Menghadapi Mace-Mace Pencemburu

Marintha Eky Wulansari 31 Januari 2012

Perjalanan menjadi seorang Pengajar Muda di seluruh pelosok daerah di Indonesia, tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang ada kerikil-kerikil kecil, hingga sebuah batu kali yang besar yang kerap ditemui di tengah perjalanan. Namun, semua itu tidak pernah membuat kami surut langkah, justru semua itulah jadi bumbu yang membuat perjalanan kami semakin banyak kesan dan kenangan. Jika ada salah seorang Pengajar Muda dari angkatan Pertama yang pernah dipukul oleh wali murid karena pernah memarahi muridnya di sekolah, pengalaman yang kualami hari ini meskipun sedkit berbeda tapi tidak kalah serunya.

Yah rencana untuk membacakan cerita untuk anak-anak muridku hari ini urung terlaksana. Malahan aku harus menghabiskan seharian waktuku di Kantor Polisi. Semua ini berawal ketika ditengah perjalananku menuju sekolah pagi ini ada seorang Ibu, yang kukenal sebagai istri penjaga sekolahku, tiba-tiba menyuruhku berhenti dan bertanya, ”Ibu sebentar saya mau tanya, yang punya nama Eky itu hanya kau sajakah, atau ada kau punya teman-teman yang lain?” . Tanpa curiga apapun akupun dengan ringan menjawab pertanyaan itu, “Tarada Ibu, cuma beta saja yang punya nama Eky.”  Eh..aku kaget, ketika beliau menanggapi jawabanku dengan berteriak-teriak memaki-maki, sampai orang-orang yang ada disekitar sekolah keluar menyaksikan kami. Beliau menuduhku sebagai perempuan sundel, suka mengganggu suami orang. Wow aku ingat-ingat sepertinya aku belum pernah menggoda suami orang selama bertugas di daerah ini, memiliki niatpun tidak, Karena tidak tahu menahu apa duduk persoalannya, akupun bertanya sebenarnya ada apa, siapa tahu ini hanya sebuah kesalahpahaman saja. Ternyata Beliau mempertanyakan mengapa ada nomerku di HP suaminya, Beliau menuduhku sengaja memberikannya pada suaminya dengan tujuan agar suaminya dapat sering menghubungiku. Akupun berkata sejujurnya aku tidak pernah memberikan nomorku pada suaminya, dan aku juga mengatakan padanya, nomor Hpku sudah banyak tersebar di masyarakat, jadi banyak kemungkinan suaminya mendapatkan nomor Hpku dari orang lain, tapi dia tidak percaya begitu saja dengan penjelasanku. Dia tetap memaki-maki dengan kata-kata yang sangat tidak pantas di dengar, akupun memilih berkata “Terserah Ibu kalau tara percaya, yang pasti Ibu tara perlu khawatir saya tidak berminat sama sekali dengan Ibu pu Paitua, permisi Ibu saya harus mengajar.” Kemudian aku berlalu menuju sekolah, aku harus segera memasukkan murid-muridku ke dalam kelas, agar mereka tidak menyaksikan dan mendengar Ibu tadi yang masih tetap berteriak memaki-maki ke arahku di pinggir jalan dengan disaksikan banyak orang.

            Tahukah kawan, ini bukan pertama kalinya Ibu tadi datang melabrakku. Bahkan sejak tiga hari pertamaku bertugas di sekolahku, dia sudah pernah datang ke kantor, hanya sekedar untuk menanyakan apa saja yang kubicarakan dengan suaminya selama ada di kantor Guru. Ibu itu tidak lagi muda begitu juga suaminya, dia lebih pantas kupanggil Nenek dan Tete (Kakek menurut bahasa setempat), namun masyarakat memang seringkali mengingatkan bahwa Ibu itu memiliki sifat pencemburu yang berlebihan, terutama kepada orang baru apalagi statusnya single. Jadi jika di kantor Guru kebetulan hanya ada Pak Penjaga sekolahku, kalau bisa aku menunggu sampai ada orang datang baru aku masuk kantor,supaya tidak hanya berduaan saja di kantor. Karena itu akan mencetus Mace (ibu) tersebut berpikir yang aneh-aneh. Padahal kami (aku dan Pak Penjaga Sekolah) seringkali menjadi orang yang pertama sampai di sekolah.

            Setelah kutinggalkan Ibu tadi dan aku segera masuk ke sekolah, ia tetap berteriak memaki di jalan. Suaminya, mendatanginya dan menyuruhnya diam, karena dia merasa malu menjadi tontonan banyak orang. Namun, karena Ibu tersebut tetap tidak mau diam, suaminya yang kehilangan kesabaran akhirnya memukulnya. Setelah mereka bertengkar hebat, Ibu tersebut kembali mengejarku di dalam sekolah sambil memaki dengan kata-kata yang sangat tidak pantas, dia bahkan mengancam  akan merobek-robekku jadi dua karena dia sudah kena pukul dari suaminya, gara-gara aku. Berkat masyarakatlah, akhirnya Ibu tersebut dapat diarahkan keluar lingkungan sekolah. Aku sudah berusaha menenangkan diri, dan kembali bersiap-siap memasuki kelas. Tiba-tiba Ibu Kepala Kampung mendatangiku di kantor Guru ditemani beberapa warga masyarakat. Ia menganjurkan agar melaporkan kejadian ini ke kantor polisi, karena hal ini sudah beberapa kali terjadi. Warga masyarakat yang lain juga menganjurkan hal yang sama, agar di kemudian hari tidak terjadi hal yang sama yang dapat mengancam keselamatanku, dan juga mengganggu ketentraman lingkungan sekolah. Yah pada akhirnya atas desakan warga masyarakat aku melaporkan kejadian ini kepada pihak Kepolisian, dan akhirnya Ibu tersebut harus membuat surat pertanyaan dimana jika beliau mengulangi kesalahan yang sama maka pihak berwajib akan mengambil tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada akhirnya apa yang kita rencanakan tidak selalu dapat berjalan sesuai rencana, pagi ini aku telah berencana akan membacakan cerita pada murid-muridku dari buku yang aku bawa, dan mengajari mereka mengeja beberapa kata. Namun ternyata justru seharian aku harus ada di dalam kantor polisi membuat keterangan-keterangan, mendengarkan dua orang suami istri bertengkar disaksikan Pak Polisi, dan menunggu surat perjanjian dibuat oleh Pak Polisi dengan mesin ketik, menandatangani surat itu sebagai korban perilaku  tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, serta menerima permintaan maaf dari Ibu pencemburu, yang semoga ke depan ia tak lagi berprasangka bahwa akau menginginkan suaminya. Yeah..untuk Pengajar Muda yang lain selalu berhati-hati dalam bersikap ya..kita tidak akan pernah tahu apa yang kita hadapi, dan tetap Semangat!!!                                                                                                                                          

Kokas, 11 Januari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua