Pendidikan Bukan Proyek!

Marthella Rivera Roidatua 15 Oktober 2013

 

“Pendidikan ibarat mendirikan bangunan, pondasinya harus kuat.

Terlebih ini bangunan hidup!”

 

          Kecamatan Molu Maru adalah kecamatan termuda di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya yang sangat jauh dari ibukota kabupaten, Saumlaki, serta akses transportasi yang terbatas, membuat kecamatan ini jarang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terlebih stigma masa lalu yang masih lekat di kepala banyak orang, bahwa daerah ini adalah tempat pembuangan bagi pegawai yang bermasalah dan punya cerita magis yang cukup tragis. Tidak heran jika pegawai pemerintahan menganggap bahwa penugasan ke Molu Maru bak sebuah kutukan, istilahnya ‘di-Momar-kan’. Banyak yang meminta peninjauan kembali SK-nya, mengajukan mutasi kembali padahal baru sebentar bertugas, atau mau tidak mau terima nasib tapi lebih sering pulang ke kampungnya daripada menjalankan tugas. Padahal, pemekaran kecamatan yang dahulu bergabung dengan kecamatan Wuarlabobar ini justru diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mendekatkan warga Molu Maru dengan kemajuan, sehingga bisa mengikis keseraman persepsi yang terlanjur ada.

          Molu Maru, ibarat bayi yang baru belajar menapak, secara mengejutkan merebut juara III dalam ajang sekelas Pesparawi Kabupaten, mengalahkan ketujuh kakak-kakaknya. Belakangan nama Molu Maru semakin eksis karena terpilih menjadi tuan rumah Pesparawi ke-II tingkat kabupaten. Desa Adodo Molu sebagai kota kecamatan mengalami pembangunan yang sangat pesat, mulai dari tersedianya PLTS, pemancar sinyal, dan internet. Pembenahan fasilitas ini jelas menyumbangkan nilai positif bagi Molu Maru, tapi pertanyaan selanjutnya: “Telah siapkah masyarakat di Molu Maru untuk meroket?” Hal ini berujung kepada sebuah kata, yang hingga saat ini menjadi PR tersulit pemerintah daerah kabupaten MTB, yakni pendidikan. Jangan bosan melihat kepala dan staf dinas pendidikan berseliweran di kantor Bupati, sebab selama dua periode menjabat, persolan silang-sengkarut pendidikan memang menjadi sorotan sang priyayi.

          1 Oktober 2013 seolah menjadi hari keberuntungan masyarakat Molu Maru. di mana di tempat lain mungkin sibuk dengan upacara Hari Kesaktian Pancasila, namun suasana berbeda dirasakan oleh masyarakat Molu Maru yang kedatangan serombongan pejabat daerah. Yang paling menyambut antusias tampaknya adalah para pegawai pemerintahan karena pastinya di sela kunjungan melihat kesiapan kecamatan menyambut Pesparawi, akan tersisip sesi pertemuan pejabat dengan pegawai. Kesempatan ini tentunya tidak disia-siakan oleh kepala sekolah dan guru untuk mengeluarkan bermacam keluh-kesah. Dari sekian banyak hal yang dikeluhkan, tidak jauh-jauh dari tiga hal yakni kurangnya tenaga pendidik, pembenahan fasilitas sekolah, dan kesejahteraan pegawai. Saat sesi tanya-jawab dibuka oleh Camat Molu Maru selaku moderator, tangan-tangan sudah terangkat dan berebut mendapat giliran awal.

          Seorang guru SMP Negeri 1 Molu Maru melontarkan borongan pertanyaan, mulai dari masalah kebijakan mutasi yang tidak disiplin, pembangunan ruang kelas yang terbengkalai karena kontraktornya kabur, dan pengangkatan guru honor agama sebagai PNS. Dilanjutkan dengan perwakilan guru honorer SMA yang mengeluhkan ketersediaan tenaga pendidik yang sangat kurang terlebih tahun ini ada anak kelas XII yang akan Ujian Nasional. Perlu diketahui, satu-satunya SMA di kecamatan Molu Maru ini hanya memiliki 2 guru PNS selebihnya adalah guru honor yang kebanyakan ‘sukarelawan’ dan diangkat oleh SK Kepala Sekolah. Fasilitas SMA juga amat memprihatinkan, hanya ada 4 ruangan, 1 ruang guru dan 3 ruang kelas, sementara rombongan belajar ada 5. Alhasil, kelas XI dan XII IPA terpaksa digabung dalam satu ruang kelas, begitupun untuk IPS. Kepala SD Kristen Adodo Molu menggenapi suara dengan mengeluhkan gaji guru kontrak daerah yang tidak dibayar dari  Januari hingga September dan senada dengan guru SMP, SD juga menyayangkan pembangunan perpustakaan yang tidak kunjung rampung sejak setahun lalu.

          Jikalau aturan ‘PNS bersedia ditempatkan di mana saja’ sudah menjadi jiwa dalam diri setiap guru, tentu tidak ada lagi yang mengeluh saat ditugaskan sekalipun di ujung utara kabupaten. Sebagaimana diungkapkan oleh filsuf dan ahli pendidikan N. Driyarkara, hanya ada dua tipe guru: guru yang kebetulan dan guru yang betul-betul. Amat disayangkan makin hari makin banyak yang ingin jadi guru bukan karena sadar talenta atau panggilan hidup, tetapi karena tergiur tunjangan sebagai PNS. Tidak heran banyak guru yang tidak betah di tempat, berlama-lama meninggalkan desa dengan segudang alasan. Kebijakan pengumpulan laporan bulanan sekolah kepada kecamatan sebagai prasyarat pengambilan gaji ternyata tidak cukup efektif menertibkan pegawai. Praktik ‘TST’ (Tahu Sama Tahu) antara kepala sekolah dan para guru bukanlah cerita baru, bahkan ini juga jelas terbaca oleh pemda. Karena itu, salah seorang pejabat berwenang, sekaligus menyosialisasikan kepada seluruh pegawai di Molu Maru, terkait usulan diberikannya beban tambahan di pundak kepala desa untuk mengawasi perizinan guru yang ingin keluar daerah. Namun, untuk mencegah arogansi, sang pejabat mengatakan akan dibuat format yang sama untuk semua kepala desa. Sebagai pelengkap atribut penertiban, penulis mengusulkan tumpukan permohonan mutasi di disdik juga harus dikaji ulang dengan memperhatikan pemerataan distribusi guru. Kalau perlu pegawai yang bandel diberikan sanksi yang tegas.

          Gagasan pembangunan SMA Negeri 1 Molu Maru lahir dari keprihatinan atas tingginya angka putus sekolah karena siswa-siswi lulusan SMP enggan untuk ke luar daerah melanjutkan pendidikan. Namun, pertimbangan untuk membangun sekolah jelas tidak sesederhana itu. Mengapa buru-buru bangun sekolah kalau tidak ada guru dan fasilitas? Apakah pembangunan sekolah dimaksudkan sebagai ladang tuaian pundi-pundi oleh segelintir pihak? Justru lebih kasihan melihat kondisi siswa SMA saat ini, yang belajar tanpa bangku-kursi, kurang buku, dan kurang guru. Status sekolah yang masih belum jelas membuat dana BOS yang diterima oleh SMA jumlahnya masih minim. Syukur-syukur bisa membeli buku pegangan untuk semua guru, menurut pengakuan salah seorang guru SMA untuk honor mereka saja tidak seberapa. Senada dengan pembangunan gedung sekolah, pembangunan sarana penunjang seperti perpustakaan yang dibiayai oleh DAK dan dikerjakan oleh kontraktor juga selayaknya mendapat pengawasan ketat. Kepala sekolah dan Panitia Pembangunan Sekolah (P2S) harus pasang mata setiap tahapan pencairan dana dan sejauh mana progres bangunan. Bayangkan saja, perpustakaan SDK Adodo Molu yang dibangun sejak tahun 2012, sudah sekian lama teronggok dalam kondisi 70%. Sudah pernah ada upaya pelaporan namun belum ditanggapi serius, hingga kebetulan kadis terkait berkunjung ke Molu Maru, barulah pihak sekolah dapat langsung membeberkan nama kontraktor yang tidak bertanggung jawab beserta foto bangunan sebagai bukti. Ulah kontraktor nakal ini jelas tidak boleh dibiarkan, seharusnya dimasukkan ke dalam daftar hitam sehingga ke depan tidak bisa ikut lelang proyek lagi.

          Masalah berikutnya adalah pengangkatan guru honor agama sebagai PNS. Produk kebijakan RI 1 ini awalnya bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru. Namun, makin kesini, arahnya makin menyimpang dan menyulitkan Pemda sendiri. Bagaimana tidak, alih-alih memenuhi ketersediaan guru, justru banyak yang ingin ambil jalan pintas untuk ‘diangkat’. Tidak heran kalau guru terbanyak berasal dari sekolah agama, PAK, atau SGO. Konon, sejak 2009 kebijakan ini sudah di-non-aktifkan, tapi hingga sekarang masih banyak guru honor yang diangkat dan bukan bermodalkan SK resmi dari Bupati. ‘Pahlawan dengan tanda jasa’ menuntut adanya kesejahteraan dengan harap-harap cemas akan pengangkatan. Jika tidak kunjung diangkat, jangan-jangan guru mulai menyesuaikan jam mengajar dengan gajinya di sekolah.

          Kualitas pendidikan ibarat sebuah harga diri, termasuk bagi kecamatan Molu Maru sendiri. Saat bangunan mati sudah berdiri tegak, bagaimana dengan bangunan hidup? Terutama untuk Adodo Molu sebagai kota kecamatan yang seharusnya menjadi contoh, ternyata kualitas pendidikannya masih tertinggal dibanding desa Wulmasa dan Tutunametal. Keberadaan guru Indonesia Mengajar yang sudah menginjak tahun ketiga pun belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. Bukan berarti tidak memberikan pengaruh, tapi lagi-lagi ini masalah kemauan yang tidak bisa dipaksakan. Mulai dari pembenahan manajemen sekolah, cara guru mengajar kreatif, hingga peningkatan kemampuan IT guru, semuanya sudah diberikan. Masalahnya tinggal bagaimana seluruh pihak mau saling mendukung dan melaksakannya secara berkelanjutan. Laut Banda dan ombak ganas di Selat Wayangan bukan jadi alasan pendidikan di Molu Maru tertinggal dari Larat bahkan Saumlaki sekalipun. Yang terpenting adalah perubahan mindset dan kemauan berusaha lebih dari tenaga kependidikan itu sendiri. Selain itu fungsi kontrol yang selama ini belum maksimal, mengingat di Molu Maru belum ada UPTD, haruslah segera diupayakan oleh Dinas Pendudikan Kabupaten. Sudah saatnya pendidikan tidak lagi dipandang sebagai proyek, tapi disadari sebagai persiapan regenerasi pemimpin untuk membangun bangsa. Penyelenggaraan pendidikan yang sehat juga bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi semua pihak diharapkan punya rasa peduli.


Cerita Lainnya

Lihat Semua