Tuhan Pantaskah Aku 'Bersyukur' (Perjalanan Wuarlabobar II)

Aditya Prasetya 14 Oktober 2013

Pelaksanaan monitoring ke sekolah dasar se-kecamatan wuarlabobar memang memakan waktu yang tidak sebentar. Satu minggu kami harus berkeliling dari satu pulau ke pulau lain. Karena memang kecamatan ini terdiri dari berbagai pulau. Hanya 4 sekolah dasar saja yang terletak dalam satu daratan pulau, SD. Don Bosco Abat, SDK Wunlah, SDN. Karatat, dan SDN. Kilon. Selain itu untuk 8 SD terletak dalam daratan yang berbeda. Jujur ini perjalanan luar biasa yang pernah saya lalui.

Saat malam kami harus mengejar waktu, tak bisa bermalam itu hal biasa. Menahan kantuk saat siang karena malam tak tidur itu lumrah saja. Mengeluh disini tak pantas dilaksanakan. Walaupun dapat waktu istirahat yang memang hanya sebentar.

Tapi pengalaman luar biasa memanah ikan laut saat ombak menerjang motor laut itu pengalaman yang tak akan terlupa. Seperti juga mengetahui bahwa bintang dapat menunjukan jam berapa dan ke arah mana ketinting kecil kami berlayar. Karena memang benar, alam punya ke khas-annya sendiri dalam setiap waktu dan arah. Memang benar apa kata guru SD ku bilang dari alam kita banyak belajar tentang apa saja yang kita mau tahu. Dari perjalanan ini saya membuktikan kata-kata itu.

Saya sadar syukur saja hanya sebatas 'kata' bukanlah hal yang pantas untuk saya berikan kepada Tuhan atas semua nikmat ini. Iman dalam syukurlah, meyakini dalam hati, mengatakan dengan lisan dan melakoni dalam perbuatanlah, itu yang paling benar. Diri ini bertambah yakin bahwa memang nikmat Tuhan tidak ada duanya, alam yang indah, deburan ombak yang jika malam menyala-nyala di laut, dan bintang dengan petunjuknya adalah bukti bahwa Tuhan sang pengkarunia tiada tara. Benar Al-qur'an Surat Arrahman; 'Maka Nikmat Tuhanmu mana lagi yang Kau dustakan'.

Saat saya ditempatkan di Wunlah ada seribu cemas. Namun satu per satu kecemasan itu pun luntur karena memang itu semuatak pantaslah untuk dicemaskan. Namun, kecemasan itu belakangan muncul saat saya berlawat ke desa-desa diwuarlabobar. Kecemasan itu beralih dari kecemasan tentang alam berubah menjadi kecemasan tentang masalah sosiologis masyarakatnya. Ini yang terkadang membuat saya bingung, pantaskah saya bersyukur atau malah mengeluh dengan permasalahan ini.

Selama saya menjalani perjalanan, banyak permasalahan tentang pendidikan yang dikeluhkan masyarakat wuarlabobar. Mulai dari kurang tenaga pengajar sampai dengan kurangnya perhatian para pemangku kepentingan pendidikan, disini pemerintahan kecamatan mendapat sorotan. Mulai dari perangkat kecamatan sampai dengan pelaksana teknis dinas pendidikan (UPTD kecamatan) atau yang biasa disini dinamai UPTD Dikpora. Mereka (guru-guru yang rajin bertugas) mengeluhkan kinerja pimpinan kecamatan karena tidak bersikap tegas terhadap para rekan kerja mereka yang malas untuk bekerja, dalam kehadirannya mendidik anak bangsa.

Selama ini katanya, gaji guru yang tidak hadir dalam mengajar ditahan. Namun itu tidak terjadi dilapangan. Setelah bertemu dengan pimpinan lain di kabupaten (saumlaki)maka gaji si Guru Nakal ini pun dapat dinikmatinya kembali. Itulah keluhan dari sebagian masyarakat. Ada juga masyarakat yang mengatakan bahwa UPTD itu mencatut, memaksa atau menekan sekolah untuk mendanai biaya supervisi atau lainnya. Dengan kata lain UPTD ‘mata gobang’ itu kata mereka (guru dan kepsek) disini. Banyak dari kepala sekolah yang tidak mendukung kinerja UPTD karena setiap kegiatannya bersumber dari dana alokasi sekolah yang tidak ada pos anggarannya. Contohnya saja saat UPTD melakukan supervisi, mereka (kepala sekolah) akan malu hati jika tidak memberikan uang transportasi pada UPTD. Tapi ini bukan satu masalah saja.  

Mereka yang tahu bahwa kehadiran para guru adalah nomer wahid dari kebutuhan pendidikan yang harus dipenuhi, mengeluhkan kinerja UPTD dan Kecamatan yang tidak tegas terhadap rekan kerja mereka yang memang sebagian punya karakter 'pemalas' (itu menurut para guru). Sehingga banyak guru yang tadinya rajin untuk mengajar menjadi malas juga, tertular virus 'pamalas' mengajar. Hal ini didukung oleh sebagian sikap para kepala sekolah yang menghilang dari peredaran kepemimpinannya disekolahnya, dengan berbagai alasan juga. Mulai dari ke Saumlaki (kota) untuk urusan dinas sampai dengan urusan keluarga atau pribadi yang tidak bisa diterima oleh akal wajar.Walhasil sepanjang lawatan saya tidak ada tenaga pendidik yang memang lengkap seperti tertera dalam data pendidik yang dipajang di dinding-dinding sekolah. 

Hal-hal temuan semacam ini saya sadari bukanlah hal yang dapat saya,sebagai pengajar muda, Indonesia Mengajar, dapat atasi. Saya hanya bisa menyampaikan keluhan mereka kepada para pemimpinnya. Dan sampai sekarang permasalahan ini masih dalam proses pelaksaknaan pemecahannya. Entah sampai kapan masalah ini dapat berakhir dan kehadiran guru ditempat (sekolah) dapat terjawab dengan segera.

Sikap Pemimpin = Sikap Rakyat

Selain dari itu, hal yang mau saya ceritakan tentang tanah wuarlabobar ini, kepada halayak luas adalah perilaku masyarakat yang sepenuhnya menurut saya dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya. Sama seperti keadaan Indonesia pada umumnya. 

Selama saya keliling kecamatan ini, sebagian dari tempat yang kami sambangi menerima kami (rombongan UPTD). Menerima dengan ikhlas dan senang hati. Namun sebagian lagi menerima dengan hati yang 'tak dimengerti' dan setengah hati. 

Contohnya untuk kasus yang terakhir, saat kami sampai di Desa Labobar. Kami sampai saat pagi hari, matahari sedang naik menuju tepat ke atas kepala, dan kami pulang saat matahari tepat saat beranjak turun dari alas fajarnya, sekitar pukul 17.00. 

Betapa kagetnya kami, saat pulang ternyata tangki ketinting kami 'penyok' seperti dihantam ombak yang sangat keras, padahal kalau memang ombak, pastinya bagian ketinting yang lain mengalami hal serupa Yach minimal ada bekas serupa dilain tempat. Tapi ini tidak ada. Artinya kami berkesimpulan, bahwa ada orang yang tak suka kehadiran kami di Tanah gunung Labobar ini. Entah mengapa.

Telisik punya telisik ternyata memang didaerah ini punya pimpinan, kepala desa, yang suka mencuri hasil laut desa lain. Sampai tulisan ini dibuat, perahu motormilik kepala desa itu, masih tertahan di Polsek Wuarlabobar. Selain itu, kehadiran kami yang mendamaikan kepala desa dengan kepala SD yang bersitegang karena kesalahan pahaman mungkin tidak disukai oleh sebagian warga. Karena ada sekelompok masyarakat yang menginginkan perdamaian itu tidak pernah ada. Bisa jadi dengan kesalahpahaman kepsek dan kades mereka bisa manfaatkan untuk keuntungan mereka. Yang sampai sekarang juga saya tidak pernah tahu keuntungan apa itu semua. Yang ada malah rugi semua karena proses pendidikan tidak berjalan dengan normal.

Dan inilah wajah pendidikan dari secuil negeri dengan penuh masalahnya. Atau bisa jadi mewakili masalah pendidikan bangsa ini umumnya. Saya pun teringat apa kata pak Anies Baswedan pada saat training camp, "Masalah pendidikan ini teramat banyak, seperti meja prasmanan dipesta - pesta, setiap orang mengambil bagian, tapi tak pernah habis". Itulah masalah pendidikan.

Ini yang saya temukan dalam bagian perjalanan 'seru' di Wuarlabobar. Masalah yang banyak, yang menurut saya harus ada 'baku bantu' semua pihak untuk menyelesaikannya. Kehadiran kami sebagai pengajar muda, sekali lagi, kami yakini tidak akan pernah menyelesaikan masalah dengan begitu cepatnya.

Kami layaknya 'tong sampah' keluhan masyarakat, disana ada seribu masukan sampah masalah yang dibuang untuk disampaikan. Dan kami hanya bisa menjembatani atau menggerakan semua pihak untuk bergerak. Tapi jika semua pihak (stakeholder) kokoh dengan prinsipnya yang salah, kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. 

Hanya sikap turut prihatin atas nasib anak negeri yang sebagian mengkhawatirkan karena mereka tidak mendapatkan haknya. Penyebabnya, tidak lain adalah karena orang dewasa didaerah ini kurang peduli dan naif terhadap hak-hak mereka (anak-anak).

Mungkin ini adalah ekspektasi saya yang berlebihan tentang kemajuan pendidikan di Wuarlabobar. Karena saya yakin, sesungguhnya jika setiap stakeholder pendidikan (pimpinan wilayah) mulai dari tingkat desa sampai kecamatan ‘baku bantu’ untuk perbaikan pendidikan tidak mustahil daerah yang sesungguhnya tidak terlalu terpencil ini akan segera bangkit.

Pemimpin Harapan

Daerah ini masih ada sejuta harapan untuk dapat memperbaiki dirinya sendiri walaupun dari setiap lapisan masyarakat yang saya temui ada banyak aduan tentang pimpinan mereka itu ke saya. Entah kenapa ini bisa terjadi. Saya merasa itu bukanlah tugas pengajar muda, memang ada dalam fokus tugas kami yaitu melakukan advokasi pendidikan, tapiyang pengajar muda alami saat ini disini menurut saya,lebih dari itu.Kita menjadi “tong sampah” aduan masyarakat. Entah kenapa.

Meskipun sebagian kecewa dengan pemimpin mereka (dari tingkat desa sampai kecamatan) warga masyarakat nampaknya masih menaruh berbagai harapan terhadap sebagian dari beberapa pimpinan mereka. Yang menurut penilaian saya pribadi ada sikap dan tanggung jawab sebagai pimpinan mesti saya contoh sebagai pengajar muda. Disamping banyak juga contoh bad attitude  yang saya tidak boleh untuk mencontohnya. Dari sebagai pimpinan yang lain.

Saya disini menemukan seorang kepala UPTD yang tetap berniat untuk melakukan perbaikan terhadap dirinya secara individu maupun perubahan perilaku dukungan masyarakat secara kolektif. Kepala UPTD ini memang sering mengeluhkan ketiadaan anggaran untuk bertugas dan sejuta keluhan lainnya. Tapi ada rasa keinginan luar biasa beliau untuk senantiasa melakukan supervisi penguatan ke sekolah-sekolah untuk kemajuan pendidikan diWuarlabobar.Walaupun berujung dengan keluhan sebagian sekolah bahwa saat beliau memberikan supervisi, maka kepala sekolah semestinya memberikan amplop ke UPTD. Ini jadi tanda tanya besar saya, apakah benar saya mengatakan ia salah stu inspirator atau bukan?

Usianya yang masih muda juga mengakibatkan beliau dipandang sebelah mata oleh para guru senior. Sehingga sulit untuk dirinya memberikan pengertian pembelajaran yang benar menurut beliau. Pembelajaran dengan hati, dengan penuh kreatifitas. Hingga akhirnya mereka (UPTD) berusaha untuk mengundang kami, Pengajar Muda, Indonesia Mengajar, untuk turut serta dalam KKG dan mendesain KKG dengan lebih baik dari tahun sebelumnya.Walaupun dalam KKG nanti ada sejuta misteri juga yang mesti saya ceritakan dikesempatan mendatang tentang keraguan saya tentang apakah ia pantas untuk menjadi inspirator atau bukan? 

