Membawa senyum Bu Ida kembali

Marlina Ayuningtias 30 Januari 2017

“Wah Bu, hujannya makin deras, kalau cak ini kita dak pacak masuk, kita nginap di luar saja ya, Bu” kata Pak Sandi sepulang kami dari UPTD kala itu.

Hari itu hujan memang sedang deras-derasnya. Ditambah hari telah larut. Tak mungkin memaksakan masuk talang dalam kondisi seperti ini. Aku mulai panik. Mana mungkin aku menginap di luar, sedang kemarin aku telah berjanji pada anak-anak untuk mengunjungi Bu Ida di SP 3. Dengan sedikit memaksa kuminta Pak Sandi membawaku masuk ke talang. Kalaupun harus kehujanan bagiku tak masalah yang penting aku bisa masuk, pikirku saat itu. Untuk menuruti permintaanku, akhirnya kami masuk juga ke dalam talang, sudah pukul 10 malam waktu itu. Katanya orang asli sini pun tak ada yang berani masuk jam segitu.

.

“Bu, payo bu. Kami lah siap”

Teriak anak-anak dari bawah rumah panggung milik bapak angkatku yang lain di talang, setelah tak berhasil menemukanku di rumah. Tak kusangka banyak juga yang ikut. Dengan tas ransel berisi nasi bontot mereka telah bersiap menunggu di bawah rumah, sedang ibu gurunya masih lusuh dengan penampilan bangun tidurnya. Bergegas aku bersiap, tak ingin mereka menunggu terlalu lama.

Tak sampai hitungan jam, aku telah siap dengan ransel di punggungku. Menyambut mereka untuk memulai perjalanan. Kata warga, perjalanan bisa ditempuh selama 2,5 jam berjalan kaki untuk tiba di SP 3. Membayangkannya saja sudah begitu melelahkan. Tapi berbeda dengan yang kulihat di wajah anak-anak. Mereka begitu antusias, karena mereka memang paling hobi jalan-jalan. Dan yang pasti karena mereka ingin membawa kembali senyum di wajah Bu Ida.

Kedatangan kami ke rumah Bu Ida memang bukan tanpa alasan. Beberapa hari yang lalu, tepat di hari pahlawan, di usianya yang tak lagi muda ia kembali kehilangan bayi yang telah dinantinya, dinanti orang-orang di sekitarnya. Sejak pertama mengajar di sekolah kami, genap 4 kali sudah Bu Ida keguguran.

Bu Ida yang akan kami kunjungi rumahnya adalah salah satu guru di sekolah kami. Sudah sejak tahun pertama berdirinya sekolah ini ia mengabdi sebagai guru honorer. Menjadi saksi bertumbuhnya sekolah kami sejak menjadi kelas jauh hingga mandiri pada tahun 2010 lalu. Meski bukan sosok guru yang selalu memanjakan murid-muridnya, Bu Ida menjadi salah satu guru yang berkesan di hati anak-anak. Dan hari itu untuk menghibur ibu gurunya yang sedang dalam suasana berkabung, anak-anak mengajakku untuk mengunjungi rumah gurunya itu.

Untuk tiba di rumah Bu Ida yang terletak di trans, kami harus melewati jalan berbatu, lumpur dan tanah merah yang panjang. Berkali-kali kami masuk keluar hutan untuk sedikit menyingkat perjalanan. Berbagai jenis suara binatang menyambut kedatangan kami ketika langkah kami mulai memasuki hutan.

“Ini suara monyet, Bu. Di hutan ini masih banyak monyet. Kadang kami juga lihat beruang, Bu”

Buluku bergidik mendengar kata beruang. Kupikir hewan semacam beruang hanya bisa kutemukan di kebun binatang. Melihat wajahku yang mulai panik mereka justru tertawa. Seketika tawaku ikut pecah, setidaknya dibalik tawa mereka aku tahu mereka bisa menjagaku.

Peluh telah membasahi seluruh bagian wajahku ketika kami tiba di jalan tanah merah, kami menyebutnya jalan pertamina. Jalan yang rasanya tak memiliki ujung. Sejauh mata memandang hanya tanah merah naik dan turun yang kami lihat, menandakan perjalanan kami masih sangat panjang. Kami memutuskan untuk duduk di pinggir jalan sambil memakan nasi bontot bawaan kami tadi pagi. Karena terlalu tergesa-gesa aku melupakan nasi bontotku, dan kini hanya aku yang tidak membawa bontot. Dibalik peluh yang menetes dari ujung pelipis, kami saling berbagi, sedikit lauk yang dibawa dibagikan kepada yang lain, semua makan semua bahagia.

Kami tiba di rumah Bu ida setelah melewati jalan berbatu di balik hutan. Bu Ida yang melihat kami muncul di ujung jalan berbatu langsung menyambut kedatangan kami. Sedikit kesedihan masih tersisa, namun di balik itu ada senyum yang tersungging di wajahnya. Paling tidak Bu Ida sedikit terhibur dengan kepolosan mereka yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya menonton tivi di siang hari. Atau mereka yang berebut kipas angin untuk sedikit menghilangkan rasa panas usai perjalanan panjangnya, maklum di talang kami segala jenis alat elektronik hanya bisa dinikmati malam hari ketika genset hidup.

Setelah selesai berbincang dengan gurunya dan selesai menikmati alat-alat elektronik Bu Ida kami pamit pulang. Baru di depan pintu bayangan tentang jalan tanah merah tak berujung dan kekhawatiran diterkam beruang melintas. Apalagi matahari makin tinggi, terik memanggang kulit.

Jauh dari bayangan, di perjalanan pulang kami justru lebih menikmati perjalanan. Ketakutan diterkam beruang ketika di hutan seketika hilang. Melepas sandal ketika di tanah merah dan saling berkejaran satu sama lain membuat masa kecilku rasanya kembali terulang. Tapi tiba-tiba ada yang mengganggu perjalananku, perutku terasa perih. Ditambah keringat dingin yang mulai membanjir.

Benar saja. Aku baru ingat kalau perutku belum terisi sejak tadi pagi. Ditambah flu yang mulai menyerang akibat hujan semalam. Rasanya tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Berkali-kali aku meminta mereka menghentikan perjalanan untuk sejenak menarik napas. Sambil menunggu kalau saja ada mobil pertamina yang melintas. Sialnya hari itu hari minggu sehingga tak ada satu pun mobil pertamina yang melintas di jalan tanah merah ini.

Jadi begini rasanya menjadi Bu Ida. Dengan menahan beban di perutnya dan mungkin juga kondisi tubuh yang tak selalu bugar, ia terus berjalan menuju sekolah. Takut-takut terlambat tiba di sekolah dan anak-anaknya ketinggalan pelajaran. Katanya ia berangkat ke sekolah sejak pagi buta setiap paginya, bahkan ketika hari masih gelap dan dingin udara pagi masih menusuk. Tak peduli semalam hujan, yang membuat jalan tanah merah yang kami lalui menjadi berkali-kali lipat lebih sulit dari biasanya. Jika tak ada halangan ia bisa tiba di sekolah sebelum lonceng berbunyi, bahkan sebelum guru lain tiba di sekolah. Dan memang saja, Bu ida selalu jadi orang pertama yang tiba di sekolah setiap paginya.

Perjalanan hari ini begitu berarti bagi kami. Bukan hanya bersenang-senang, melalui perjalanan ini kami menapaki satu-persatu jejak Bu Ida menuju ke sekolah. Merasakan ketulusan di balik kehadirannya di sekolah setiap harinya. Bertahun-tahun Bu ida telah menjalani perjalanan ini dengan penuh keikhlasan. Di setiap langkahnya kami percaya ada harapan yang dititipkan. Harapan melihat anak-anak kami mencapai cita-citanya.

Dan kini senyum Bu Ida telah kembali. Segala kesedihan telah berganti menjadi senyum. Terima kasih nak, telah membawa senyum Bu Ida kembali.


Cerita Lainnya

Lihat Semua