Anak yang Berayah Hujan dan Ber-ibukan Sungai

Jairi Irawan 4 Oktober 2011

Aku menjadi orang yang tak tau diri jika hanya mengikuti keinginan pribadi membawa anak-anak kampungku untuk berakrab ria dengan pena dan buku. Padahal mereka telah menjadi anak dari hujan dan sungai. Sementara pena dan buku ibarat saudara tiri yang belum diketahui apakah kelak benar menjadi menjadi saudara ataukah malah menjadi bencana.

Sore itu mata mereka berbinar tatkala hujan mulai turun bersapaan begitu ramai dengan atap seng sekolah kami. Seolah-olah mereka mendapatkan hadiah istimewa yang dirindukan di hari Natal dari seorang paman Santa Clause berbaju merah dan berkendara rusa berhidung merah yang kebetulan melintas di atas hutan Kalimantan, di atas sekolah kami. Hujan semakin deras dan gelagak petir juga tidak kalah hebatnya seolah-olah mengiyakan binar mata anak-anak yang pikirannya sedang melayang-layang melihat hujan di halaman sekolah kami.

Pikiran dan perasaanku beberapa saat terbang melintasi waktu ke beberapa tahun silam ketika aku sebaya mereka. Hujan selalu aku tunggu karena ia tak pernah menuntut aku untuk membuka buku mengguritkankan pena dan memikirkan rumus matematika yang saban hari aku rasai semakin tak mau berkompromi dengan otakku. Hujan membuat beban kekanakanku di masa itu luruh mengikuti aliran air lewat lekukan tubuh dari ujung rambut hingga kuku kakiku.

Aku dengan ringan melangkahkan kaki untuk segera pergi ke sawah untuk menangkap burung yang kebetulan mereka sedang terlambat pulang atau lagi sial terhadang hujan sehingga mereka jatuh terkapar karena kedinginan. Jikapun tidak pergi berburu burung segera aku ambil bola lalu berlarian memanggil teman untuk bermain bola di lapangan dekat rumah kami. Tanah lapang yang terpaksa jadi lapangan karena habis dikeruk habis oleh alat berat yang tak berperasaan.

Tubuh kami bercampur dengan lumpur dan kami hampir tidak mengenali satu sama lain karena yang terlihat dari kami hanyalah sepasang mata di kepaa kami. Anggota tubuh lainnya telah berubah menjadi berbagai bentuk sesuai tubuh pahlawan yang kami suka. Aku menjadi Ksatria Baja Hitam. Itulah kemerdekaan kami, mimpi-mimpi kami, diri kami yang sesungguhnya tanpa ada yang memaki kecuali ibu-ibu kami yang suka khawatir akan derasnya hujan.

Setelah usai menikmati kebebasanku aku akan kembali menjadi “anak baru” yang siap berhadapan dengan persoalan buku, pena, dan rumus. Walaupun tubuh terasa panas dingin dan ibu terus mengomel akibat “pemberontakanku”, aku masih bisa terus tersenyum melihat hujan yang pelan-pelan menjauh dan hilang sambil melambaikan tangannya padaku.

Aku tersentak, terkaget terlempar kembali ke masa kini ketika mereka meneriakkan, “ayo main bola, pak guru!”.

Kontan saja sebelum romantisme ini benar-benar hilang aku menuju lapangan depan sekolah turut mereka menyapa hujan kerap turun di sore hari.

Murid laki dan perempuan berbaur jadi satu untuk bermain bola. Menendang, saling bertabrak, terjengkang mengikuti arah bola. Seolah bola itu adalah nasib mereka yang perlu mereka mainkan dan menangkan. Mungkin seperti itulah itulah sebenarnya nasib dan masa depan kita semua.

Aku biarkan mereka merayakan masa kekanakannya. Tak sedikitpun keinginanku menyekat perbedaan fisik mereka. Aku biarkan mereka menemukan jati diri dan ke-siapaannya. Aku ingin mereka merayakan kebersamaan untuk menjadi manusia yang sama, utuh dalam bertindak, bermain dan bersaing. Aku ingin mereka merasa satu tanpa perbedaan ketika sama-sama menyulam cita-cita dan merajut masa kekanakan dalam lembaran kertas putih hati dan pikiran mereka.

Aku yang sempat terpaku melihat keceriaan mereka tak sanggup bila harus terus menerus menjadi pengamat kebahagiaan saja. Akupun ingin menyapa masa laluku, masa kanakku. Aku ingin juga mengurai lembar-lembar kenanganku yang mulai terlipat dan tertinggal di belakang. Aku ingin juga membiarkan setitik jiwa kanak ini berbaur dengan hembusan nafas, aroma, dan teriakan keras mereka. Aku ingin mereka melihatku tidak hanya menjadi “pak guru” untuk saat ini tapi menjadi teman mereka yang dapat mereka umpat, jahili, dan tertawai.

Hujan terus-menerus mengguyur tubuh kami.

Teriakan demi teriakan mereka bercampur jadi satu bersama gelegak petir dan desah angin pedalaman Kalimantan. Peluh, rasa dingin, rasa takut, penasaran, jijik, kotor telah tercerabut dari akar dan perasaan mereka. Mereka menjadi lebih berani, lebih agresif, lebih lepas seperti sifat dasar kanak mereka.

Aku melihat diri kecilku turut bersuka cita dengan mereka.

Sikap dan sifat seperti inilah yang kelak ada pada dada mereka. Nanti, jika mereka telah akrab dengan buku dan pena aku berharap hati dan perasaan mereka selepas ketika menikmati hujan dan petir tanpa ada paksaan dari siapapun, termasuk diriku. Mereka dapat merayakan kebebasan dalam menggerakkan mata pena dan menyelami makna kalimat-kalimat yang mereka sapa dari buku-buku diktat maupun cerita.

Aku tahu pelan dan “kejam” besok atau lusa mereka akan meninggalkanku, meninggalkan bangku mereka untuk ikut orang tua yang sesungguhnya, ayah ibu mereka. Kembali bergulat dengan dinginnya sungai Kapuas demi secuil bijih emas dan “kemerdekaan” mereka.  Aku hanya menghitung detik dan menit menunggu kedatangan mereka, surat mereka ataupun orang tuanya yang meminta ijin akan mengajak bersamanya.

Benar saja. Setelah seminggu berlalu aku menulis esai ini satu persatu mereka menulis surat padaku untuk ikut menyelam mencari emas di Hulu Kapuas. Bahkan aku sempat menangkap sorot  mata yang berat ketika ayah mereka meminta izin untuk dirinya (sesuatu yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Sekolah dan tidak sekolah mereka anggap sama, pergi atau tinggal tak ada konfirmasi kepada guru). Tapi, mau tak mau anaknya harus mengikuti mereka karena tidak ada orang lain lagi yang dapat mengurus anaknya.

Sebenarnya dalam hati kecilku tidak mengijinkan mereka pergi meninggalkan bangku ini tapi apalah dayaku sebagai guru baru dan masih sangat baru mengisi hati dan perasaan mereka, masih separagraf dalam tabula rasanya. Aku masih belum sekuat arus sungai Kapuas dan kemilau emasnya yang bisa membuat mereka terus bertahan mengeja hari untuk merangkai masa depan dengan bangku sekolah.

Walaupun demikian aku, bangku, dan sekolah ini terus ingin membangun kapal bersama mereka untuk dapat berlayar mengarungi luasnya dan ganasnya kehidupan. Aku ingin seperti hujan dan desau angin hutan Kalimantan yang akrab di dada mereka. Aku ingin menjadi sungai Kapuas yang deras yang terus membelai rambut dan kepala mereka. Aku ingin menjadi kilaunya emas yang mampu menjadi titian masa depan mereka. Aku ingin mereka menyapa buku dan pena semesra mereka menyapa dinginnya angin di kala hujan dan petir kala hujan sore itu.

Walaupun begitu aku masih tetap berdiri di pintu gerbang sekolah menunggu kedatangan mereka. Sebagian murid di belakangku pun sama.


Cerita Lainnya

Lihat Semua