UNFORGETABLE OFF ROAD (DESA ‘WORO’--PARADO)

Marlita Putri Ekasari 2 April 2012

Kenangan Woro bagiku sebagai salah satu kenangan hangat kebersamaan guru-guru di SDN penempatanku dengan masyarakat desa lain yang takkan pernah terlupa...

Rencana untuk pergi ke sana bersama guru-guru SDN Paradowane sudah final. Tidak ada pengunduran maupun pengajuan tanggal keberangkatan pada minggu pertama bulan Maret 2012 ini. Tidak semua guru ikut, tetapi menjadi kewajiban bagiku dan bu Nutfah (sebagai pengajak pertama) untuk tetap melanjutkan kegiatan rihlah ini..

Pak Jeli (penjaga sekolah), Pak Sudirman, Pak Abdurrahman, Bu Muslimah dan Pak Furqan akhirnya memutuskan untuk ikut. Tanggal 4 Maret pagi, kami sudah bersiap. Kami menggunakan motor karena tidak ada angkutan umum yang menuju Woro, lagipula jalannya cukup terjal bahkan kadang setapak yang sulit dilalui. Kami sudah memutuskan berangkat pagi untuk menghindari hujan. Aku membonceng Pak Jeli, Bu Nutfah dengan Arif (saudara sepupunya), Pak Sudirman dengan  bu Muslimah, sedangkan Pak Furkan dan Pak Abdurrahman memakai motor sendiri-sendiri. Perjalanan dimulai pukul 9.00 setelah kita mengecek semua bahan makanan yang akan kita bawa ke sana. Aku mempersiapkan 10 bungkus mie dan 5 kampi beras, bu Nutfah membawa urap buatan sendiri, bawang merah, jeruk, dan kacang. Pak Jeli sudah menghubungi temannya yang tinggal di Woro untuk bersiap memancing ikan di laut. Pak Abdurrahman beserta Pak Furkan membawa air minum, beras, dan mie goreng.

Woro, salah satu daerah ujung Kecamatan Parado ini menyuguhkan keindahan yang tiada tara.  Pantai yang terkenal indah dilengkapi dengan cerita Cinta. Hal itulah yang memancingku datang. Cerita cinta yang tersohor. Konon, dahulu ada Bule dari Australia yang tidak sengaja sampai ke Pantai Woro. Ia terpikat pada gadis Woro yang jelita. Gadis ini hanya mampu berbahasa Bima, sama sekali tidak memiliki kemampuan berbahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris (tidak pernah mengenyam bangku pendidikan). Tetapi, perbedaan mereka yang cukup jauh itu, dari segi budaya, bahasa, ras terikat oleh 1 kata ‘cinta’. Akhirnya mereka menikah dan tinggal di pantai itu. Hhhmm tempat yang indah dan menarik sepertinya. Sayang, pantai ini sepi pengunjung, karena lokasinya yang sulit dilewati. Jalan yang menuju pantai juga masih berupa tanah merah yang becek jika hujan tiba, batu-batu yang melengkapi jalan membuat semakin terjal dan merontokkan bunga-bunga ban motor yang dikendarai.

Perjalanan terasa menyenangkan. Sinar matahari bersinar terang, walaupun tadi malam hujan deras. Jalanan becek, tetapi tekad kami menghadapi hari ini mengalahkan semuanya. Prediksi bahwa perjalanan ke Woro akan lebih sulit, sedikit kami abaikan karena kami menikmati perjalanan semuanya dengan saling menyalip. Tawa kami menggema melewati pegunungan Parado yang masih beraspal. Sampai ke pertigaan ke arah Woro atau ke Wane, kami sempat beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah, setelah selama 1 jam kami mengendarai motor di jalan yang cukup licin dan becek. Beberapa kali bahkan sempat diantara kami turun motor untuk berjalan kaki menghindari terjalnya jalan. Motor-motor kadang juga ada yang terbenam lumpur hingga sulit untuk bergerak. Seperti offroad beneran, kami menghadapi jalan yang menantang pun baju kami penuh lumpur..

Sesampainya disana, kami disuguhi keindahan alam Woro yang indah. Keramahan warga Desa Woro yang terbuka terlihat dari sikap mereka yang meminjamkan semua alat masak, serangge (rumah panggung untuk istirahat) dan membantu kami memancing ikan di laut. Kami berinteraksi dengan luar biasa. Bapak-bapak guru (Pak Abdurrahman, Pak Furkan, Pak Sudirman, Pak Jeli) mengikuti beberapa bapak yang notabene teman Pak Jeli dari Desa Woro untuk memancing di laut. Para ibu Guru mempersiapkan masakan pendukung ikan. Kami memasak nasi, mie kuah, sambal bawang, menata urap yang dibawa bu Nutfah juga menata tempat makan kami. Semua masakan itu sudah siap jam 12. Shalat zuhur berjamaah yang sudah dilakukan masih belum cukup membunuh waktu menunggu para bapak guru mengambil ikan. Kami lantas menghabiskan waktu berjalan-jalan di pantai sekaligus ingin mengunjungi rumah legendaris itu...sayang sepertinya penghuni rumah sedang tidak ada di tempat, tapi aku tidak begitu kecewa karena aku bisa melihat langsung rumah legendaris itu. Rumah itu berupa rumah panggung yang terletak tepat di depan karang yang bagus, disamping kanannya banyak perahu. Lokasi itu juga menyuguhkan kerang yang mudah diambil, pasir putih yang mengilap diterpa cahaya, dan langit yang indah.  

Para ibu guru dan aku masih menikmati langit indah pantai Woro itu, sampai akhirnya kami melihat para bapak guru merapatkan kapalnya ke tepian pantai. Mereka melambai mengajak kami kembali, untuk melihat hasil tangkapan mereka. Kami menyudahi petualangan di ujung karang dekat rumah legendaris itu. Dan berlari-lari menuju kapal. Hasil tangkapan mereka masih berada di dalam karung. Ada pemandangan yang lucu, Pak Sudirman mabuk laut. Dia muntah tak henti. Kami menertawakannya, ‘masak pak guru kalah sama laut’. Sekembalinya dari pantai, kami disambut hujan yang membuat kami semakin berlari menuju tempat kami menata makanan. Karung putih yang dibawa bapak-bapak guru itu berisi ikan merah, ikan setrika, dan ikan lain yang tidak kuketahui namanya.

Hhhm....saatnya kami memasak lagi. Ditemani hujan, bapak-bapak guru membuat api di bawah rumah panggunng, ibu-ibu membersihkan sisik-sisik ikan. Satu-satunya ikan yang tidak bisa dibakar adalah ikan setrika. Kulitnya tebal, kaku dan keras. Kami bersusah payah untuk mengeluarkan isi ikan. Ibu Nutfah memasaknya menjadi palumara. Ikan rebus dengan kuah encer pedas, berbumbu kuning.Hhhmmm, nikmat...

Hujan masih belum berhenti tetapi semua ikan sudah selesai dibakar, palumara pun sudah matang. Menikmati nasi panas, ikan bakar, palumara, urap, sambal dan mie di serangge sebuah rumah panggung ditemani warga Woro. Menyenangkan...

Kolaborasi kami dalam memasak dan mencari ikan tidak mengecewakan. Masakan kami laris manis.. Off road yang melelahkan dan membutuhkan kesabaran, pakaian yang tak lagi bersih, membuat kami mensyukuri masakan ini lebih nikmat.

Waktu menunjukkan pukul 16.00, tadinya kami akan mandi di laut. Karena cuaca yang tidak mendukung, kami memutuskan untuk pulang. Lagi pula dengan adanya hujan ini, perjalanan pulang kami akan semakin terjal. Jika kami terlambat sedikit saja untuk pulang, pasti kami kemalaman di jalan dan akan sulit mengenali batu, lumpur atau kayu yang membahayakan kami..

Perjalanan pulang terasa cepat sekali..Kami tidak sering turun dari motor seperti di awal perjalanan..hanya sesekali, sepertinya para bapak guru ini sudah mulai terlatih melewati jalan terjal..

Woro..terima kasih untuk memberikan kenangan indah bersama guru-guru disana...


Cerita Lainnya

Lihat Semua