Pertemuan Pertamaku dengan Dira

Marlita Putri Ekasari 6 Agustus 2011
Pendidikan adalah hak setiap warga negara Pasal 31 UUD tahun 1945, menjamin secara penuh setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Pertemuan pertamaku dengan Dira membuatku sadar aku perlu memperjuangkan hal ini disini. My first day Jantung ini mulai berdegup kencang, ritmenya kacau. Roster (jadwal pelajaran yang kususun bersama kepala sekolah) menghendaki aku menginjakkan diri di kelas VB dengan matematika sebagai materi awal. Aku diberi tugas untuk mengajar matematika (di kelas VA,VB,VIA dan VIB) dan Bahas Inggris (di kelas IV, VA,VB,VIA dan VIB) Aku tidak ingin terlambat hari ini. Teringat tadi malam aku tidak bisa tidur, besok adalah hari pertama aku berinteraksi dengan anak-anak secara formal. Aku tandai dengan tempelan 11 Juli 2011, my first time to teach di lemari bajuku. Buku paket matematika berwarna biru kubuka kesekian kalinya. Bukan karena belum paham mengenai materi itu, tapi aku tidak ingin membuat kesalahan untuk pertemuan penting besok. Baju yang akan digunakan sudah kusiapkan di sisi kasur, alarm hp ku setting di pukul 03.00, tas acer hitam kupersiapkan dengan alat tulis, buku dan papan nama anak-anak yang kubuat beberapa hari yang lalu. Dalam doa, aku berharap mendapatkan yang terbaik esok hari.. Langkah demi langkah menuju ke sekolah, meningkatkan endorfinku, senyumku tak henti berkembang, tas ini berayun ke kanan dan ke kiri. Teringat pada Pak Juwari, Guru SD ku yang kukagumi, tak percaya kini aku menjadi sepertinya. Nostalgia akan memoriku di SD muncul ketika di pintu sekolah, kulihat anak-anak berlarian, ada yang membersihkan halaman, ada yang masih jajan, ada yang berkejar-kejaran. Guru-guru saling bercakap di kantor, menyapaku dengan ramah saat aku masuk. Interaksiku dengan guru-guru yang murah senyum itu hanya sebentar, karena aku harus masuk kelas. Kelas VB itu ada di sudut sekolah. Apalagi hari ini, kelasku langsung disupervisi oleh pengawas.. Dira... Materi bilangan bulat kali ini terasa menyenangkan. Anak-anak interaktif mengikuti pelajaran. Kartu ijin yang aku buat berhasil mengerem jumlah anak yang keluar kelas. Anak-anak memang selalu berkeinginan keluar kelas dalam observasi 1 minggu sebelumnya. Tapi ada yang lebih istimewa hari ini. Ada anak yang menyita perhatianku, berkulit gelap, berperawakan kurus, duduk di lajur tengah baris terakhir dengan tangannya sedikit bengkok di bagian kanan yang membuatnya berbeda. Dira, nama anak itu. Dira semakin menarik perhatianku ketika anak-anak yang lain sibuk dengan soal yang kuberikan, dia membuat tulisan sandi rumput yang tak kumengerti menggunakan tangan kirinya. Aku mulai memintanya untuk menyalin angka yang ada di papan tulis. Tapi apa yang dia lakukan hanyalah tersenyum dan melanjutkan apa yang sudah dia tulis. Aku pun mengalihkan perhatian ke anak lain. Sampai aku mendengar celetukan anak-anak yang mengatakan Dira adalah orang gila. Aku meminta mereka untuk fokus pada pelajaran bukan mengganggu anak lain. Aku mengisi pelajaran ini mengevaluasi secara langsung dengan membuat gerakan tepuk ke atas untuk bilangan bulat genap, gerakan tepuk ke bawah untuk bilangan bulat ganjil dan tangan membentuk angka nol untuk bilangan nol. Dari kegiatan tersebut, aku langsung bisa mengetahui anak mana yang tidak memahami penjelasan yang ada di depan dengan cara yang menyenangkan. Dira mengikuti dengan susah payah, karena tangan kanannya tidak mampu ia fungsikan dengan baik. Dalam kegiatan ini, beberapa guru secara bergantian masuk ke kelasku untuk mengeluarkan anak itu. Aku bersikeras mengatakan Dira dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Setelah jam mengajarku (3 JP) habis di ruang itu, pengawas menghampiriku dan mengatakan bahwa cara mengajar dengan evaluasi langsung, sangatlah baik. (Terima kasih bu Wei). Tapi hal yang membuatku kaget ketika beliau menyampaikan dengan berbisik bahwa Dira sebaiknya dikeluarkan dari kelas, karena akan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Beliau menceritakan Dira sebagai anak gila yang hanya akan melukai anak lain nantinya. Kusampaikan bahwa Dira bukanlah suatu ancaman. Dira hanya anak biasa yang ingin belajar. Aku menjamin Dira tidak akan mengganggu anak yang lain. Kepala sekolah pun yang tadinya ingin mengeluarkan Dira memperbolehkan Dira masuk ke kelas tempat dimana pun aku mengajar untuk hari itu dan seterusnya. Alhamdulillah... Bahasa bima yang kental menjadi dinding diantara aku dan Dira. Tak ada dinding yang tak bisa runtuh, bukan? Dira, aku akan tetap berusaha mengenalmu, mendampingimu dan menyayangimu seperti anak-anak yang lain. Dira, kuingin dirimu menjadi bagian dari anak-anak sekolah seantero negeri ini yang mengejar mimpi. Dira, teruslah bersikeras masuk kelas, teruslah menulis, peliharalah cahaya itu dalam dirimu, patahkan pendapat orang lain yang menganggapmu gila,...Pendidikan ini juga untukmu..Negara ini menjaminmu...dalam konstitusi tertinggi setelah Pancasila dan aku akan berjuang bersamamu. Dalam kobaran semangat Parado, 11 Juli 2011

Cerita Lainnya

Lihat Semua