Sopi Whatever!

Marthella Rivera Roidatua 29 September 2013

 

       Ceritaku kali ini lain dari biasanya. Kutulis di atas papan kayu sambil terombang-ambing di tengah Laut Banda, dalam perjalananku dari Adodo ke Larat. Sesekali ada rasa khawatir ketika motor ini bergerak tanpa arah kesana-kemari, bukan soal laptop yang takut hanyut tapi soal kemudi yang dikendarai Bapak Kades Adodo. Sangsi rasanya melihat beliau memegang kayu sepenggal yang mengendalikan seluruh nyawa di motor laut ini. Untunglah, beberapa saat setelah aku membuka laptop, membiarkan diriku dihantam oleh keroyokan angin laut dan terik sore, kemudi itu dipegang oleh tuan yang sebenarnya. Selain eksotisme laut yang kunikmati, ada pemandangan lain yang ditawarkan oleh sembilan lelaki di depanku. Bukan karena mereka sedang adu panco, main gitar, atau foto-foto. Sstt..mereka sedang asyik ‘bermain’ dengan sopi.

       Sopi bukan nama kembang desa yang digilai banyak lelaki. Sopi juga bukan nama preman desa yang ditakuti dan kebetulan menumpang di motor ini. Tapi jangan salah, sopi punya power yang besar. Banyak orang yang mencari sopi di mana saja, kapan saja, dan rela melakukan apa saja demi mendapatkannya. Sopi itu sangat spesial di mata lelaki. Kalau sopi itu adalah wanita, mungkin ia sudah jadi bulan-bulanan para ibu-ibu di desa bahkan jadi tertuduh dalam kasus perselingkuhan. Terang saja, banyak laki-laki yang lebih memilih menghabiskan waktu ‘bermesraan’ dengan sopi ketimbang pasangan mereka. Namun sopi bukan hanya menjadi teman bagi para pejantan, karena sesekali ia juga ‘bergaul’ dengan kaum hawa. Selama tiga bulan di sini, aku sudah hampir lima kali ‘bertemu’ dengannya. Maaf membuatmu penasaran, mungkin dalam otakmu bertanya, “Jadi, sopi itu rupanya bagaimana?”

       Sopi sebenarnya adalah minuman keras yang dibuat dari sagero, yakni pinang kelapa yang dipatah dan ditampung airnya lalu disuling. Warnanya kuning kecoklatan dan aromanya cukup menyengat terlebih sopi ‘kepala’. Adatnya, sopi itu diminum di saat tertentu. Namun sekarang, meskipun punya efek memabukkan, sopi sudah seperti air putih bagi kaum lelaki. Katanya amunisi untuk menghangatkan tubuh, tapi yang kulihat siang yang terik pun banyak pemuda atau bapa-bapa yang meminum sopi. Sama halnya dengan pemandangan yang kusaksikan di depan ini. Belum setengah jam berlayar, penumpang dan ABK sudah duduk rapih siap ‘menjamah’ sopi. Entah tradisi dari mana, yang jelas kalau naik motor laut pasti selalu ada sopi. Berawal dari seteguk, berlanjut dengan kelakar ngalor-ngidul, berakhir dengan mata merah. Logikanya, seharusnya penumpang perempuan sepertiku ini takut melihat ABK minum-minum begitu. Tapi dari cerita orang-orang, justru mereka tidak konsen membawa motor jika tidak diberi sopi. Ibaratnya, sopi ini adalah obat penenang saat melawan ganasnya lautan.

       Kalau boleh jujur, tradisi minum sopi ini adalah satu dari sekian yang tidak kusukai di sini. Masalahnya, kadang orang bisa membeli sopi sebotol dengan harga Rp 20.000,- tapi tidak bisa membayar uang SP anak dan membeli buku tulis-pena untuk sekolah. Terlebih minum sopi ini juga menjangkiti acara-acara yang sifatnya religius. Perayaan ulang tahun jemaat yang dibuka dengan doa, masa ditutupnya dengan memberikan majelis segelas sopi? Gawatnya lagi, sopi ini lancang masuk ke ranah sekolah. Sudah banyak siswa SMP dan SMA yang kedapatan membawa sopi di tas mereka dan meminumnya saat jam keluar main. Ya kalau kepala sekolahnya saja sering mabuk sopi, tidak heran siswanya juga ikut-ikutan. Aku tidak bilang sopi ini sama sekali tidak ada gunanya, tapi aku geram ketika porsinya berlebihan. Karakter orang Maluku yang keras jika ditambah dengan mabuk karena sopi, bisa kau bayangkan apa jadinya? Sudah banyak kudengar cerita adu mulut hingga baku hantam hanya karena sopi. Tidak jarang juga kudengar ‘pacaranologi’ yang keliru karena sopi. Aku tetap menghargai sopi sebagai bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat di sini, mungkin yang salah memang orang-orang yang tidak menempatkan sopi di waktu, tempat, dan porsi yang tepat. Berharap pemerintah desa atau kecamatan mau menindak tegas, tapi yakinkah kalau mereka tidak kecanduan dengan ‘barang’ yang bikin melayang itu? Akan kulihat sembilan bulan ke depan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua