info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sawah...

Marlita Putri Ekasari 20 Januari 2012

Aku tertegun ketika melihat hamparan sawah yang kulihat dari tanah tinggi..Keindahan yang kunikmati secara gratis saat aku menemani ibuku ke sawah untuk tanam padi hari ini...

Aku bersama ibuku jalan berdua di pematang sawah...ibuku berjalan duluan karena terbiasa dengan lajunya di tanah sawah itu, aku berjalan sedikit lebih lambat. Aku tidak terbiasa berjalan di pematang sawah yang becek karena hujan deras yang mengguyur kemarin sore. Semakin lama, ibuku semakin jauh meninggalkanku. Ibu harus cepat menuju sawah karena ada pekerjanya yang sudah menunggu di sawah untuk sarapan. Sarapan enak yang kubuat bersama ibu pagi tadi (mulai jam 4). Kami bersama-sama mempersiapkan semuanya. Aku memasak mie telor sedangkan ibu masak palumara (ikan yang dibumbu kuning berkuah) beserta sambal.

Dengan sandal di tangan, aku berjalan menenteng tas berisi mantel, makanan, baju ganti, dan air minum. Becek tanah sawah berbeda dengan becek tanah biasa. Lebih licin, dan lebih liat. Ibuku sudah tidak terlihat lagi, tetapi jalan menuju ke sawah masih kuhafal. Dua kali sudah aku pernah berangkat kesana. Tidak seperti kedatanganku pertama dulu, sekarang aku tidak bisa berlari di pematang sawah itu. Dulu, jalannya masih penuh dengan rumput dan tidak becek seperti sekarang. Sekarang, aku harus berpikir setiap melangkah, kakiku harus mencengkeram tanah, dan tanganku harus menggenggam tas lebih kuat. Aku berulang kali jatuh..salah menginjak tanah..alhasil tas yang kugenggam pun ikut penuh lumpur, berikut baju yang kukenakan..Tapi aku harus menyusul ibu...Ibu sudah ada di sawah, sedangkan aku masih berkutat dengan ketidakmampuanku menghadapi tantangan alam ini...

Sesampainya di sawah dengan kegigihan melawan alam, aku disambut dengan sarapan bersama di sawah..Enak...udara yang sejuk, kekeluargaan yang terasa dan pemandangan yang oke..apalagi dilengkapi dengan menyantap hasil kolaborasi masakanku dengan ibu.hhhm, caru poda (bahasa Bima—enak banget).Pekerjaan di sawah hari ini adalah mencabut bibit padi yang akan dipindahkan ke sawah sebelah untuk ditanam. Sebulan yang lalu, bibit padi disemai dan kini bibit yang kucabut sudah menghijau dengan daun yang masih pendek-pendek.

Aku belum begitu bisa dan banyak belajar. Oleh karena itu, awalnya aku hanya membantu memasang bibit yang sudah diikat di atas bambu panjang. Kegiatan yang disebut Dae ini melibatkan Paman Dollah dan Paman Mala. Mereka kuat mengangkat 30-40 ikat bibit. Bibit yang sudah diikat dibelah dua dengan tangan kemudian dipasang seimbang diujung-ujung bambu. Pemasangannya pun harus kanan, kiri dan dirapatkan supaya cukup. Setelah kegiatan itu berakhir, aku mencoba untuk membantu ibu. Ibu mencabut bibit padi kemudian mengikatnya dengan daun kering yang panjang. Hasil ikatan ibu lah yang akan dipasang ke bambunya paman Dolah dan Mala.

Pada awalnya, aku dilarang ‘kerja’. Aku diminta untuk duduk-duduk saja sambil melihat-lihat. Tapi ketertarikanku untuk mempelajari cara mencabut bibit, membuat ibu menyerah. Aku diajarinya.. Di lumpur sawah itu, aku duduk. Dingin, basah tapi seru..pengalaman baru. Tangan kiriku difungsikan untuk mencabut dari akar bibit dari bawah ke atas, sedangkan tangan kanan memegang batang bibit yang akan dicabut. Aku bersama ibu, Bu Saidah, dan Uwa Moa mengobrol sambil mencabut bibit-bibit itu. Menyenangkan.

Hujan mulai turun, tapi kami urung berhenti..Pekerjaan ini membuat kami lupa pada badan kami yang basah, kotor karena lumpur.. katak, cacing, ulat, keong mas pun ikut nimbrung di obrolan kami menyambut hujan yang makin deras datang. Hari dimana ekosistem buatan manusia ini berkumpul di satu tempat.

Ama (bapak-bahasa Bima) membuat pagar baru disekeliling sawah. Sepertinya ada sapi yang menginjak-injak dan makan sebagian bibit kami tadi malam. Pagarnya memang rusak dihantam hujan deras kemarin. Pondokan Ama pun hilang diambil hujan. Tinggal kayu-kayu sisa yang berserakan tidak berbentuk. Ama masih kuat membersihkan sawah dengan Cila (golok-bahasa Bima) di pinggang kiri. Ama masih kuat mengayunkannya walau usianya yang tak lagi muda, 70an tahun. Saat kutanya kapan ultahnya, Ama tidak ingat lagi kapan dirinya lahir, untuk formalitas saja tahun lahirnya di KTP tertulis tahun 1935.

Kerja di sawah sungguhlah menyenangkan. Di samping, aku bisa menikmati indahnya alam ini, aku bisa lebih dekat dengan keluargaku..Keluargaku setahun ini..eh tapi mungkin aku akan mengingat mereka selamanya walau aku sudah tidak disini lagi..


Cerita Lainnya

Lihat Semua