Selamat Datang, Ekskul!

Marthella Rivera Roidatua 29 September 2013

 

“Wah, gawat! Hari ini saya ajarkan materi, besok saja anak-anak sudah lupa. Apalagi kalau bolos sekolah berhari-hari?”

          Sabtu kali ini berbeda dari sabtu-sabtu sebelumnya. Lapangan yang biasanya ramai kini sepi. Anak-anak tidak lagi datang ke sekolah hanya untuk bersih-bersih, jajan, bermain sebentar lalu pulang begitu saja. Sekarang baik guru dan siswa sibuk sendiri dan begitu menikmati hari Sabtunya. Rasa syukur dan segurat senyum tak hentinya saya tunjukkan. Tidak sia-sia dua malam saya bergadang hanya untuk memikirkan jalan keluar dari kegeraman saya. Geram akan guru-guru yang datang ke sekolah sekedarnya di hari Sabtu dan anak-anak yang kerap bolos sekolah setelah akhir pekan dibawa orang tuanya ke kebun. Saya berusaha mencari hal baru yang membuat guru-guru dan anak-anak ‘kecanduan’ bersekolah di hari Sabtu. Pertanyaan “Sudahkah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa?” menjadi titik tolak saya berpikir. Selama hampir tiga bulan di sekolah ini, saya mencoba untuk peka terhadap anak-anak, apa yang mereka mau, apa yang mereka bisa, dan apa yang harus saya lakukan. Dasarnya pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat, saya mendapatkan ide untuk mengaktifkan kembali pengembangan diri yang tadinya hanya sekedar jadwal tertulis di papan. Saya merancang tiga kegiatan pengembangan diri dan tiga ekstrakurikuler lalu mengajukannya ke kepala sekolah lewat proposal.

          Melihat potensi anak-anak di bidang olahraga, saya membentuk kelas “Sabtu Sporty” yang diampu oleh Ibu Kepala Sekolah sebagai satu-satunya lulusan SGO (Sekolah Guru Olahraga). Anak-anak yang punya minat berolahraga, bisa melatih skill dan memperkaya ilmu mereka tentang cabang-cabang olahraga. Soal fisik, anak-anak di sini memang terkenal kuat dan tidak mudah letih, terlebih kalau sidah bermain bola. Jadi melalui “Sabtu Sporty” bisa sekaligus membentuk tim futsal dan tim voli sekolah yang terlatih dan siap maju ketika ada pertandingan. Selain itu, suara orang Maluku juga terkenal bagus, namun lagi-lagi masih belum matang. Teknik bernyanyinya masih perlu diasah, sehingga timbullah ide membentuk kelas “Seni Musik” yang diampu oleh Ibu Bat yang cukup paham tentang not dan Bapa Lanith yang mahir bermain gitar. Anak-anak bisa berlatih membaca not, olah vokal, belajar lagu-lagu nasional dan rohani, serta kunci-kunci gitar. Untuk anak-anak kelas I dan II, aku membentuk kelas “Ruang Kreasi” yang diampu oleh Ibu Latu, guru agama tapi ternyata punya bakat menggambar dan Ibu Wer yang cukup kreatif dan bersemangat. Kecerdasan kinestetik dan visual yang dimiliki anak-anak kelas rendah sekarang dapat disalurkan dengan menggambar, mewarnai, dan membuat kerajinan tangan. Ke depannya mungkin kami dewan guru akan mengundang satu orang tua siswa yang biasa membuat kerajinan, untuk kemudian mengajari anak-anak di sekolah.

          Berawal dari anak-anak kelas VI yang hampir setiap malam datang ke rumah saya dan minta diajari Bahasa Inggris, saya membentuk ekskul “English for FUN!” yang terdiri dari siswa kelas V dan VI. Ekskul ini saya rancang dengan metode beragam, mulai dari belajar lewat lagu, ronda desa dan mencari tahu bahasa inggris dari benda sekitar, menonton film, dan membaca buku. Saya akui anak-anak punya semangat membaca dan belajar yang tinggi, tinggal bagaimana guru mau meluangkan waktu lebih untuk mereka. Terlebih sekolah saya sebenarnya memiliki koleksi buku yang variatif dan KIT pelajaran yang lengkap. Hanya dengan alasan ‘takut hilang’, perpustakaan itu lebih sering tergembok hingga berdebu. Untuk mengaktifkan kembali perpustakaan, saya membentuk ekskul “Pojok Pintar” yang diampu oleh Ibu Laulu – yang selama ini tercatat sebagai pustakawan tetap lebih sering berjualan jajanan di tempat santai – dan Ibu Ci yang kata anak-anak cukup baik mengajar Bahasa Indonesia. Di ekskul ini, anak-anak yang antusias dengan buku bacaan dan senang membuat sahabat pena bisa berkreasi.

         Puncak kegeraman saya waktu itu terlampiaskan dengan cara mengeluarkan semua KIT pelajaran dari kardusnya, meminta anak-anak mengambil lap basah dan membersihkannya. Semua kami lakukan di depan Ibu Kepala Sekolah, yang pada saat itu juga ikut kerja bakti. Saya memang tidak banyak bicara, langsung beraksi mungkin cara yang tepat untuk menyentil kebijakan sekolah yang selama ini salah. Saya pun berinisiatif membentuk ekskul “Klub Sains” sebagai wadah bagi siswa yang punya rasa ingin tahu dan semangat meneliti hal-hal baru. Saya dibantu oleh Bapa Kewilaa, bapa guru yang terkenal rajin menjaring ikan. Saya ingin mengajak anak-anak belajar meneliti alam sekitarnya, terutama keanekaragaman hewan laut. Saya menamai mereka dengan “calon ilmuwan cilik”, mereka akan menggali lebih dalam info hewan laut yang sering ditemui bahkan meneliti ikan yang belum bernama. Mungkin terdengar klise, tapi saya tetap percaya bahwa sebutan kecil itu bisa menumbuhkan cita-cita mereka untuk membangun daerahnya.

Dua minggu sudah program ini berjalan, betapa senang saya melihat antusias anak-anak tetap terjaga. Justru guru-guru yang harus tetap dikontrol agar tidak kendor dan materi yang disampaikan selalu terbarukan. Harapan saya sederhana, setahun di sini saya ingin mengikis kebiasaan bolos guru dan siswa di akhir pekan. Paling tidak ada satu atau dua anak yang berani berkata “Mama e, Bapa e, bet seng ikut pi kabong lai, beta pu ekskul hari Sabtu”.

“Karena Sabtu kini milikmu, Sabtu bukan lagi sekedarnya tapi sesibuknya.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua