Tujuh Belasan: Masih Terus Melintas dalam Ingatan

Jairi Irawan 4 Oktober 2011

 

Mungkin saat inilah aku menemukan arti sesungguhnya dari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Resepsi yang mengharu biru dan mirip dengan masa-masa gerilnya jaman dulu kambali melintas di depanku. Sebuah resepsi yang dahulu tak pernah ku temukan karena formalitas,  menjadi ada. Setidaknya hari ini.

Bisa dikata bahwa Desa Bungan Jaya selama dua dekade tak pernah merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia sendiri. Selama itu pula Desa Bungan Jaya hanya menjadi partisipan dari peringatan kemerdekaan RI di desa-desa tetangga.

Kecil, sangat sederhana. Tetapi di situ terdapat kebahagiaan yang purna.

Sungguh di desa kami tak sedikitpun ada yang menyebut ‘merdeka’ secara bersahutan. Tapi kata tersebut langsung terhunjam di dada kami bahwa kami benar-benar merdeka dari siapapun dan apapun. Setidaknya tanggal tujuh belas ini. Jika kami membandingkan acara di televisi ataupun di desa lain. Acara kami adalah acara yang tersederhana yang pernah ada di negeri ini. Tak ada bendera beterbaran, tak ada sirine, tak ada gerak jalan, tak ada karnaval. Satu-satunya yang berkibar adalah bendera merah putih milik sekolah kami yang kami kibarkan tadi pagi.

Tapi kami tidak putus asa. Kami juga ingin merayakan kemerdekaan ini seperti yang kami lihat di televisi beberapa hari ini. Ibu-ibu PKK yang kemarin membicarakan lomba di hari kemenangan ini mulai menyiapkan peralatannya. Botol, kelerang, tali rafia, paku, sendok dan lainnya telah siap sedia.  

Hitungan satu, dua, tiga dan mulai. Anak-anak mulai berteriak saling memberi semangat kepada teman-teman mereka. Area persaingan untuk dapat menjadi juara berubah jadi tawaan dan “cercaan” sesama mereka. Sedangkan para bapak yang kebetulan pulang dari mencari emas cukuplan sebagai supporter bagi anak-anaknya yang berjuang memperebutkan “kemenangan” mereka. Mereka tertawa dan senyum-senyum melihat tingkah polah anaknya yang bertanding. Dengang senyum itu sudah cukup memberikan bukti bahwa kemerdekaan ini memang milik mereka.

Aku kira peringatan ini sudah selesai sampai di sini. Hari sudah gelap ketika final terakhir bagian putri. Terpaksa permainan lainnya yang belum sempat kami laksanakan ditunda sampai waktu yang tidak terkira. Di luar dugaanku ternyata ibu-ibu telah menyiapkan dua panci berukuran besar untuk membuat bubur kacang hijau. Untuk memeriahkan suasana kami membuat bubur ini di out door agar perayaan semakin lengkap.

Ibu-ibu hilir mudik dengan cekatan menyiapkan semuanya dengan rapi. Api itu mulai menyentuh dasar panci. Dan “pesta” pun segera dimulai.

Sewaktu bubur kacang hijau mulai matang hujan tiba-tiba menyerbu kami. Seperti tentara Belanda yang menyergap kantong-kantong gerilyawan. Tanpa sedikitpun hujan memberi ampun pada kami. Hujan kali ini begitu derasnya. Api pembakaran mulai mengecil. Kami, dengan “pasukan” seadanya segera menghalau serangan ini. Kami tidak ingin pesta yang kami laksanakan pertama ini akan rusak. Beberapa kakek membantu kami memasang plastik terpal untuk tenda di atas pembakaran.

Bisa dibayangkan asap yang ditimbulkan oleh pembakaran masuk ke sudut-sudut mata kami sedangkan air terus saja menghantam tenda kami. Kami mendapatkan dua serangan sekaligus dari dalam dan luar. Hampir lima belas menit kami “bertempur” menyelamatkan kobaran dan semangat yang hampir padam ini. Syukur serangan hujan mulai mengendur dan pelan-pelan mulai menjauhi kami. Tapi, sisa-sisa serangan tetaplah ada. Pasukan kali ini di serang kedinginan yang sangat. Kami berharap cepat-cepat bubur itu masak dan menghangatkan badan kami.

Anak-anak yang dari tadi membawa peralatan makan sudah tidak sabar menunggu hidangan ini. Tapi biarlah  mereka menikmati “kesengsaraan” ini sebentar. Biar mereka juga merasakan betapa laparnya para pahlawan tempo dulu mempertahankan jengkal tanahnya dari musuh.

Yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Bubur kacang hijau berbalut susu sungguh menggoda perut kami. Anak-anak semakin tidak sabar dan mulai memukul piring mereka. Tapi kesabaran mereka harus kami uji lagi karena mereka harus menunggu pemberian hadiah bagi pemenang lomba tadi sore.

Sungguh kawan hadiah yang kami berikan bisa membuat kalian tertawa sekaligus menitikkan air mata. Yang kami berikan adalah tiga buah mi goreng, satu buku, tiga permen kis, dan tiga keping roti dengan dibungkus kresek hitam.Seharusnya kresek ini bisa memuat sepuluh mie instan, selusin buku, dan satu bungkus permen kis bagi para juara. Nyatanya barang hadiah tersebut begitu kecil berada di dasar kresek hitam. Bisa dibayangkan dengan juara dua dan tiga.

Inilah wujud kami mencoba untuk memperingati kemerdekaan yang sudah lama dicetuskan. Tapi, kebahagiaan kami lebih dari yang kami harapkan.

Setelah prosesi ini selesai anak-anak menyerahkan piring mereka untuk mendapatkan bubur hangat yang sudah menggoda perut kami. Sepertinya ini adalah makanan terenak yang pernah aku rasakan. Saat malam dan hawa dingin mulai merayap sendok demi sendok bubur melewati kerongkongan ini menuju lambung. Di ususpun sepertinya aku masih merasakannya. Dingin yang kami rasakan seolah-olah larut bersama lajunya bubur ini.

Kami berpisah membawa kebahagiaan dalam kepala, punggung, dada, kaki, dan tangan kami. Mungkin beberapa hari kedepan depan topik pembicaraan kami adalah seputar hari ini. Kami berjanji besok akan bertemu lagi di sekolah membawa “kemerdekaan” yang kami peroleh hari ini.   

Malam ini aku ingin meneruskan momen ini dalam mimpi-mimpiku. Aku sungguh bahagia tak terkira. Aku ternyata (juga) merdeka.  Merdeka!!!


Cerita Lainnya

Lihat Semua