100 Surat, 100 Suapan

Marthella Rivera Roidatua 19 Maret 2014

3 Maret 2014, aku sekarang genap berusia 23 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk bermain-main dengan hidup, namun tidak terlalu tua untuk terus berpengalaman. Jika semasa kuliah, ulang tahunku diisi dengan siraman campuran segala hal di tengah malam, lalu ketika mulai berkarir dirayakan dengan kejutan dari teman-teman satu kos, lain halnya dengan sekarang. Aku menikmati detik-detik pergantian usiaku di rumah salah satu siswaku, Ince. Karena memang dari 3 Februari – 2 Maret aku bergiliran menginap di rumah 30 siswaku kelas I.

Hari ini aku mendapat kartu kecil dari siswa kelas I-VI. Aku memesan 23 buah kue ampas terigu dari Ussy Rely, yang biasa menjual kue paling enak se-Adodo, sengaja jumlahnya kusesuaikan dengan usiaku. Sayangnya, kami tidak bisa merayakan ulang tahunku bersama dengan semua dewan guru karena dari 8 guru yang ada di SDK Adodo Molu, 5 orang harus berangkat ke Saumlaki mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG).

Kelas I memberiku gambar seorang perempuan berambut sebahu dan kue ulang tahun 3 tingkat yang di atasnya ada tiga buah lilin. Bertuliskan “Happy Birsday Ibu Kece”.

Kelas IImemberiku gambar seorang perempuan yang memegang tiga buah balon dan kado berpita di sampingnya. Bertuliskan “Selamat 23 Ibu Thella”.

Kelas III dan IVmelontarkan pendapatnya tentang apa yang mereka suka dan kurang suka dariku secara gamblang. Ya memang itu yang ingin kutanamkan pada anak-anak yang kebanyakan takut untuk berpendapat pada guru mereka, aku membiasakan mereka untuk berani bicara namun tetap menjaga sopan santun. Beginilah isi dari kertas sepenggal yang mereka berikan padaku:

1.       ‘Saya suka Ibu Thella pung pipi. Seng suka kalo Ibu Thella bicara banyak, selama ini Ibu seng ajar katong. Slama ulan tahu Ibu Thella’

2.       ‘Karena Ibu Tela di suara alus jadi katong suka. Karena Ibu Tela di seng ajar katong jadi katong binci Ibu Tela diya’

3.       ‘Karena diya bikin senam par katong jadi suka. Karena Ibu Tela seng kasi belajar jadi katong seng suka’

4.       ‘Kita suka karena baik hati dan cantik baru bikin kita menggambar. Kita kurang suka karena sekali Ibu kepiting anak-anak itu sakit. Slamat ulang tahun ibu thela, tamba cantik, tamba senyum, Tuhan memberkati ibu thela semoga panjan umur. Selama ini Ibu seng mengajar katong’

5.       ‘Apa yang kita suka pada Ibu Tela karna baik, cantik, dan belajar kita pelang-pelang. Selamat ulan tahun Ibu Tela yg cantik dean senyum-senyum’

6.       ‘Ibu-Telah dia baik kepada katong, tapi tidak suka bermain’

7.       ‘Karena Ibu Thella cantik dan baik tapi kalau kita da teman terlambat ibu thella jaga mara-mara. Selamat ulan tahun ibu thella. Selama ini ibu seng mengajar katong’

8.       ‘Hepi besdey Ibu Telah semoga Ibu Telahtambah cantik. Ibu katong harap Ibu Telah jang pigi lai yang beta mau ibu tinggal di sini’

Kelas V dan VI lebih jujur-jujuran lagi mengungkap kesan mereka terhadapku dan kali ini mereka berani membuka identitas dirinya. Aku mengutip beberapa diantaranya.

1.       ‘Ibu tela taba canti dan ibu pakai pakayan yang bagus-bagus sekali kalau katong pigi di ibu punya lulang tatahun ibu pakai pakayan yang mewah ya. Kalau ibu pigi di jawa ingat katong dengan baik ya. Ibu tela maki hari ibu tela taba cantik dan ibu thella selama ulang tahun’ – Moni Kewilaa

2.       ‘Terima kasih ibu tela karna ibu tela suda ajar saya matik dan english. Ibu kalo ibu suda pindah jangan lupa kami anak-anak adodo molo. Miss tela you beautiful’ – Hani Walangitan

3.       ‘Ibu memang baik kepada dan teman-teman saya tahu ibu pasti sayang sama kami semua di kelas 1 sampai kelas 6. Saya harap ibu tellah jangan pergi kasi tinggal kami karena ibu selalu mengajar matematika sama kami’ – Irfan Lanith

4.       ‘Ibu tela baik hati katong semua. Ibu jang pigi dolo karna katong sayang ibu tela. Selamat ulan tahun ibu tela hepi besde tuyul’ – Aris Laulu

5.       ‘Ibu tella di tamba cantik baru ini di sentau bemara baru lai di sentau bapukul baru lai di baik kepada katong. Beta harap ibu tella jang pinda ajar katong dolo’ – Maria Itranbey

6.       ‘Ibu Thella cantik tapi jahat, ibu thella jaga mara-mara katong. Kalau Ibu Thella pulang jangan lupa katong anak-anak SD Kr Adodo Molu ee..’ – Orpa Walangitan

7.       ‘Ibu tella cantik dan baik hati mengajar baik halus dan katong cepat mengerti terimakasi ibu karna ibu suda mengajar katong selama 1 tahun. Selamat ulan tahun ibu semoga Tuhan memberkati ibu katong mohon ibu jang lupa katong anak-anak adodo molu’ – Yohana Isikiwar

8.       ’Ibu Thella di cantik baru di paki pakian gagah-gagah, ibu tela di baik, di sopan. Kalau ibu thella pulang ibu thella ingat katong samua anak-anak SDK Adodo Molo’ – Yunike Kanara

9.       ‘Ibu Tella baik tidak marah kepada kami, apabila ada kesalahan dari kami kami mohon maaf jua. Kalau ibu Tella pung ulang tahun katong pigi makan-makan di Pulau Lampu. Hapy Tuhan memberkati, Selamat Ulang Tahun Ibu Tella’ – Sin Batarditi Ratissa

10.   ‘Ibu memang baik kpd aku dan teman-teman. Saya tahu pasti ibu sayang kepada kami dan saya senang ibu siksa kami karena siksaan itulah yang membina kami. Saya berharap ibu tetap sehat selalu dan aklau bisa setiap soreibu ajar kami bahasa inggris karena saya senang belajar dengan ibu’ – Lamekh Wuarlela

11.   ‘Ibu Thella sangat baik dan tidak perna mara dan ibu thela selalu senyum dan tidak perna putus asa selama mengajarkan kami. saya berharap supaya ulta Ibu Thella kita makan bersama di pantai dari kls I-VI supaya kita buat kejutan untuk Ibu Thella yang cantik seperti bidadari’ – Josefina Luarwan

Ternyata tiga orang rekan guruku juga memberikan ucapan kecil,

‘Beta senang dengan pribadi Ibu Thella dan Ibu juga selalu terbuka tentang semua hal. Selamat Ulta ke-23 semoga tambah cantik aja’ – Ibu Domerci Werluka

‘Yang saya suka dari Ibu cara bicara dan berbusana. Ibu tegas, setia, dan taat dalam tugas. Happy Birshday Ibu KECE’ – Ibu Tientje Latuhihin

‘Ibu Thella orangnya baik, terbuka, cantik, bodi badannya aduhai, sifatnya ramah, senyumnya tiada dua. Semoga di hari ulang tahun yang ke-23 ini, ibu Thella lebih cantik lagi di mata Tuhan dan semua orang, juga orang tua tercinta yang jauh. Lebih-lebih tingkatkan senyum dan kecantikanmu kepada si dia yang dicintai sehidup semati. Happy Brithday, Tuhan Yesus memberkati’ – Ibu A. Batmomolin

Lonceng keluar main berbunyi, anak-anak bergegas keluar sekolah. Ada beberapa yang sudah kembali membawa bekal, benar saja apa yang mereka harapkan di hari ulang tahunku terjadi. Kami piknik ke pantai dekat perbatasan dengan desa sebelah. Setelah semua berkumpul, kami berjalan kaki dan tantangannya hanya aku berdua dengan Ibu Bat, yang saat ini sedang hamil 4 bulan, yang mengawasi 100 anak. Untungnya hari ini mereka tidak terlalu ‘cakadidi’(bergerak ke sana-kemari), sehingga kami bisa sampai di tujuan tanpa kehilangan satu anak pun. Sebagian anak berlari dan lebih dahulu sampai, ada kejadian berdarah. Karena penasaran melihat tengkorak yang ada di atas karang, anak waliku, Dede, kakinya tergores karang dan luka. Tapi dasarnya anak pulau itu kuat, sehabis dia membasuh lukanya di air laut, dia sudah bisa bercanda kembali. Anak-anak diminta untuk duduk melingkar dan aku disuruh duduk di tengah lingkaran. Ibu Bat memimpin anak-anak menyanyikan lagu ‘Hepi Besdei, Selamat Ulan Tahun, Panjang Umurnya, Tiup Lilinnya, hingga Bagi Kuenya’. Yang lucunya pada saat aku mencoba menyalakan lilin, selalu gagal karena angin. Anak-anak mengganti lagunya dengan ‘Mati lilinnya...mati lilinnya..batal tiupnya sekarang juga...sekarang juga...sekarang...juga..’

Sehabis menyanyi kuminta anak waliku kelas I, seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang berani maju ke depan membawa doa ulang tahun. Kevin dan Ince berdoa pendek tapi kuyakin Tuhan dengar dan maklum. Sehabis itu, aku membagi kue dengan cara menyuapi mereka bergiliran. Setelah itu, aku menyuruh mereka membuka bekal mereka dan mulai makan. Aku kepikiran untuk disuapi oleh anak-anakku kelas I dan mengabadikannya lewat foto. Mereka tidak menolak bahkan antusias, ada yang menyuapi dengan sendok maupun dengan tangan. Tidak kusangka anak-anak begitu polos dan akhirnya salah paham. Sehabis kelas I maju menyuapiku, ketua kelas II berteriak memberikan komando ‘Siap-siap sekarang giliran kelas II suap Ibu Theilla. Abis kelas II sampe...kelas VI’, dengan logat khas Molo-nya. Aku kaget setengah mati dan sempat bengong membayangkan 100 suapan yang akan kuterima. Anehnya bibirku terasa kaku untuk menghentikan niat mereka dan aku pasrah berserah menerima 100 suap dari anak-anak kelas I-VI. Namun parahnya, mereka menyuapiku dengan ‘tanpa ampun’, suapan besar dan tidak pakai jeda. Belum habis kelas II, aku pun sudah nyaris semaput, kuminta izin untuk mengunyah dulu lalu minum agar makanannya turun. Mereka tertawa melihat ekspresiku yang sudah setengah mati disiksa makanan. Beberapa kali sempat aku bergumam, “Kamong seng sayang Ibu Thella ka, masa suap banya-banya bagitu, liat ee ibu pung poro su macam ada ade wau 3 sekali...sabar do ibu ambil nafas sadiki” (Kalian tidak sayang Ibu ya, masa suap banyak begitu, lihat perut ibu sudah seperti orang hamil anaknya ada 3...sabar dulu ibu ambil nafas sedikit). Ada separuh yang bisa kubujuk untuk mengurangi porsi suapan mereka, tapi sebagian lain berkeras ‘Ibu harus makan sesendok penuh ini’. Dan akhirnya...tepat 100 suapan kunikmati, aku bangun dengan perut yang begah minta ampun. Bagaimana tidak, biasanya makan nasi paling banyak hanya 10 sendok, ini 10x lipatnya! Aku berdiri dengan gaya ibu hamil yang membusungkan perut dan memegang pinggang, anak-anak sontak tertawa.

Seorang muridku kelas IV berteriak dari atas pohon, “Ibu...ibu pung muka su itang menyala. Kalo ibu seng tahan lai, berak sudah..” (Muka ibu sudah hitam sekali, kalau ibu tidak tahan ya BAB saja).

Sambil menahan tawa spontan kujawab, “Ekel...hoi..oz su talalu lai e, bet suru dong lego oz pi laut sabar e..” (Ekel..hoi..kamu terlalu ya, awas saya suruh mereka buang kamu ke laut).

Sebagian anak sudah asik berenang dan bermain di laut, beberapa anak meneriakiku, “Ibuuuuu...harus mandi air masin deng katong!” (Ibuuu...harus mandi air asin dengan kami!)

“Yoh...kamong geila ka pa, ibu berdiri sa su stenga mati karena poro mo picah. La pi mandi lai bisa muntah nanti, tunggu do makanan turun e” (Duh, kalian gila ya, ibu berdiri saja sudah setengah mati karena perut mau pecah. Kalau mandi bisa muntah nanti, tunggu dulu makanannya turun).

 

Kalau anak-anak sudah berenang di laut, bukan main senangnya dan hampir tidak peduli lagi dengan apapun. Tapi melihat matahari yang begitu terik, aku dan Ibu Bat takut anak-anak menjadi pusing. Akhirnya kami mengajak mereka siap-siap untuk berjalan pulang ke desa. Di perjalanan sepanjang pantai, anak-anak masih mencuri kesempatan untuk main air meskipun Ibu Bat sudah angkat rotan. Aku yang biasanya jalan cepat, terpaksa lambat karena perutku terlalu penuh dan anak-anak sibuk memerhatikan raut wajahku yang sesekali menarik nafas panjang. Karena kasihan, mereka menghibur ibu gurunya dengan berbalas pantun yang selalu membuatku tertawa. Yang paling kuingat:

Beta suka piara lola,                                                Saya suka memelihara lola,

Asal jang di lobang batu,                                        Asal jangan di lubang batu,

Beta suka piara nona,                                              Saya suka bersama gadis,

Asal jang kepala batu.                                             Asal jangan keras kepala.

 

Setibanya di muka kampung, anak-anak yang sampai duluan sudah sibuk berenang di laut kembali. Ibu Bat meneriaki mereka pulang takut orang tua mereka mengamuk karena anaknya pulang dengan sakit kepala bermain panas di air laut. Beberapa muridku kelas I bertanya, “Ibu sabantar malam ibu biking ulang tahun lai di Ibu Bat pung ruma? Katong malam ini tidur deng Ibu sudah e.” (Ibu, nanti malam ibu bikin acara di rumahnya Ibu Bat? Kami malam ini tidur dengan ibu, ya). Segera aku pun meng-iya-kan, sudah lama juga aku tidak tidur massal dengan anak-anak.

Biasanya yang berulang tahun akan mendapat kunjungan dari majelis untuk didoakan, karena itu malamnya aku sekalian mengadakan syukuran kecil-kecilan. Orang desaku meminta aku yang memasak langsung karena mereka ingin mencicipi ‘menu kota’ racikan tangan Ibu Guru Indonesia Mengajar. Aku memasak sate daging yang kupadukan dengan pentolan, sebagian pentolannya kubuat dengan kuah seperti bakso, nasi goreng bertabur jagung dan kacang polong, telur rebus dengan saus, serta pudding oreo sebagai pencuci mulutnya. Aku mengundang pemerintah desa, kecamatan, dan perwakilan orang tua murid. Ingin rasanya mengundang masyarakat tapi pasti memerlukan dana yang sangat besar untuk menjamu mereka, terlebih porsi makan orang sini ‘sedikit’. Bapak dan Ibu Camat juga menyempatkan diri untuk datang mencicipi masakanku yang tak seberapa. Terlebih aku diberikan kado syal tenun ungu, warna kesukaanku. Sehabis para tamu pulang, giliran anak-anak yang rebutan makan masakanku, sempat ada yang minta tambah jatah pudding. Kami lalu menonton film robot dan tanpa sadar ketiduran hingga kesiangan bangun jam 06.10 WIT. Kami berdoa pagi bersama lalu bergegas pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap ke sekolah.

Ulang tahunku kali ini benar-benar berkesan dan tidak akan pernah terlupakan. Diawali 30 malam bergilir tidur di rumah siswaku, 100 surat kecil, 100 suapan ‘tanpa ampun’, acara syukuran sederhana, ‘nobar’ dan ditutup dengan tidur massal bersama anak-anakku. Kado yang tidak terbeli, terima kasih Tuhan 


Cerita Lainnya

Lihat Semua