Pagi Hari di Daerah Opera van Java
Maristya Yoga Pratama 6 September 2010
Disana gunung disini gunung ditepinya laut selatan. Ada anak jawa yang tinggal merantau di daerah Opera Van Java selama setahun. Sebutan sebuah dusun di Kabupaten Bima yang diberi nama daerah Opera Van Java karena dikelilingi oleh gunung-gunung dan pantai. Pagi itu ayam berkokok di sebuah Dusun Baku Desa Lambu Kabupaten Bima. Jam empat berdetak di tangan aku dan ternyata itu salah. Sebuah perpindahan waktu untuk daerah Indonesia bagian tengah. Awan masih gelap sekali sehingga raga ini sulit untuk bergerak. Semakin aku memanjakan tubuh maka tubuh terasa lebih lunglai. Dengan segala daya upaya harus bangun untuk mengambil air wudhu di depan rumah.
Selesai melaksanakan kewajiban aku mulai bertugas sebagai seorang Ibu. Dapur menjadi tujuan utamaku. Kompor minyak tanah aku nyalakan. Air kapur yang sudah didiamkan semalam aku masukkan dalam sebuah panci kecil. Seratus derajat celcius sudah terasa sehingga muncul butiran – butiran air. Secangkir kopi mulai disedu untuk menyambut bangunnya pak kepala sekolah. Menunggu proses secangkir kopi dihidangkan maka aku membilas beras yang sudah tersedia. Periuk ukuran sedang aku ambil agar beras itu berubah menjadi sebutir nasi. Air seukuran garis pertama jari menjadi ukuran tinggi air. Hati ini rasanya ragu apakah beras ini menjadi nasi. Keraguan itu aku kubur dengan penuh keyakinan bahwa aku bisa makan hari ini. Ku buka tutup periuk sebagai penanda bahwa nasi itu sudah matang atau belum. Sambil aku aduk nasi itu agar tidak terjadi kejadian yang sama. Kejadian nasi menjadi sangit dan berkerak. Belajar dari kesalahan pertama memasak nasi tersebut maka api yang menyala harus dikecilkan.
Penantian sebuah nasi sepertinya masih lama sehingga diisi dengan olah raga pagi di tempat fitnes Dusun Baku. Aku menuju sumur yang lumayan jauh dari rumah. Berjalan kaki berguna untuk mengencangkan otot kaki. Air disumur siap untuk diambil dengan sebuah tambang dan ember. Kekuatan tangan perlu digunakan dalam sesi kali ini. Sesi mengambil air adalah latihan menguatkan otot lengan. Dua ember sudah penuh dengan air dan siap untuk dibawa ke rumah. Latihan berikutnya menurut instruktur diri adalah mengakat ember berisi air. Latihan ini berguna untuk otot tangan dan otot dada. Lumayanlah olah raga pagi dengan fitnes. Keringat yang sedikit mengucur juga bisa menghangatkan badan di pagi hari yang sangat dingin sekali.
Sampai didapur lagi nasi yang ku masak dalam periuk sudah matang. Untuk melengkapi nasi yang kumasak aku perlu memasak lauknya atau orang Bima bilang “utha”. Kata itu berarti ikan. Jadi orang bima menyebutkan lauk itu sebagai ikan. Utha yang paling saya suka adalah sambal goreng teri. Kuambil cobek untuk menghaluskan bumbu untuk memasak utha. Tomat merah yang mungil kuiris-iris tipis. Cabai merah pedas juga dipotong-potong. Ditambah dengan bawang merah yang jahat dengan mata diris tipis. Semua bahan-bahan yang ada aku haluskan di cobek. Untuk menambah rasa saya tambahkan garam dari laut. Teri yang ada laut aku pindah di lautan minyak yang panas. Teri itu berlarian diatas wajan yang sangat panas sampai badannya melengkung. Itha yang dibuat belum selesai dan membuat aku pengen sekali makan. Kembali wajan yang berisi minyak dipanaskan. Bumbu dan teri goreng bertengkar untuk mencapai kata enak didalam wajan. Alhamdulillah pertarungan mereka selesai dengan kata sepakat yaitu enak. Walaupun masih ada yang bilang kalau keasinan dan pedas.
Pertarungan bukan hanya di dalam wajan saja. Pertarungan berikutnya adalah antara kontraksi perut, keinginan, sungai dan kotor. Aku harus mengeluarkan sisa tubuh ini yang sudah diolah oleh bakteri “E Coli”. Pertarungan yang lumayan sengit sekali. Tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya keputusan aku mabil untuk ke sungai. Perjalanan dimulai dengan memakai sarung dan membawa sabun. Lima belas menit pertarungan itu selesai ditepi sungai warna coklat. Perdamaian diri berakhir dengan hasarat yang sudah terlampiaskan. Tidak terpikir untuk melakukan perdamaian tersebut. Belum selesai aku untuk berdamai dengan rutinitas. Kebutuhan untuk membasahi badan ini belum terpuaskan. Berdasarkan pengalaman orang Baku mandi adalah bukan merupakan kebutuhan sehari-hari. Ego saya mengantarkan untuk segera mandi. Mandi dengan air kapur tidak bisa mebuat sabun berbusa seperti biasa. Aku mandi beratapkan awan pagi yang cerah dan kanan kiri ibu-ibu yang sedang mandi tanpa pemisah apapun. Kebersamaan dan kesederhanaan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana tersebut.
Baku, Juli 2011
Maristya Yoga Pratama
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda