Live in, melihat lebih dalam untuk membuka hati lebih luas

Marlina Ayuningtias 19 Maret 2017

“Tiga hari ini saya belajar bahwa kebahagiaan bukan diukur dari seberapa mewah rumah yang kita tinggali, seberapa lengkap fasilitas yang kita miliki, dan seberapa meriah hidup yang kita jalani. Disini saya mendapatkan kebahagiaan lewat kesederhanaan dan kehangatan dari setiap warga yang saya jumpai.”

Kata Destri, salah satu peserta live in ketika menyampaikan pelajaran yang didapat setelah diberi kesempatan tinggal bersama masyarakat Afdelling 1R selama 3 hari. Kami menyebutnya refleksi.

Refleksi. Menjadi prosesi yang paling saya nikmati di setiap kegiatan yang kami jalani. Apa yang terjadi hari ini?, apa pelajaran yang didapat hari ini?, dan apa yang sudah baik dan apa yang perlu ditingkatkan?, menjadi pertanyaan yang selalu wajib dijawab setiap harinya.

Liburan, bagi anak sekolah liburan jadi waktu yang paling dinanti setelah penat dengan kegiatan sekolah selama satu semester. Berlibur bersama keluarga atau teman-teman seusianya tentu jadi pilihan liburan yang menyenangkan. Tapi tidak bagi 18 siswa SMA dari 2 SMA terbaik di pusat kota kabupaten Muara Enim ini. Mereka memilih mengambil tantangan untuk tinggal di daerah-daerah pelosok selama 3 hari untuk mengenal sisi lain dari kabupaten yang ditinggalinya, Muara Enim.

Pagi itu suasana berbeda hadir di satu-satunya terminal yang ada di ibu kota kabupaten Muara Enim. Beberapa anak sekolah tanpa seragam berkumpul, menunggu instruksi untuk berangkat. Hari itu menjadi awal perjalanan mereka untuk melihat Muara Enim lebih luas, mengenal Muara Enim lebih dalam.

 Akan ada 3 desa yang menjadi persinggahan mereka selama tiga hari ini, Desa Danau gerak, Afdelling 1R dan Talang Tebat rawas. Setelah dibagi ke dalam tiga tim mereka berangkat ke daerah penempatan masing-masing, sendiri. Menjalin komunikasi dengan orang-orang baru yang ditemui, memecahkan masalah yang bisa jadi muncul selama perjalanan, semuanya sendiri.

Tiba di daerah masing-masing segalanya berubah. Tak ada lagi sinyal telepon, tak ada lagi listrik. Jalan batu dan lumpur siap menemani perjalanan mereka menuju tempat tinggal mereka selama 3 hari ke depan. Tapi siapa sangka, segala kesulitan yang dihadapi seketika hilang saat bertemu dengan warga. Kehangatan khas keluarga ditawarkan. Di tempat ini mereka mendapatkan keluarga-keluarga angkat baru yang menerima mereka layaknya anak sendiri.  

Selama tiga hari mereka membaur bersama warga. Merasakan kehidupan sebagai petani karet, sawit, maupun kopi. Ketika mandi di sungai menjadi kemewahan dan main ke hutan jadi hiburan paling menyenangkan. Tiga hari ini mereka belajar dari kesederhanaan yang menawarkan berbagai pembelajaran.

Maka waktu yang hanya tiga hari menjadi begitu cepat berlalu. Perpisahan mulai membayang. Tiba saat mereka harus kembali pulang. Meninggalkan kesederhanaan hidup di talang dan desa yang ditinggali. Meski hanya tiga hari, kekerabatan tercipta begitu erat. Mereka yang hadir sebagai orang asing, pulang sebagai keluarga, sebagai anak, kakak, dan adik bagi keluarga di talang maupun desa yang ditinggali. Bisa jadi mereka memang harus pulang saat itu, namun di tempat ini ada rumah yang siap menunggu mereka kembali, lain hari, kapan saja mereka ingini.

“Lima tahun lagi kakak akan balik kesini, bawa PLN biar kalian dak gelap-gelapan lagi belajarnya” celetuk Arizal yang sontak memecah hening yang sejak tadi menyelimuti. Kesedihan meninggalkan keluarga di talang masih terasa hingga mereka pergi.

Lalu ketika ditanya apa pelajaran yang didapat hari itu, semua sepakat bahwa tiga hari ini kami belajar, belajar melihat lebih dalam untuk membuka hati lebih luas lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua