Menangis Untuk Adodo

Marthella Rivera Roidatua 19 Maret 2014

“Kadang aku berpikir kalau dibawa ke kisah Alkitab, desa Adodo Molu ini ibarat kota kecil Betlehem namun masyarakatnya seperti Bangsa Israel. Akal yang cerdas dan sikap yang keras pun  belum tentu mampu memecahkan batu yang ada dalam hati orang-orang di sini...”

 

Senin, 24 Februari 2014, tidak ada berita dukacita namun entah mengapa hari itu aku berangkat ke sekolah dengan baju hitam. Perasaanku memang sedikit tidak baik, bukan karena seharian kemarin aku terlalu letih membantu pihak PNPM bekerja atau terlalu larut tidur malam karena bercerita dengan orang tua muridku, tapi kegelisahan ini rasanya tidak terbendung. Karena pagi-pagi kerap hujan, upacara tidak mungkin dilaksanakan di tanah becek dan licin halaman SD kami. Aku sampai di sekolah jam 07.17 WIT, yang menurutku sudah sangat terlambat. Tapi kenyataannya lagi dan lagi, baru aku dan Bapak Lanith, rekan guruku yang sudah mulai berubah semenjak ikut Pelatihan Guru waktu lalu, yang sampai di sekolah. Dari 125 murid pun, baru sekitar belasan orang yang hadir. Sering orang bercanda, ‘Di Adodo talalu banyak pohon karet mangkali, jadi katong sering ngaret’. Kali ini aku tidak bercanda, kebiasaan terlambat ini nyaris seperti sebuah kenyamanan yang hanya bisa terusik ketika ada inspeksi dari pihak kecamatan ataupun dari pengawas. Lebih herannya lagi, guru-guru yang seharusnya menjadi contoh, datang lebih belakangan dari muridnya, itupun masih tanpa bersalah menyapa ‘Salamat pagi, Bapak, Ibu..’ sesampainya di kantor. Bukan sekali dua kali aku berusaha mengingatkan, bahkan dengan sindiran halus seperti ‘Yoh, katong pung SD terpilih jadi Sekolah Model se-kecamatan Molu Maru, tapi kedisiplinan masih ancor begini. Bemana dong sekolah laeng seng bersungut katong nanti’ (SD kita terpilih jadi sekolah model se-kecamatan, tapi kedisiplinan masih kacau. Bagaimana sekolah lain tidak menggumam nanti). Tapi apa mau dikata, sekuat apapun dorongan positif dari luar jika di dalam hati memang tidak ada kemauan berubah, tetap saja seperti itu. Sering aku merenung, ini sudah tahun ke-3 Indonesia Mengajar menapak di Adodo, tapi perubahan perilaku itu belum nampak.

Di SD kami jika hari Senin biasanya ada ibadah Buka Usbu, seperti ibadah memasuki minggu yang baru. Kali ini Ibu Bat yang memimpin pujian dan membagikan firman, ‘Jadi anak-anak harus ikut apa yang orang tua bilang selagi itu baik, tapi kalau tidak baik silahkan menolak’. Sehabis ibadah biasanya ada kesempatan bagi guru-guru yang ingin menyampaikan pengumuman atau bahkan nasehat.

“Anak-anak, kalau lagi ibadah tidak boleh sambil makan apalagi tadi ada yang sampai lempar-lempar jagung begitu. Ibu juga sudah ingatkan, kalau kalian bisa jajan seribu atau dua ribu, masa tidak bisa bernacar? Dari kecil harus belajar memberi untuk Tuhan karena apa yang kita punya itu semua berkat Tuhan. Lalu, ingat toh tadi firman yang dibagikan Ibu Bat? Bapak/Ibu Guru adalah orang tua kalian di sekolah, kalau guru kasih contoh yang baik ayo ikuti tapi kalau lihat guru datang terlambat jangan ikuti toh! Mulai besok kalau sudah lonceng, lima menit kemudian pagar sekolah akan ditutup dan siapa-siapa yang terlambat lebih baik pulang saja. Biar orang tua di rumah juga sadar harus bangun lebih awal siapkan kalian pergi sekolah tepat waktu. Ini juga berlaku untuk guru-guru.”

Entah sudah bagaimana raut muka guru-guru di sampingku, yang jelas aku berbicara karena kekecewaanku sudah di ambang batas. Guru-guru sering bilang kalau anak-anak di sini ‘kepala batu, kepala angin’, dikasih tugas tidak dikerjakan, dinasehati tapi sama saja. Pernahkan mereka bertanya dalam hati ‘dari mana anak-anak bisa tumbuh seperti itu?’ Cap itu seharusnya menjadi bumerang bagi para guru sendiri, apa bedanya mereka dengan murid? Indonesia Mengajar datang di Adodo untuk menyadarkan dan mengajak semua pihak bergerak bersama menuju perubahan yang lebih baik. Bukan untuk kami para Pengajar Muda, tapi hasilnya akan dituai oleh masyarakat sendiri. sudah banyak contoh yang diberikan oleh Pengajar Muda sebelumku kepada para guru, tapi apa yang tertinggal? Tidak ada gunanya jika para guru sekedar mengingat kenangan kebersamaan dengan para PM, tapi nilai yang kami tanamkan dan perubahan yang terlanjur ada sedikit kok malah hilang kembali? Para guru belum punya kesadaran utuh akan pentingnya kedisiplinan, keterbukaan, dan mengajar pakai hati di sekolah. Kalaupun ada yang terlihat beda, aku bisa bilang itu perubahan semu yang terjadi hanya ketika ada seseorang yang terus menggojlok mereka, entah itu Bapak Bebena (Mantan Camat) atau selagi ada PM. Tapi lagi-lagi yang menggores hatiku, ini sudah tahun ke-3, apa jadinya kalau Indonesia Mengajar tidak ada lagi, masa iya sekolah mau kembali ke bentuknya yang dahulu?

Sejujurnya, kultur yang paling tidak kusuka di sini adalah suka membandingkan dan beraninya berbicara di belakang. Bagaimana masalahnya bisa selesai? Siapa manusia yang suka dibanding-bandingkan? Tiga omongan yang sering terngiang di telingaku:

‘Dolo, jaman Bapak Lassa jadi kepsek, sekolah ini bae, katong guru sejahtera. Setiap terima dana BOS katong selalu dapa, tapi yang sekarang deng Ibu Yaf ini cuma antua deng bendahara yang tahu barang itu. Katong pung nasib kurang diperjuangkan, ada informasi apa ka di dinas seng pernah dikasitau padahal antua paling rajin ke Saumlaki’

‘Dolo, jaman Bapak Bebena, setiap hari Senin katong naek di kantor Camat la apel pegawai. Antua kasi nasehat par katong, lalu minum teh sama-sama. Pokoknya di mana ada antua, di sana pasti ada Indonesia Mengajar. Antua paling rajin acara kebersamaan, rajin turun ke sekolah kontrol, sampe koliling kampung pi rumah warga, lalu selalu ada KKG dan rame skali Ibu Thella. Doh, kalo camat yang sekarang ini, antua diam di tampa sa. Mangkali karena antua jua sakit-sakit toh jadi paling jarang round, sampe sekarang mana KKG?, lalu antua macam kurang perhatian ke Indonesia Mengajar e. Ibu Thella paling sial sudah’

‘Dolo, Bapak Dedi itu seng peduli hujan ka apa, tetap sa antua jalan kaki dari Wadankou. Antua bisa-bisa hampir sebulan kalau di sini, deng Bapak Bagus su macam laki-bini sa sampe satu pi kamar mandi la satu lai ikut mangkali. Bapak Dhimas jua paling kuat jalan, tiap minggu pasti liat Bapak Billy di sini. Tapi kalo Bapak Eko macam laeng-laeng e, antua betah di tampa, seng liat teman satu perempuan ka di sini su bemana. Kemarin katanya Raker antua datang, kalo seng menginap paling seng turun sebentar ka ketemu Ibu Thella, lucu masa langsung pulang begitu e...kasiang’

Hari itu rasa sesak di dadaku tidak tertahan, aku pun pulang ke rumah dan langsung masuk ke kamar. Air mataku tumpah, menangisi kondisi yang terkotak-kotak dan sifat acuh tak acuh masyarakat Adodo. Masih belum lega, kakiku spontan melangkah cepat ke arah gereja. Jujur saja, sifat masyarakat yang ‘lain di depan lain di belakang’ membuatku sulit percaya untuk berbagi keluh-kesah, karena itu tangisan ini seperti akumulasi kesesakan yang tidak terluapkan. Kupikir Tuhan adalah satu-satunya pribadi yang mau mendengarkan sepanjang apapun curhatanku dan paling bisa menjaga rahasia. Aku memandang wajah-Nya yang terlukis di dinding dekat mimbar, sambil aku introspeksi “Apakah aku terlalu mengandalkan kekuatanku sendiri sehingga pundakku terasa berat? Atau aku sombong dengan berpikir bahwa tiga tahun sudah cukup untuk menuai? Ataukah memang Tuhan punya caranya sendiri untuk mengubah masyarakat yang keras ini?”

