info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

"Hanya Ingin Tahu Pak Guru Pu Kabar Saja!"

Masdar Fahmi 15 Juni 2013

Siang tadi ketika saya di pasar, sedang memiih-milih sajadah untuk hadiah anak-anak yang rajin ngaji dan sholat. Tiba-tiba 'Axcel Derulo' berteriak. Ringtoon HP-ku yang bersemangat. Aku memungutnya (si ringtoon itu) dari folder di HP muridku Manaf.

"Hallo, pak guru...." Ada suara anak kecil di ujung sana.

"Iyo, halloooo, ini siapa kaaah??" Jawabku sumringah.

Suaranya agak terputus-putus, kurang jelas. Berkali-kali aku menanyakan siapa kaah, siapa kaaah?

Akhirnya aku menangkap sebuah nama.

"La Nisa, Pak guru...." Jawabnya. Aku bisa  merasakan suaranya yang renyah, pasti diiringi dengan sebuah senyuman yang khas darinya :) Senyuman yang setiap kali dia pasang selalu bisa membuatku ikut tersenyum juga.

Murid kelas 5, SD Inpres Urat kabupaten Fakfak, Papua Barat. Anak keturunan Buton – Papua. Gayanya cekatan dan ceria. Tutur katanya sopan, halus dan jika mendengarkan intonasinya,  selalu terbayang sosok anak-anak yang dewasa. Apalagi ketika dia mengulang pertanyaan. Goyangan penegasan di suku kata yang terakhir itu, bi-kin-ge-mes-ba-nget!

Kalau hidungnya sedang meler, dia akan terlihat  sangat lucu. Apalagi dipadupadankan dengan ekspresinya ketika salah tingkah, atau salah mengatakan sesuatu. Semacam kaget, reflek menaikkan pundak, nyengir, dan menggarukkan tangannya di kepalanya yang berambut keriting. Hahae...

Semangat belajar anak ini, sungguh bisa diacungi jempol. Jarang bolos sekolah—bahkan hampir tak pernah, jikapun harus bolos dia akan ijin jauh-jauh hari. Selalu menyempatkan menabung setiap dua minggu sekali, dan rajin mengaji serta sholat. Makanya dia pantas mendapatkan predikat sebagai juara rajin menabung, sholat dan mengaji!

Siapa sangka, anak yang masih ingusan ini bisa melakukan hal-hal yang so sweet padaku. Conntoh ya, Pagi-pagi sekali su ada di rumah, menunggu untuk berangkat sama-sama ke sekolah. Padahal aku masih sibuk mandi di sumur umum. Aku ingat adegan waktu itu, saat dia membenamkan sebuah bingkisan di kepalan tanganku.

“Pak Guru....” Sapanya sembari masuk ke rumah.

“Eh... La Nisa, kau su siap kah? Pak guru baru habis mandi, tunggu e.” Jawabku sembari ngelap rambutku dengan handuk merah.

“Beta su tunggu pak guru...” Katanya.

“Iyo, kau su mandi kaaah?” Tanyaku padanya.

Dia mendongakkan kepalanya, tanda menjawab ‘iya’.

“Tunggu e, pak guru tukar pakaian dulu...” Kataku sambil tersenyum. Aku melangkahkan kaki menuju kamar hendak berganti pakaian.

Dia mencegatku di depan pintu kamar, lalu memberikan sesuatu ke tanganku. Sebuah biskuit coklat bergambar macan! Makanan favorit anak-anak di kampung. Caranya memberi seperti orang yang ngasih amplop ke pengantin—sambil berjabat tangan.

“Untuk pak guru...” Katanya singkat. Dia tersenyum. Giginya tersusun rapih. Dia berlalu menuju ke depan rumah, lalu duduk-duduk sembari menungguku.

Hening sejenak. Ada sebuah rasa yang bereaksi di balik dadaku. Lagi-lagi, polah anak-anak sukses membuat jantungku berdesir.

Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih, lalu buru-buru masuk kamar.

Ya, begitulah La Nisa. Caranya memberi sangat sopan. Tak mau terlihat teman-teman yang lain. Dia genggam sampai tak terlihat biskuit itu, lalu ditransfer ketanganku.

La Nisa, muridku yang juga pintar menggambar. Selalu sedia spidol 12 warna di tas rajutnya.

***

“La Nisa dimana kah?” Sambungku lagi.

“Di pulau telepon pak guru, di kampung!” Jawabnya.

“Oh, di kampung? Bagaimana La Nisa?” Tanyaku penasaran, kenapa tiba-tiba dia menelponku, jarang-jarang.

“Ah, tarada. Hanya ingin tahu pak guru pu kabar saja!” Jawabnya polos.

Speechless.

“Ooooh, pak guru baik, ini hari kalau ada hubungan pak guru naik kampung. Kalau tidak ya besok!” Jelasku padanya.

“Oh, itu sudah. Pak guru saya pulang dulu ke rumah e! Daa...” Katanya sembari menutup telepon siang ini.

Speechless lagi.

La Nisa sengaja ke pulau telepon, mendayung selama 15 - 20 menit. Hanya ingin bertanya kabarku bagaimana?

Lagi-lagi speechless.

“Mbak, saya beli 4 sajadahnya ya...” Kataku kepada penjual, kemudian berlalu pergi.

Terbayang senyuman La Nisa dengan deretan giginya yang rapih. Mamae... aku kangen pengen cepat-cepat sampai kampung. Anak-anak ada bikin apa kah sore-sore begini?

Enda guru Jawa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua