Si Kembar Enam

Maria Jeanindya Wahyudi 4 Oktober 2011

Seperti memiliki anak kembar enam. Itulah yang terjadi di ruang kelas 5, kelas yang kuampu selama empat bulan ini. Mereka bukan kembar identik, meski perangainya kurang lebih sama. Tidak ada yang terlalu menonjol, dan ada yang menjadi kesayangan.

Karena belum punya printer, setiap mengadakan ulangan secara tertulis, aku menyalinnya sebanyak enam kali untuk mereka. Aku membuat enam kali garis bilangan untuk ulangan operasi hitung.

Aku membuat enam ‘piring makanan bergizi’ untuk mengajarkan tentang zat-zat dalam makanan yang diperlukan oleh tubuh. Enam catatan, enam buku tulis garis halus, enam pensil, enam penggaris, semua serba enam.

Mau kenal dengan si kembar enam itu? Inilah mereka...

 

Ali Turua

-suatu hari saat ulangan IPA-

Pertanyaan (di buku) : sebutkan urutan proses pencernaan manusia!

Jawaban : protein nabati

Pertanyaan (di buku) : sebutkan enzim di lambung yang mengubah protein menjadi pepton!

Jawaban : baygon

Aku yakin Ali bisa menjawab dua pertanyaan ulangan tersebut, karena malam sebelumnya semua anak murid kelas 5 belajar bersama di rumahku, dan dua pertanyaan ini sudah mereka hafal mati.

Penasaran dengan hal tersebut, aku menanyakan secara lisan kepadanya.

Aku      : Ali, coba kau sebutkan urutan proses pencernaan manusia.

Ali        : Dari mulut ke kerongkongan, terus masuk ke lambung, usus halus, dan usus besar.

Aku      : Mengapa kau tara jawab begitu di ulangan tadi??? *dengan nada gemas*

Lalu, kalau enzim dalam lambung yang mengubah protein menjadi pepton, dia pu nama enzim apa?

Ali        : Enzim pepsin

Aku      : *menganga*

Kemampuan akademis Ali memang selalu di bawah teman-temannya yang lain. Meski semua guru sudah menyerah dan memberikan label ‘bodoh’ kepadanya, aku tidak sependapat. Karena dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku secara lisan. Dia bisa menghafal perkalian, dia bisa menghafal 3 enzim di usus halus, dia bisa menulis surat untuk sahabat pena, dan dia BUKAN ANAK BODOH.

 

Mudasir Rimosan

-minggu pertama tahun ajaran baru, pelajaran Bahasa Indonesia-

Aku meminta kembar enam, murid-muridku untuk membaca cerita ‘Asal-Usul Danau Toba’ di buku paket Bahasa Indonesia. Setelahnya, mereka harus menjawab 5 pertanyaan dariku sebagai latihan.

Aku : Mudasir, sekarang kau pu giliran. Coba baca soal no.4

Mudasir : -membaca soal no.4-

Aku : Oke. Sekarang, baca kau pu jawaban apa?

Mudasir : -hanya nyengir-

Aku : ayo, mari baca kau pu jawaban. *mencoba merayu*

Mudasir : -masih nyengir-

Aku : eeehh.. kok diam? Yang kau tulis itu saja kau baca, tidak perlu takut salah. Mari, baca. *masih mencoba merayu*

Mudasir : -menenggelamkan mukanya dalam tangannya yang terlipat di atas meja-

Lima menit berlalu tanpa ada perubahan keadaan. Tak lama, aku mendengar suara isakannya. Aku panik dan bertanya padanya, apakah aku berbuat kesalahan? Atau ada yang salah dengan kata-kataku? Dia tak menjawab sepatah katapun. Menggeleng saja tidak. Untung bel sekolah segera berbunyi, sehingga aku bisa menyuruh teman-temannya untuk membawa Mudasir pulang.

Hari-hari setelahnya berlalu begitu saja dengan Mudasir yang riang gembira. Nampaknya ia sama sekali tak terlalu serius dengan kejadian siang itu.

Hingga suatu hari, 22 September, pelajaran Bahasa Indonesia

Setelah menjelaskan dan memberi contoh tentang pengumuman, aku meminta semua anak murid mencoba membuat pengumuman. Lagi-lagi, Mudasir mengucapkan kata “PAMALAS” sebagai ungkapan ketidaksukaan atas tugas yang kuberikan.

Tak lama setelahnya, ia sibuk berjalan mondar-mandir untuk mencoba mencontek pekerjaan temannya. Aku pun mengambil inisiatif untuk mendekati dia dan bermaksud membimbingnya dengan tugas yang kuberi. Tak dinyana, ia malah keluar dari kelas dan tidak mau masuk lagi. Ia tidak pernah seperti itu. Di mata pelajaran lain, Mudasir malah selalu datang dan memintaku untuk menjelaskan ulang padanya.

Aku pun sampai di konklusi sementara : Mudasir tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia.

 

Rofika Febriyani Rimosan

Aku punya dua murid mungil di kelas, Febri salah satunya. Saat berbaris menyanyi dengan teman-teman sekelas, Febri selalu berdiri di tengah karena faktor tinggi badan. :)

Tapi itu tidak membuatnya minder, ia malah suka berdiri di tengah dan mendapat ‘lebih banyak’ perhatian ketimbang teman-temannya yang lain.

Hafalan IPA dan Sejarah, adalah dua mata pelajaran yang ia suka. Tak heran bila lantas ia mendapat nilai tertinggi di beberapa ulangan terakhir. Ia mampu mengalahkan anak yang selalu menjadi juara kelas selama dua tahun terakhir. 

Bertolak belakang dengan Mudasir, Febri sangat suka pelajaran Bahasa Indonesia. Ia selalu bersemangat bila aku memberi tugas ‘curhat pagi lewat tulisan’ di awal hari sebelum memulai pelajaran.

Nona manis ini juga seorang yang selalu suka mencoba hal baru. Salah satunya, menjadi konduktor paduan suara saat upacara 17 Agustus di sekolah. Dengan tangan yang masih belum terbiasa dengan gerakan konduktor, ia terus dan terus mencoba.

 

Fitriyani Rimosan

Ini dia si mungil yang lain. Tinggi badannya tak beda jauh dengan Febri. Soal prestasi, tak perlu diragukan lagi. Predikat sebagai juara 1 atau 2 selalu mampu ia dapatkan.

Nampaknya, ‘blasteran’ Jawa-Arguni ini paling suka pelajaran IPA. Menyusun puzzle organ pernapasan manusia, atau menyusun menu makanan bergizi di ‘piring sehat’ menjadi kegiatan yang sangat mengasyikkan untukknya.

Fitri juga termasuk siswi aktif di luar ruangan. Bermain kasti atau sepak bola, kegiatan pramuka, selalu ia lakoni dengan rajin.

Ya, Fitri memang seorang siswi yang rajin. Ia memiliki sedikit ketidaksempurnaan di ibu jari tangan kanannya. Tapi itu sama sekali tidak membuat gadis kidal ini menjadi rendah diri. Ia mampu membuktikannya lewat prestasi.

 

Bidasari Paus Paus

Putri kedua dari empat bersaudara ini juga termasuk salah satu siswi berprestasi di kelas. Semua pelajaran dilahap dengan cepat, sama sekali tak ada masalah untukknya. Matematika, IPA, IPS, atau Bahasa Indonesia, semua ia taklukkan dengan cepat. Beberapa kali Sari selalu mendapat nilai tertinggi di kelas.

Dominan dan aktif, adalah sifat yang paling menonjol dari putri ‘blasteran’ Arguni-Indramayu ini. Ia akan selalu menuntut apa yang menjadi haknya, seperti tanda bintang bila mendapat nilai bagus dalam ulangan, atau saat aku salah mengoreksi jawaban dari soal latihan yang kuberikan.

Sari juga suka menulis. Aku mengirimkan tulisannya tentang pengalaman berbuat tidak jujur dalam Konferensi Anak yang diselenggarakan oleh majalah Bobo. Semoga ia mampu menjadi salah satu siswi yang mewakili Papua. :)

 

Nur Azizah Paus Paus

Sintia, begitu orang biasa memanggil adik angkatku ini. Dia orang yang cerdas. Beberapa kali ia juga meraih nilai tertinggi di kelas. Untuk pelajaran matematika, kecepatan Sintia untuk menangkap pelajaran dan mengerjakan soal-soal tak diragukan lagi.

Dalam kelas, Sintia termasuk siswi yang tidak banyak bicara, tapi ia mengerjakan semua tugas yang guru berikan padanya. Tanpa banyak protes atau mengeluhkan tugas tersebut.

Sikap Sintia kepada orang tuanya, adalah satu hal yang menjadi tugas ‘ekstra’ bagiku sebagai kakaknya. Cukup sering ia melawan mama dengan kata-kata, hingga tindakan..

Kemampuan akademis Sintia memang belum didukung dengan attitude nya kepada orang tua. Ekstra ‘pudding’ untuknya selama setahun ke depan. :)

 

Kembar enam ini adalah hartaku paling berharga di Arguni. Di kampung, tak ada yang lebih kusayangi dari mereka. Mencerdaskan mereka, dan menanamkan ‘sesuatu’ untuk bekal di hari depan, adalah target nyataku untuk delapan bulan yang tersisa ini.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua