Kamu Jadi Guru SD? Di pelosok? Ngapain??
Matilda Narulita 17 Juli 2011*tulisan ini adalah refleksi minggu ke-4 pelatihan intensif Indonesia Mengajar, ditulis 30 Mei 2011
Setiap guru mengemban tanggung jawab yang besar. Sangat besar malah. Bayangkan, guru dituntut untuk tak sekedar mengajar, tapi mendidik anak, menanamkan kecintaan akan ilmu dalam diri anak sejak dini. Pendidikan merupakan modal utama yang akan menjadi bekal setiap anak sebelum melangkah menuju jenjang selanjutnya. Tak heran pemerintah mewajibkan pendidikan dasar 6 tahun. Selain ilmu, diharapkan anak juga mendapat pendidikan moral dan juga pembentukan karakter.
Mirisnya, dibanding negara lain, kesejahteraan guru di Indonesia tergolong rendah. Lebih miris lagi, tidak semua guru mempunyai passion mengajar. Masuk kelas setiap hari dianggap rutinitas belaka. Guru tidak berhasrat untuk menularkan kecintaannya akan ilmu kepada anak-anak. Terkadang anak malah dituntut untuk mendapat nilai setinggi-tingginya, tanpa peduli bagaimana proses dan perkembangan dirinya dalam menyerap materi pelajaran.
Sebuah pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya ketika mereka tahu saya akan bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar. Buat apa sih jadi guru SD? Toh bukan dari latar belakang ilmu kependidikan. Begitu dalih mereka. Saya teringat sosok Bu Weilin Han dan rekan-rekannya dari I-Teach yang saya kenal di minggu ke-3. Dengan metode pengajaran yang interaktif dan kreatif, mereka mampu membangkitkan minat belajar siswa. Bahkan tak jarang saya mendengar teman-teman Pengajar Muda mengatakan, “Coba dulu ada guru seperti Bu Wei di SD-ku. Pasti aku jadi senang belajar.”
Kenapa sih Bu Wei melakukan hal ini? Latar belakang pendidikan S1 Bu Wei tidak berhubungan dengan pendidikan SD. Lalu kenapa repot-repot memutar otak untuk menemukan metode belajar kreatif? Saya terus menerus bergelut dengan pertanyaan ini selama beberapa waktu. Padahal jawabannya sangatlah mudah.
Karena Bu Wei mencintai apa yang dia lakukan.
Dengan mencintai apa yang kita lakukan, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Hal ini menjadi refleksi saya di minggu ke-4, dimana pelatihan sudah setengah jalan. Sudahkah saya mencintai apa yang saya lakukan disini? Menjadi guru SD berarti kita harus siap mendidik, tak sekedar mengajar. Siap menanamkan nilai-nilai penting yang berimbas langsung pada karakter anak. Siap menularkan kecintaan akan ilmu pada anak-anak. Dan itu tidaklah mudah.
Salah satu agenda penting minggu ke-4 adalah micro teaching, mengajar di depan teman-teman dan penguji yang berasal dari UNJ. Disini saya menantang diri saya sendiri untuk membuktikan bahwa keberadaan saya di Indonesia Mengajar ini tidaklah salah. Saya menantang diri saya sendiri untuk menjawab pertanyaan yang menjadi refleksi minggu ini, tentang mencintai hal-hal yang kita lakukan. Bisa jadi, micro teaching kemarin bukanlah momen terbaik saya. Saya akui, persiapan saya tidak cukup maksimal, sehingga ada kekurangan di sana sini yang jujur membuat saya kecewa. Meskipun begitu, kritik, saran, bahkan pujian dari teman-teman menjadi catatan penting bagi saya.
Saat ibadah Jumat siang, kami saling berbagi mengenai apa yang kami rasakan di minggu ini. Ada gambar orang dengan macam-macam ekspresi seperti senang, sedih, gamang, menangis, dll. Gambar ini membantu kami untuk bercerita. Saya mengambil gambar orang dengan ekspresi bahagia. Karena walaupun micro teaching tidak berjalan seperti yang saya harapkan, saya menikmati saat-saat dimana kepala saya sibuk memikirkan metode interaktif apa yang harus saya pakai untuk membangkitkan minat belajar siswa. Saya menikmati saat-saat dimana saya mempersiapkan alat peraga sampai jam 1 malam. Saya menikmati perasaan deg-degan sebelum memulai micro teaching, yang ternyata langsung hilang begitu saya mulai mengajar. Dan entah kenapa, saya begitu menikmati mengajar, menjadi guru di depan kelas, membagikan pengetahuan kepada anak didik.
Bisa jadi, yang akan saya alami di penempatan lebih berat daripada ini. Bisa jadi, saya tidak berhasil menemukan metode kreatif. Bisa jadi, murid dan lingkungan sekolah nanti tidak kooperatif. Ketika mengalami kesulitan-kesulitan itu, saya harus mengingat minggu ke-4 ini. Bagaimana saya bertemu orang-orang inspiratif yang memulai segalanya dari kecintaan akan hal yang dia lakukan, dan juga bagaimana saya menikmati setiap proses mulai dari awal sampai saat ini. Satu hal yang saya ingat, selalu ada jalan bila kita berusaha semaksimal mungkin.
I love being here.
Saya menikmati setiap proses dan mencintai apa yang saya lakukan disini. Semoga suatu saat nanti saya bisa berkata.. “I love being a teacher.”
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda