Hari Raya Idul Adha

Maridha Normawati 22 Oktober 2014

Lebaran Idul Adha kali ini memang terasa berbeda. Kali ini saya merayakannya dengan para pendatang dari Buton. Pagi-pagi sekali saya bergegas mandi meskipun baru sekitar jam dua dini hari, mata ini baru dapat terpejam. Entahlah mengapa saya tak dapat tidur malam itu, kondisi badan yang kurang sehat mungkin jadi salah satu penyebabnya. Meskipun alarm sudah bernyanyi dua kali, saya masih tetap enggan terbangun. Akhirnya badan ini bisa diajak kompromi dan langsung bersiap sembahyang subuh pukul lima lewat. Jam enam saya beserta jamaah shalat Ied dari Wunlah siap berlayar menuju Kilon, salah satu desa berpenduduk mayoritas Muslim di Kecamatan Wuar Labobar, Maluku Tenggara Barat. Selain Kilon, masih terdapat beberapa desa dan dusun berpenduduk muslim lainnya yaitu Desa Labobar, Desa Karatat, serta Dusun Namralan yang biasa dikenal sebagai Labobar kecil. Ketiga desa tersebut merupakan desa Muslim dengan penduduk asli Maluku. Meskipun Kilon masih satu daratan dengan Wunlah, tetapi agak sulit mencapai desa tersebut dengan berjalan kaki atau naik kendaraan, maka transportansi lewat laut menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat. Sekitar 30 menit akhirnya saya bisa menginjakkan kaki ke desa tersebut setelah menikmati sejuknya udara pagi di atas kapal motor Bapak Kembar.

Gema takbir sayup-sayup terdengar dari para jamaah, akhirnya jam delapan Shalat Ied pun dimulai. Selesai sembahyang saya sempat mendokumentasikan kambing yang akan dikurbankan. Satu momen tradisi yang baru saya temui di Kilon yaitu kambingnya diberikan kain putih dan diarak oleh warga sebelum akhirnya disembelih. Setelah itu, saya kemudian diundang ke rumah Bapak Rumasera, Kepala Desa Kilon. Tertarik mengetahui lebih jauh tentang sejarah Islam di Kilon, saya pun bertanya asal-muasal bagaimana Islam bisa sampai masuk ke Kilon. Bapak Kades bercerita bahwa sebenarnya masih jadi kontroversi mengenai siapa yang pertama memperkenalkan Agama Islam ke Desa Kilon. Ada pendapat yang menyatakan bahwa orang-orang dari Seram Timur yang menjadi perantara Islam ke Kilon. Pendapat lain menyatakan orang-orang dari Maluku Utara yang membawa pengaruh Islam ke Desa Kilon.

Desa Kilon sebenarnya adalah bagian dari desa Wadankou di Kecamatan Molo Maru tetapi akhirnya harus berpindah tempat. Bapak Kades bercerita bahwa dahulu para tetua adat sepakat memindahkan desa karena melihat prospek di masa mendatang. Wilayah yang lama dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak cucu mereka, sehingga hijrah ke Pulau Yamdena menjadi pilihannya. Sebelum dinyatakan menjadi sebuah desa, Kilon merupakan dusun dan masih menjadi bagian dari Desa Wadankou. Apabila ada keperluan tentang administrasi desa, maka penduduk harus pergi ke Desa Wadankou dengan perjalanan laut yang cukup jauh. Setelah jadi desa, maka segala urusan menjadi lebih mudah dari sebelumnya.

Setelah bersilaturahmi ke beberapa rumah penduduk, saya kembali pulang ke Wunlah. Sembari menikmati perjalanan pulang ke Wunlah, saya bersama murid-murid mengaji menikmati waktu kebersamaan dengan berfoto. Ah, anak-anak memang selalu menampilkan kepolosan. Hal itu yang membuat hari-hari di sini lebih berwarna. Kalau sedang bersama anak-anak, saya terkadang suka membayangkan bagaimana mereka nantinya kalau sudah besar. Saya selalu berharap semoga anak-anak saya ini bisa tumbuh besar dengan baik. Saya berharap suatu hari nanti mereka datang menemui saya kembali dengan kabar baik bahwa mereka sudah menjadi orang sukses. Rasanya tak ada hadiah terbaik bagi seorang guru selain melihat anak didiknya bisa menjadi sukses dan menjadi orang yang berguna. Amin semoga anak-anak saya bisa mencapai impiannya masing-masing.

Siang harinya, saya menyantap hidangan lebaran berupa buras, ikan, colo-colo (sambal) dan opor telur. Saya jadi teringat akan Mama dan keluarga di rumah, sayangnya saya tidak bisa menghubungi keluarga ketika lebaran karena satelit menara telekomunikasi di desa masih rusak. Namun, kadang saya merasa tidak adanya akses komunikasi membuat hidup saya menjadi lebih tenang, hehe. Mungkin karena berkurangnya “pengganggu” di kala diri membutuhkan waktu untuk sendiri. Akan tetapi, sejak tanggal 10 Oktober 2014 akhirnya sinyal salah satu provider kembali tersedia di desa, karena satelit sudah diperbaiki. Alhamdulillah.

Sore harinya saya bersama perantau dari Pulau Buton dan beberapa masyarakat di desa berlibur ke Tanjung. Sebenarnya saya datang terlambat dan tertinggal oleh rombongan. Akan tetapi, Saya justru dapat rejeki bisa naik sampan bersama dua orang murid karena mereka mengambil parang yang tertinggal di rumah sehingga tidak perlu berjalan selama 30 menit ke Tanjung. Tanjung adalah pantai yang terdekat dari desa dengan panorama alam yang cukup indah. Para bapak mengail di pantai dengan tangkapan ikan yang lumayan banyak. Ibu-ibu sibuk membakar ikan hasil tangkapan, dua ekor ayam, pisang satu tandan, dan beberapa buah jantung pisang. Maka jadilah saya dan masyarakat menikmati barbeque tradisional tidak lupa ditambah dengan sajian Lapa-lapa (sejenis ketupat yang berisi beras dan ketan makanan khas Sulawesi). Kebersamaan dengan masyarakat muslim menjadi obat pengganti bagi saya yang tidak bisa menghabiskan waktu bersama keluarga ketika lebaran.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua