Wunlah Punya Kisah
Marthella Rivera Roidatua 12 Oktober 2013
Dua hari berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk meng-‘iya’-kan tawaran Adit, rekan se-tim MTB yang bertugas di desa Wunlah, demi menjadi pemateri dan fasilitator KKG Kecamatan Wuarlabobar. Sebelumnya Adit sudah menceritakan via telepon tentang perjuangan panjang dalam mencari pemateri untuk KKG di kecamatan yang memiliki 12 SD ini. Mulai dari keinginan untuk memberdayakan pihak lokal hingga datang ke dinas pendidikan di Saumlaki, ternyata tidak tersanggupi juga. Jika pihak lokal terbentur dengan keterbatasan penguasaan materi, maka pihak di dinas juga kekurangan sumber daya. Masalah berikutnya adalah terbentur dana jika harus mengundang pemateri dari luar. Akhirnya Adit minta tolong kepada saya, Eko, dan Rena untuk bertugas di Wunlah dari tanggal 25-28 September 2013. Awalnya saya ragu untuk meninggalkan anak-anak kelas I, kelas IX, latihan Pesparawi, dan ajakan Bapa Camat Molu Maru untuk ronda ke desa-desa lain. Terlebih untuk mengajak Eko, saya harus mencari anak Wadankou yang bersedia jalan kaki 8 km demi mengantarkan surat. Belum lagi dilema transportasi, kalau kami ikut feri atau kapal sabuk ke Larat, waktunya terlalu cepat, sementara kalau mau beraktivitas dulu di desa maka harus cari kabar motor siapa yang akan pergi ke Larat. Namun, karena Adit sudah mengupayakan transportasi agar kami tidak terlalu lama ‘ditawan’, kami bertiga bersedia berangkat.
Setelah saya dan Eko bertemu dengan Rena di Larat, kami menunggu motor laut dari Wunlah yang tak kunjung datang. Kami berusaha menghubungi Adit tetapi karena sinyal di Wunlah terbatas untuk 25 hp, sms atau telepon kami berkali gagal masuk. Siapa yang tidak kesal karena katanya motor akan menjemput kami di hari Senin, nyatanya hingga Selasa sore kami baru berangkat. Motornya kecil dengan banyak muatan barang dan penumpang, alhasil kami yang mendapatkan tempat seadanya harus rela basah-basahan terkena cipratan ombak. Sesampainya di Wunlah, hari sudah gelap dan Adit agak terlambat menjemput kami di dermaga. Setelah melepas rindu sebentar kami dibantu ‘pasukan cilik’ berjalan menuju rumah dan di sana langsung berkenalan dengan keluarga piara Adit. Badan yang lengket karena campuran keringat dan air laut sudah minta dibersihkan, sehingga saya dan Rena bertanya kepada mama piara Adit di mana kamar mandi. Wah, ternyata Adit punya kamar mandi yang unik. Berada di luar rumah induk, berdindingkan anyaman, beratapkan taburan bintang alias terbuka atasnya, dan tanpa pintu. Jadi, untuk memberikan tanda bahwa ada orang yang sedang mandi atau buang air, kami meletakkan sendal jepit di depannya. Kami wajib bawa senter dan anak-anak yang membantu menimba air. Oh ya, kamar mandi ini memang dikhususkan untuk mandi dan buang air kecil saja. Jika ingin buang air besar, kami harus berjalan lagi menuju kamar mandi umum. Agaknya kami harus berterima kasih kepada Wanadri sebagai pelatih fisik dan mental, yang telah membiasakan kami hidup dalam segala keterbatasan selama pelatihan di hutan.
Selesai mandi ternyata di ruang tamu sudah penuh dengan anak-anak kelas V dan VI yang biasa datang belajar malam. Kali ini Adit memberi soal pengurangan berulang sebagai konstruk dari pembagian. Kami bertiga berkeliling melihat pekerjaan mereka, hingga akhirnya aku mendapati seorang siswa yang kesulitan. Adalah Agustinus, siswa kelas V yang masih salah dalam pengurangan dengan ‘sistem pinjam’. “Ibu Thella, yang itu memang tidak bisa, biar saja sudah”, isyarat Adit pada saya. Tapi saya meresponinya, “Bet coba ajar dolo, pasti bisa!” Dengan gaya bahasa yang santai dan diselingi canda, saya mengajari Agustinus cara pengurangan yang berbeda dari cara yang Adit ajarkan. “Ha..kalo kamong bingung, pake cara Molo sa. Barang hidup su susah toh jadi jang cari cara yang susah lai. Mari Ibu ajar...” Puji Tuhan saya tidak kepalang malu sama Adit karena terlalu pede kalau Agustinus bisa, terbukti hanya dengan lima contoh soal dia sudah paham konsep pengurangan. Bahkan saking senangnya karena sudah bisa, dia semangat promosi ‘cara Molo’ dan mengajari teman-temannya yang masih kebingungan. Bukankah kebahagiaan seorang guru adalah melihat anak didiknya bisa? Saya berkata jujur pada Adit fakta bahwa anak-anak di Wunlah punya daya tangkap yang cepat dibandingkan anak-anak di desa saya. Sekarang tinggal bagaimana guru lebih peka saja dalam menerapkan cara bagi anak-anaknya. Usai belajar, kami mengantar tiga orang siswa anak perempuan yang rumahnya paling jauh sekaligus Adit melakukan sidak bagi anak-anak yang nonton televisi.