Kecamatan yang baru mekar tiga tahun ini sebenarnya memiliki fasilitas yang berkembang, hanya saja SDM-nya yang belum tuntas dibenahi. Sedikit menyelami masyarakat, aku menyebut mereka ‘masyarakat cambuk-polo’ artinya perlu dikerasi, bukan dikasari, tapi setelah itu mereka juga sangat perlu dirangkul. Tapi sayang sekali ketika sekumpulan orang dilabeli ‘pimpinan’ selalu menempatkan dirinya di atas dan berhak memerintah. Pemerintah desa dan kecamatan lupa akan kewajibannya untuk membaur ke masyarakat, mereka baru turun ke masyarakat ketika membutuhkan bantuan mereka untuk sebuah kegiatan. Ketika kegiatan itu berhasil, mereka senang namanya terangkat tanpa sadar kalau tanpa masyarakat segalanya akan serba susah. Bukankah pemimpin itu muncul karena ada orang yang bersedia dipimpin? Mungkin sifat nyaris skeptis masyarakat di sini adalah bentuk ketidakpuasan terhadap fungsi dan kinerja pemerintah, mungkin.

Aku memutuskan untuk mogok mengajar selama dua hari, aku tidak mau anak-anak melihat raut wajahku yang penuh dengan kekecewaan dan menikmati emosiku yang sedang tidak stabil. Lebih baik aku merenung dahulu untuk membangkitkan kembali semangatku. Saat membaca Santapan Rohani, Imamat 19:23-25 rasanya bukan hanya tepat untukku tapi juga sesuai dengan program Indonesia Mengajar.

‘Apabila kamu sudah masuk ke negeri itu dan menanam bermacam-macam pohon buah-buahan, janganlah kamu memetik buahnya selama tiga tahun dan jangan memakannya. Tetapi pada tahun yang keempat haruslah segala buahnya menjadi persembahan kudus sebagai puji-pujian bagi TUHAN. Barulah pada tahun yang kelima kamu boleh memakan buahnya, supaya hasilnya ditambah bagimu, Akulah TUHAN, Allahmu.’

Di saat galau seperti ini, biasanya buku jadi pelarianku. Beberapa penggalan kalimat ini kemudian lebih menyadarkanku:

‘Jika intensitas ketidakberesan itu semakin meningkat dan berlangsung beberapa tahun, kita mungkin tidak tahan dan berusaha melakukan penghakiman menurut keinginan kita. Kita menuntut Tuhan harus bertindak sekarang seolah-olah pikiran kita bisa melampaui apa yang Tuhan kehendaki. Ingatlah bahwa Tuhan yang berkuasa atas realita. Jangan mendahului-Nya sebab hasilnya akan parah. Yang penting bersyukurlah kalau sampai hari ini Tuhan masih memelihara kita dan waspadalah dalam menghadapi segala situasi. Waktu seperti ini, kita harus sadar bahwa ketika kita bergumul, kita mau tahu apa yang Tuhan kerjakan, kita perlu mengoreksi diri sendiri. Saat kita mengerjakan satu pelayanan, ada tiga hal yang harus diuji dan dibereskan yakni tujuan, motivasi, dan caranya harus benar. Benar dilihat dari sudut pandang Tuhan bukan dari sudut pandang kita sendiri.’

Mungkin apa yang kualami juga dialami oleh teman-teman Pengajar Muda yang lain atau kalian yang membacanya. Sebagai manusia dengan segala keterbatasannya, wajar kalau kita merasa sedih dan kecewa, tapi sebagai seorang yang ber-Tuhan, ingatlah bahwa masih ada yang lebih berwenang mengatur segalanya. Lakukan bagian kita, sisanya serahkan pada-Nya. Percaya saja bahwa sekecil apapun yang kita lakukan buat orang lain pasti tidak akan sia-sia, kalaupun kelihatannya usaha kita tidak diperhitungkan manusia yakinlah bahwa Dia selalu menghargai jerih payah anak-anakNya. Tetap semangaaaaaaattttttt.....!


Cerita Lainnya

Lihat Semua