Tak ada yang berhenti

Marlina Ayuningtias 19 Maret 2017

Pukul 14.00, kulirik jam yang tergantung di dinding kelas 3. Sejurus kemudian kulirik juga kursi di depan kami, kosong. Hanya denting jarum jam mengisi kekosongan ruang ini. Harusnya mereka sudah ada disini sekarang. Tetapi kenapa belum juga. Rasa antusias seketika berubah menjadi cemas.

“Sudahlah, Bu. Duduklah kudai. Kagi juga datang mereka” Kata Pak Sandi tenang.

Bagaimana aku bisa tenang. Kemarin kami telah menyebar undangan untuk calon orang tua murid di PAUD yang akan kami rintis. Tapi hingga waktu yang ditentukan tak ada satu pun yang datang. Mungkinkah mereka tidak ingin menyekolahkan anaknya ke PAUD?

“Pokoknya kita tetap jalankan PAUD ya, Pak. Walaupun yang daftar cuma 5 atau 3 orang” kataku padanya. Yang disambut dengan anggukan, tanda setuju.

Aku masih berdiri di depan pintu. Kalau-kalau mereka tidak tahu ruang mana yang kami gunakan untuk pertemuan kali ini. Tapi sebenarnya bukan itu alasannya, aku memang tak bisa santai saat itu. Ah, aku tak pernah secemas itu sebelumnya.

Dari depan pagar sekolah seorang anak berlari ke arahku. Cahaya, seorang anak berumur 5 tahun yang akan jadi calon murid kami di PAUD.

“Mana mamakmu, Cahaya?”

Tak jauh di belakangnya terlihat wanita paruh baya berjalan ke arah kami. Iya, dia adalah ibu Cahaya. Kabar baiknya ia tak sendiri. Ada beberapa ibu-ibu beserta anaknya datang bersamanya. Senyumku kembali merekah.

Di dalam kelas kini telah ada aku, Pak Sandi, dan 5 orang ibu beserta anak-anak kecilnya. Kami mulai membahas tentang rencana pendirian PAUD di talang kami. Berembug beberapa hal sebelum anak-anak masuk PAUD. Lalu muncul satu pertanyaan dari seorang ibu kepadaku.

 “Nanti kalau Bu Marlina pulang bagaimana? Apa masih ada yang ngajar?”

Memang, beberapa pengajar muda sebelumku sempat mengajar anak-anak usia dini. Gagasan untuk mendirikan PAUD ini juga telah hadir di tahun-tahun sebelumnya. Sayang, tak mudah mencari guru yang mau mengajar saat itu. Jadilah pengajar muda yang mengajar. Wajar jika kekhawatiran itu muncul di benak ibu-ibu. Ketika Indonesia Mengajar sudah tak lagi di talang ini siapa yang akan mengajar anak-anak?

Hari yang ditentukan tiba, hari pertama dimulainya pembelajaran PAUD di talang kami, kami menamainya PAUD Tunas Bangsa. Hari-hari sebelumnya berbagai bantuan ditawarkan ketika kabar mendirikan PAUD tersebar di seluruh desa. Entah dalam bentuk barang, tenaga, maupun pikiran. Semua merasa memiliki, semua merasa wajib berkontribusi.

Gedung yang digunakan untuk pembelajaran pun berasal dari kebaikan hati seorang warga yang dengan ikhlas meminjamkan gudangnya untuk kami gunakan. Meski cukup sempit untuk 23 siswa, hanya bersekat susunan papan, rumah kayu yang dijadikan gudang itu resmi menjadi PAUD di talang kami. Tempat ditanamnya harapan tentang tunas-tunas yang akan tumbuh bermekar membangun talangnya sendiri suatu saat nanti.

Bersama segala harapan yang kami tanam, tumbuh pula harapan lewat dua orang warga talang yang bersedia mengabdikan dirinya sebagai guru PAUD, Bu Lena dan Bu Iyat. Tak ada gelar, tak ada latar pendidikan yang mumpuni, yang mereka punya hanya kepedulian untuk melihat anak-anak di talang kami mendapatkan pendidikan yang sama baiknya dengan pendidikan anak-anak di luar sana.

Kini, siapa sangka ketika saya kembali dari kabupaten segala kabar baik memenuhi hati dan telinga saya. Tentang anak-anak yang tiba-tiba datang menemui saya untuk sekadar menunjukkan nyanyian baru yang sudah dikuasainya atau ibu yang membanggakan anaknya yang tak lagi merengek di rumah.

Lima tahun sudah Indonesia Mengajar hadir di talang ini. Menyaksikan tumbuhnya anak-anak yang semangat belajarnya tak pernah redup. Lima tahun pula kami menyaksikan semakin banyak kebaikan-kebaikan tumbuh dari tangan-tangan yang semakin peduli terhadap pendidikan di daerahnya.

Lalu ketika Indonesia Mengajar pamit dari talang ini apakah anak-anak akan berhenti belajar? Orang tua-orang tua akan berhenti peduli terhadap pendidikan anak-anaknya? 

Tak ada yang akan berhenti setelah Indonesia Mengajar tak lagi ada di talang ini. Yang berhenti hanya ketakutan untuk terus mengupayakan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak di talang kami.


Cerita Lainnya

Lihat Semua