Hal yangkami tahu, ilmu kami tidak-lah seberapa dibanding para guru disini dengan sejuta ilmunya. Tapi kesempatan yang beliau berikan kepada kami adalah penghargaan luar biasa bagi kami, sekaligus bukti bahwa memang ia sangat konsen untuk memperbaiki kinerja guru, walau sejuta cara pun harus dilakukan. Dengan sejuta kritik tajam mendera beliau. Konsistensinya adalah contoh bagi saya.

Ada lagi tokoh Sekretaris Camat (Sekcam) Wuarlabobar, yang memang menguasai semua bidang permaslahan. Beliau bisa menjadi ahli listrik, sinyal, dan lain-lain. Keahliannya ini membuatnya dekat dengan masyarakat Wuarlabobar. Hingga ada warga masyarakat yang bilang kepada saya, bahwa ia pantasnya menjadi pimpinan tertinggi kecamatan, karena warga masyarakat ‘sayang’ pada beliau. Tetapi tokoh ini tidak serta merta tinggi hati dengan berbagai keahliannya itu, namun sepengetahuan saya, ia tetap ‘rendah hati’. Inilah yang saya tahu kenapa ia dapat dicintai masyarakat wuarlabobar. Hal lain yang perlu saya contoh dari beliau.Tidak ada keraguan bagi saya untuk ini. Beliau adalah inspirator.

Baru hanya dua pemimpin ini yang saya temui diWuarlabobar yang masih memiliki keinginan kuat untuk dapat mengubah kultur masyarakat yang sulit untuk digerakan. Bagi mereka apapun caranya sebenarnya masyarakat mudah untuk digerakan asal sebagai pimpinan juga siap untuk turun lapang, mencontohkan hal yang benar, bukan malah sebaliknya. 

Disini, Wuarlabobar selain disajikan tentang keindahan alamnya. Saya pun belajar tentang kepemimpinan. Menjadi pemimpin bukan berati ‘dilayani’ tetapi ‘melayani’. Menyatu dengan masyarakat, berbuat hal yang terbaik tanpa eling-eling mengakibatkan kita dicintai rakyat. Menjauhkan diri dari sikap tidak jujur, mementingkan keluarga atau diri sendiri mengakibatkan masyarakat yang kita pimpin sulit untuk digerakan. Yang juga pertanda bahwa kinerja pemimpin itu tidak berhasil.

Tapi setelah kita berbuat ‘baik’ sebagai pemimpin juga tidak-lah cukup, sekali lagi sikap rendah hati adalah ujung dari pisau keberhasilan memimpin. Ada satu ungkapan dari teman, "banyak orang yang bisa berbuat baik tapi jarang orang yang bisa mengkawinkan baik dan benar secara bersamaan”.Mungkin inti dari kalimat iniadalah jika ingin menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin tersebut harus mengkawinkan antara nilai kebaikan dengan intisari nilai kebenaran. Pemimpin sejati itu ‘baik dan benar’. Ditanah Wuarlabobari ini pun saya belajar demikian.

Lalu kembali menjawab pertanyaan diawal, "pantaskah saya ‘hanya bersyukur’? Dengan sejuta karunia ditanah ini. Alamnya dan pembelajaran masyarakatnya. Hiruk pikukmasyarakat dan kesempatan emas mencontoh sikap sebagian pemimpin yang luhur ditanah ini. Saya mesti berulang kali mendefinisikan kebenaran arti ‘bersyukur’ atas segala nikmat yang telah saya rasakan. Karena saya berpikir tidaklah pantas saya hanya ‘bersyukur’ biasa-biasa saja atas berjuta nikmat pembelajaran ini.  

Selain itu, paling penting bagi saya sebagai pengajar muda, saya ingin keluhan dan masukan dalam tulisan ini bukan memuji sebagian orang dan mengkritik sebagian yang lainnya. Saya berharap tulisan ini menjadi satu 'api lilin' penerang atas permasalahan yang terjadi. Bukan malah tulisan ini yang membuat semangat untuk bergerak menjadi berhenti. Saya berharap seketika tulisan ini dibaca oleh pihak manapun dapat menjadi rangkuman kegelisahan sebagian masyarakat Wuarlabobar dan menjadi penggerak seluruh stakeholder pendidikan untuk 'baku bantu' memperbaiki kualitas pendidikan kecamatan ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua