Lewat senyum

Marlina Ayuningtias 30 Januari 2017

Noperi namanya, salah satu anak kelas 1 di SD kami, SD N 17 Lubai Ulu. Tahun ini sudah tahun keduanya di kelas 1. Bukan, bukan karena dia tidak bisa membaca atau menghitung yang membuatnya tidak naik kelas. Dia hanya masih butuh bimbingan lebih di kelas 1, kata gurunya.

Umur Noperi kini telah 7 tahun. Namun kata orang ia berbeda dari anak seumurannya yang lain. Bagi saya dia bukan berbeda, ia hanya spesial. Memang di usianya kini cara bicara Noperi masih belum jelas. Bukan cedal, hanya belum jelas. Bisa dibilang seperti anak usia 3 atau 4 tahun yang masih belajar bicara. Tak jarang juga ia menangis sambil guling-guling dan menendang dinding di kelas, atau membanting apa saja yang ada di sekitarnya. Kalau sudah begitu ia akan susah sekali didiamkan. Yang kami lakukan hanya memberinya ruang sendiri. Biar ia mengatur emosinya sendiri.

Dari artikel yang saya baca itu disebut temper tantrum, atau sering disebut tantrum saja. Temper tantrum hanyalah suatu kondisi emosional yang umum dialami oleh anak-anak usia 1-4 tahun, terjadi pada anak-anak yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka akibat tidak terpenuhinya keinginan mereka, atau hanya sekadar ingin mendapatkan perhatian dari orang tuanya saja, begitu kata artikel yang saya baca. Dan yang dibutuhkan Noperi memang hanya perhatian. Mungkin ia hanya kesal karena tak banyak yang bisa mengerti keinginannya, tak banyak yang bisa mengerti perkataannya, termasuk saya salah satunya.

Pagi itu belum banyak guru yang datang ke sekolah. Saya melihat Noperi sedang main tanah, sendiri. Saya dekati Noperi dan mengajaknya bercerita. Siapa sangka Noperi yang saya lihat sangat berbeda dengan Noperi yang berguling-guling di lantai saat itu, atau yang menendang dinding kelas, atau yang membanting barang-barang di sekitarnya. Ia tersenyum kali ini, memperlihatkan giginya yang bolong di bagian depan, lucu sekali. Dan sejak saat itu keinginan saya untuk belajar memahami apa yang dikatakan Noperi semakin besar.

Pagi-pagi berikutnya saya masih melihat Noperi sendiri. Kepada saya ia selalu melempar senyum yang sama setiap paginya, senyum yang selalu memperlihatkan gigi depannya yang bolong. Yang saya balas dengan senyum yang sama pula. Di saat-saat seperti itu hati saya bicara.

“Noperi, selama ibu belajar memahamimu, mari kita bicara lewat senyum”


Cerita Lainnya

Lihat Semua