Sampai di rumah, kami langsung menyiapkan amunisi untuk begadang dalam menyiapkan pembukaan KKG untuk esok harinya. Sambil menyeruput kopi dan mengunyah cemilan, kami melakukan pembagian tugas sebagai fasilitator dalam setiap sesi. Terkhusus untuk sesi diskusi ‘Masalah Pendidikan di Wuarlabobar’, saya mengusulkan agar peserta dibagi ke dalam 3 kelompok, masing-masingnya membahas tentang masalah siswa, guru, dan manajemen sekolah. Tujuannya agar pemetaan kekhawatiran dan harapan lebih fokus. ‘Bos’ kami pun menyetujuinya. Untuk hari kedua dan ketiga, Adit rupanya telah membagi tugas kami sebagai pemateri. Saya mendapat jatah ‘Positive Discipline’, Rena kebagian ‘Metode Belajar Kreatif’, Eko kebagian ‘Penetapan KKM’, sementara si bos gilirannya ‘Penyusunan RKAS’. Setelah briefing, kami memutuskan untuk beristirahat supaya besok siap tempur.
Paginya kami bangun dan antri mandi. Setelah siap-siap, mama piara Adit ternyata sudah menyiapkan kue dan teh manis hangat untuk sarapan, Kami pun pakai sistem ‘kilat’ dan segera berjalan ke sekolah karena jarum pendek sudah berada tepat di angka 8. Alangkah terkejutnya ketika melihat ruang materi masih sepi, ternyata guru-guru belum datang. Kalau dipikir-pikir, benar juga guyonan ‘Terlalu banyak pohon karet di sini’. Kami pun mengecek peralatan teknis yang akan digunakan dan memastikan semuanya berjalan baik, karena nanti akan ada sesi khusus yang dibawakan oleh Ibu Leni Beresaby (Kepala Bidang SD) dan stafnya. Jarum pendek sudah menunjuk angka 9, namun kursi yang terisi masih bisa dihitung jari. Sebagai orang baru, saya, Rena, dan Eko sesekali menghampiri guru-guru yang sudah hadir untuk berkenalan. Nyaris jam 10, akhirnya acara KKG resmi dibuka dengan sambutan dari Bapak Camat Wuarlabobar, Kepala UPTD, Pendeta, dan yang mewakilkan Kepala Dinas Pendidikan. Karena waktu sudah sangat molor, acara pun segera dilanjutkan dengan pembinaan profesionalitas guru oleh Ibu Leni. Sebenarnya Rena meminta saya untuk membantunya menyiapkan media belajar untuk dibawa sebagai contoh pada sesi ‘Metode Belajar Kreatif’, namun ternyata Ibu Leni mengundang kami untuk mengikuti sesinya. Satu hal yang ingin dikorek oleh Ibu Leni adalah jawaban atas pertanyaan “Apa yang menyebabkan guru-guru tidak kreatif dalam mengajar? Tidak tahu, tidak ada sarana pendukung, atau memang pemalas?” Hingga sesi berakhir dan tiba jam istirahat makan siang, jawaban atas pertanyaan itu belum juga kami temukan dari para guru.
Kami menyempatkan diri untuk berbincang-bincang sambil makan siang di kantor UPTD. Obrolan dengan para stakeholder mengalir dari hal-hal ringan hingga serius. Sesekali pertanyaan soal Molu Maru mencuat dan membuat saya spontan berlaga ala sales yang sedang mempromosikan jualannya. Simpelnya, selama satu tahun bertugas, saya hanya ingin mengikis stigma ‘di-Momar-kan’. Bukan berarti bohong atau bicara tinggi, tapi saya berusaha menyampaikan perbaikan dan kemajuan yang terjadi di Molu Maru, sekecil apapun itu. Sehingga kecamatan ‘anak bawang’ ini bisa semakin dikenal baik. Usai makan siang, Ibu Leni melanjutkan sesi tanya-jawab yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh peserta KKG. Benar saja, banyak tangan-tangan yang terangkat menunggu gilirannya. Mulai dari nada bicara yang santai hingga menggebu-gebu merefleksikan rasa penasaran para guru atau sekedar kehausan untuk berkeluh-kesah. Saya pribadi sangat menyukai cara Ibu Leni menanggapi tiap-tiap pertanyaan: nada bicara yang tenang dipoles kalimat yang tegas namun santun. Saking banyaknya yang ingin bertanya, Ibu Leni bahkan merelakan waktu break sorenya digunakan untuk berdiskusi dengan para guru. KKG hari pertama ditutup oleh sesi ‘Masalah Pendidikan di Wuarlabobar’ yang dilakukan denagn pembagian kelompok diskusi. Rena kebagian menangani kelompok yang membahas masalah siswa, Eko di masalah guru, dan saya di masalah manajemen sekolah. Setelah kelompok terbagi, muka-muka yang sudah terlihat lesu kami segarkan dengan ice breaking seven claps.
Kami sebagai fasilitator memberikan instruksi singkat tentang apa yang harus mereka tulis di kertas kecil yang kami bagikan. Mereka ditugaskan untuk menulis kekhawatiran dan harapan terkait permasalahan yang ada baik di siswa, guru, maupun sekolah. Berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok saya awalnya bingung akan apa yang mau ditulis, lebih tepatnya takut mungkin.
Saya berkata kepada para guru, “Bapa/Ibu beta tahu pasti pu banyak keluhan toh terkait sekola, entah itu soal transparansi dana, daya dukung, atau kekurangan lainnya. Sekarang keluarkan sa semuanya, seng usah takut barang seng tulis nama toh. Kalo katong seng pernah jujur, katong seng pu perbaikan.”
Salah seorang guru menggerutu kecil, “Katong tulis soal dana BOS semua ka pa. Barang kepala sekolah nanti marah ini.”
Saat mereka mulai menulis, saya bisa menebak bahwa yang terbanyak dikhawatirkan adalah kepala sekolah yang kurang transparan soal penggunaan dana BOS. Dan tebakan saya tidak meleset, yang terbanyak memang masalah itu, ditambah dengan kurangnya buku panduan guru di urutan kedua. Harapan terbesar adalah agar dana BOS tidak hanya diketahui oleh kepala sekolah dan bendahara BOS saja, tapi ada keterbukaan dan diskusi dalam penyusunan RKAS. Sehingga persoalan kekurangan buku panduan guru juga bisa dimasukkan dalam anggaran. Setelah masing-masing ketua kelompok memaparkan kekhawatiran dan harapannya, tibalah waktu untuk istirahat sebelum nanti akan ke sekolah lagi untuk makan malam.
Sambil makan, Adit menyampaikan kepada kami bertiga tentang keraguannya untuk memasukkan penyusunan RKAS dalam sesi. Hal ini dikarenakan banyak kepala sekolah yang mengajukan keberatan kepada kepala UPTD. Sontak saya bicara dengan nada tinggi kepada Adit, “Justru kalau mereka keberatan tandanya ada yang salah dengan pengelolaan dana BOS selama ini. Mau sampai kapan dibiarkan? Sekarang UPTD punya kewenangan, tetap lanjutkan!” Kami bergegas pulang ke rumah untuk menyiapkan bahan-bahan presentasi ‘Positive Discipline’ dan ‘Metode Belajar Kreatif’ besok. Jujur saja, saya merasa sangat dag-dig-dug untuk membawakan materi yang jelas-jelas akan mengundang kontroversi. Bagaimana tidak, materi ini bertujuan untuk mengubah mindset para guru bahwa masih ada cara selain memukul siswa dengan rotan untuk membuat mereka disiplin. Sementara kebiasaan itu layaknya sudah mendarah daging bahkan siswa pun sudah terbiasa dengan kekerasan. Saya tidak muluk-muluk mengharapkan guru-guru akan langsung berubah keesokan harinya, setidaknya saat ini mereka tersadar dan mengerti bagaimana cara menumbuhkan disiplin tanpa kekerasan. Ketika Adit, Eko, Rena sudah terlelap, saya pun masih memikirkan kata-kata yang dapat menyetrum hati para guru. Sebelum mata tertutup, saya hanya berdoa agar besok para guru mau membuka hati menerima sesuatu yang baru dan mohon hikmatNya dalam setiap tutur kata saya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda