 'lawan' kita. Dan selama setahun mengajar di tempat itu, bisa jadi kita tidak merasa nyaman sama sekali. Tentu saja hal ini akan menghambat kita dalam melaksanakan tugas. Ini baru level sekolah. Bagaimana jika nanti pada lingkup yang lebih luas dalam hidup kita menemukan dilema seperti ini? Teguh memegang hal yang benar atau mencari selamat?

Ketika kita menghadapi situasi seperti itu, ingatlah Pak Erry Riyana, yang memegang teguh prinsip kebenaran sebagai suatu value dalam hidup. Yang berani melawan pihak yang melakukan kecurangan, dan bertahan membela hal yang benar. Konsekuensi akan selalu ada. Bahkan ketika kita memilih untuk selamat dan tidak mengatakan hal yang benar. Jadi, pilih mana : benar atau selamat?


Cerita Lainnya

Lihat Semua