Bidadari Kecil yang Suka Berkedip itu Bernama Enjel

Jairi Irawan 4 Oktober 2011

Sekarang, saat ini, perkara yang mahal dan sangat berharga bagi kawan sepenempatan adalah sinyal HP. Demi menangkap mahluk satu itu diperlukan usaha yang sungguh maksimal. Jikapun ada yang jual sinyal eceran walaupun berharga mahal, menilik bensin yang juga dijual eceran yang lebih mahal dari SPBU, mungkin saja banyak dari kita yang menimbun untuk persediaan satu atau dua bulan.

Betapa tidak, untuk mendapatkannya pun ada yang bersusah payah naik hingga hingga puncak bukit, bergantungan di pohon, berdiri di bibir sungai – sungguh romantis aku membayangkannya, bicara keras di depan rumah laiknya orang mabuk yang kehabisan air surga – lha memang cuma di situ saja spot sinyalnya, di samping kuburan – barangkali orang mati juga butuh sinyal untuk berkomunikasi – membayangkan salah satu teman di Bawean, bahkan ada kawan yang butuh waktu sebulan untuk dapat mengatakan ‘hallo’ terhadapan orang dekatnya.

Sebelum aku bicara panjang lebar tentang sinyal, oh iya, sampai lupa memperkenalkan salah satu muridku. Namanya Enjel bukan Angel. Dia murid kelas duaku. Sebetulnya aku tidak menjadi guru kelas dua tetapi interaksiku terbangun sewaktu ia ikut les sore. Hampir tiap sore walaupun bukan kelasnya les dia tetap datang ke tempatku untuk sekadar menyapa ‘pak guru’ ataupun melihat gambar-gambar dalam buku yang aku bawa.

Caranya membaca masih mengeja satu persatu hurufnya tapi cepat. Dibanding dengan teman-teman kelasnya ia lebih lancar dan tekun dalam belajar membaca.

Kenapa ia suka berkedip? Itupun aku belum tahu penyebabnya. Malahan dengan seringnya  berkedip ia semakin lucu dan menggemaskan. Apalagi sewaktu ia membaca lalu menemukan kata-kata yang sulit kedipan matanya semakin cepat secepat dan sekeras otaknya mencari makna katanya.

Sewaktu aku ngobrol malam itu dengan bapaknya – kebetulan gerimis mulai turun – baru aku tahu bahwa ia benar-benar membaca buku yang ia pinjam dariku bukan sekadar melihat gambarnya. Saking senangnya membaca sampai-sampai ia berkali-kali di ingatkan oleh ibunya untuk makan malam.

Enjel bukanlah satu-satunya anak yang haus akan ilmu pengetahuan. Masih banyak Enjel lain yang haus akan hal baru, pengetahuan baru, dan juga ‘guru’ baru di seluruh pelosok negeri ini yang bisa dan tulus membawanya berkelana dalam pikiran maupun pengalamannya sehingga ia benar-benar memahami apa yang ia lakukan, pikirkan demi masa depan diri dan masyarakatnya. Aku yakin anak seusianya jika dibimbing dengan ketulusan yang utuh maka ia akan benar-benar mengerti bahwa hidup ini tidak sekadar untuk dirinya sendiri.

Anak seperti Enjel tidak butuh apapun dari kita yang menganggap “pintar” dan pandai. Orang tuanya lebih mampu memenuhi apa yang mereka inginkan. Jika sekadar meminta materi yang harganya sampai jutaan bisa saja dapat dipenuhi dalam jangka waktu tidak lama karena hutan Kalimantan dan Sungai Kapuasnya menyediakan cadangan harta yang melimpah ruah. Satu yang mereka butuhkan adalah “sinyal” tentang masa depannya.

Sinyal? Ya, mereka butuh untuk menyambungkan segala “kelimpahan” yang mereka miliki dengan “kehidupan” di masa mendatang. Sinyal itu suatu saat akan memberikan efek yang akan luar biasa dalam kehidupan dan alam mereka di masa-masa mendatang.  Saat ini saja masyarakat di desa Enjel mulai banyak “orang asing” yang ikut nimbrung menikmati kekayaan alamnya. Akibatnya pencarian emas sudah mulai menggunakan alat berat dan harus menuju ke hulu sungai yang jara perjalanannya membutuhkan waktu sehari penuh. Apalagi untuk mendapatkan kayu Gaharu yang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk menaklukkan hutannya.

Karena semakin sulitnya pencarian emas sebagian warga rela menunda, jikalau tidak bisa dikatakan mematahkan masa depan anaknya untuk membantu di sungai. Anak-anak pun lebih giat jika di pegangi alat pencari emas daripada pena dan buku. Tetapi, aku tetap memiliki keyakinan penuh bahwa sebenarnya mereka, para orang tua, memeras air mata dengan sangat ketika melakukannya. Kemudia air mata itu bercampur dengan keringat dan derasnya aliran air sungai Kapuas hingga membawanya terus mengalir. Seolah-olah mereka tegar melakukannya. Mimpi dan cita-cita mereka terbawa arus yang entah di mana akan berterima.   

Namun, jika aku melihat Enjel dengan semangatnya yang yang terpancar dalam kedipan matanya, manis senyumnya, komat-kamit mulutnya mengikuti larik-larik aliran kata dan makna dalam buku bacaannya aku semakin yakin bahwa kelak ia akan mampu berdiri dengan kaki dan pikirannya sendiri. Ia akan menjadi perawat bagi orang tua dan masyarakatnya yang kebetulan cita-citanya adalah menjadi seorang perawat. Cita-cita yang sederhana tapi berguna (terakhir aku tanya lagi ia bercita-cita menjadi Polisi Hutan).

Setidaknya, sinyal itu mulai tertangkap dalam memori terdalam Enjel. Ia terus dan akan terus mencari bacaan baru, pengembaraan baru guna memenuhi hasrat membacanya seperti kita yang terus menerus mencari sinyal HP untuk menghubungi orang-orang yang kita cinta.


Cerita Lainnya

Lihat Semua