Proyek yang Belum Selesai: Terjebak Lingkungan atau Menjebak Lingkungan?

Milastri Muzakkar 4 April 2012

Setiap membahas pelajaran tentang pelestarian lingkungan, saat itu juga saya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa di sini, anak-anak saya hidup dalam lingkungan yang sangat bersahabat dengan penyebab rusaknya lingkungan.

Adalah pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa terjadi banjir? Siapa pelakunya? Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya banjir?,” yang senantiasa dibahas dalam pelajaran IPA dan IPS khususnya. Mungkin lugu, atau memang tidak tahu, anak-anak akan menjawab semua pertanyaan itu dengan baik dan benar.

“Karena pohon ditebang bu. Pelakunya, yah... manusia sendiri. Untuk mencegahnya kita nggak boleh tebang hutan, kita tanam lagi pohon baru, menambah daerah resapan air, nggak boleh buang sampah sembarangan,” jawab anak-anak.

Pertanyaan lanjutannya adalah, ‘sudahkan kita melakukan itu dalam kehidupan sehari-hari?’

Kenyataanya adalah, sebagian besar mata pencaharian masyarakat desa Kepayang adalah pencari kayu di hutan. Setiap hari-bahkan sampai berbulan-bulan-mereka siap menghuni hutan demi mendapatkan kayu hingga berkubik-kubik.

Setiap hari, saat matahari baru saja bangun dari tidurnya, masyarakat sudah mulai memadati sungai di belakang rumahnya untuk melakukan segala aktiitas sumur dan dapur.

Lalu apa dan bagaimana saya memberitahu, apalagi meyakinkan anak-anak tentang pohon yang tidak boleh ditebang, saat mereka butuh uang untuk mengisi perut sebelum, di saat dan sepulang sekolah?

Argumen yang bagaimana yang harus saya paparkan untuk  meyakinkan anak-anak agar tidak membuang sampah, mencuci baju, mandi, dan aktifitas sejenis lainnya di sungai, sementara mereka harus bersih-bersih dan berpakaian rapih ke sekolah?

Seorang anak bertanya: “Cak mana (bagaimana) bu, kalau rumah kita di dekat laut (Masyarakat di sini  lebih biasa menyebut laut dengan sungai)? kan ndak ada sumur. Mau nyuci di mana? Airnya ndak ada.” katanya.

“Iya bu, enaknya sampahnya dibuang ke laut. Nanti kan dibawa air,” tambah anak lainnya.

Iya betul, kita yang tinggal di dekat laut memang tidak gampang. Tapi paling tidak kita usahakan apa yang bisa kita lakukan. Kira-kira apa yang bisa kita usahakan?,” tanyaku memancing respon anak-anak.

“Bikin sumur bu,” jawab seorang anak.

“Bagus. Yang bisa gali sumur, yah gali sumur. Sampahnya bisa dibakar atau ditanam,” kataku.

Coba kalian bayangkan, bagaimana kalau satu desa Kepayang  buang sampah ke laut? Sampahnya akan tergenang, nggak bisa dibawa air lagi,  dan akhirnya banjir nggak?

Coba bayangkan setiap hari kita mencuci di sungai pakai deterjen, berapa banyak binatang laut yang rusak bahkan mati?

Pertayaan dan pernyataan seperti ini memang bukan hal baru. Sejak zaman neneknya nenek saya sudah sering didengungkan. Bagi saya ini adalah proyek yang belum selesai. Entah dengan alasan terjebak lingkungan atau justru menjebak lingkungan? Tapi lagi-lagi apapun yang bisa kita lakukan, lakukanlah! Daripada hanya mendengar wacana, manggut-manggut, dan membiarkannya lewat begitu saja.

Bagi saya, saat ini hal yang paling sederhana adalah melalui penanaman nilai-nilai kecintaan dan ilmu pengetahuan. Saya dan anak-anak di sekolah adalah salah satu penghuni dunia, yang menjalankan aktifitas duniawi. Maka menjadi kewajiban bagi kami untuk mengusahakan itu sejak sekarang.

Jika saya tidak mampu menyelesaikan proyek ini, maka anak-anak saya yang masih duduk di bangku SD yang akan melanjutkannya. Karenanya salah satu hal yang bisa saya usahakan-selain melaksanakannya- adalah memberi kabar kepada anak-anak tentang pentingnya melestarikan lingkungan. Dengan harapan, mereka akan menginternalisasi nilai dan pengetahuan itu, lalu mengeksternalisasinya dalam kehidupan sehari-hari.


Cerita Lainnya

Lihat Semua