info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Puisi Ala Denias

Arif Lukman Hakim 28 Oktober 2011

Mendung masih menggantung di pertengahan September. Seperti biasa aku melangkahkan kaki pagi ini menuju kantor istimewaku, SDN Tarak. Jadwal hari ini adalah pelajaran Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia, untuk kelas 4, 5, dan 6 di 1 ruang kelas yang kuajar.

Ceria dan tetap bergembira, itulah wajah anak-anak dari pulau ini ketika memandangku. Kehangatan wajah mereka inilah yang membuatku optimis untuk meningkatkan kemampuan mereka. “PR-nya sudah selesai? Ayo kumpulkan.” Aku membuka suara di depan mereka. Kebiasaan baru bagi mereka sejak kedatanganku di sekolah adalah mengumpulkan PR apapun saat pelajaran pertama.

Pelajaran pertama adalah matematika, sengaja kutempatkan di awal karena udara segar pagi hari pasti akan berpengaruh di otak jendral-jendral kecilku ini. Permasalahan kelipatan dan faktor bilangan kujelaskan sebelum membahas KPK dan FPB, masih dengan metode ceramah. Aku putuskan mengajar untuk ketiga kelas ini dengan materi yang sama, karena kemampuan kelas 5 dan kelas 6 tentang KPK dan FPB masih sangat minim, padahal materi ini dimulai di kelas 4.

Selesai dengan matematika, mereka langsung berhambur untuk istirahat.  Selesai istirahat, kembali aku menyentuh buku IPA untuk menjelaskan materi tentang dunia tumbuhan dan hewan. Kali ini kelas 4 membahas tentang struktur bagian tumbuhan, beberapa anak sangat terlihat kesusahan membaca dan menulis. Lalu kelas 5 sudah mendalami tentang proses fotosintesis—biasanya beberapa anak menuliskannya “foto sintesi”— dan pentingnya tumbuhan dalam kehidupan. Lalu kelas 6 sudah mengerjakan soal tentang penyesuaian diri makhluk hidup terhadap lingkungannya.

Kembali aku membuka percakapan dengan mereka, “Kalian sering pergi ke hutan to? Di sana ada tumbuhan apa saja?”. “Pala, pisang, kasbi (ubi), kenari, keladi”, beberapa anak berlomba menjawab. “Selain tumbuhan-tumbuhan tadi ada apa lagi? Ada kelapa? Ada pohon-pohon besar? Ada rumput?”, aku mencoba memancing mereka.

“Adaaaaaaa”, hampir semua anak berteriak. “Nah, kalian perhatikan, apa saja bagian tumbuhan itu? Ada akar?”, aku mulai menjurus ke materi yang ingin disampaikan. “Adaaa”, mereka kembali menyahut. “Selain akar, apa lagi?”, kali ini mereka sudah antusias. “Ada batang, ada daun, ada buah, ada burung maleo!”, seruan beberapa anak menggema di kantor istimewaku. Aku tak bisa menahan senyum, “Ya sudah, nanti pulang sekolah kalian ajak pak guru ke hutan bersama-sama!” akhirnya kuputuskan untuk berpetualang lagi bersama mereka.

Setelah hiruk pikuk dunia tumbuhan, hewan, dan hutan berjalan, tibalah aku membuka materi Bahasa Indonesia. “Kali ini Pak guru ingin ajarkan kalian membaca dan membuat puisi. Mau?”. Krik kriiik kriiik.... Tiada suara sahutan anak-anak. “Ummm... Puisi itu salah satu karya sastra untuk mengungkapkan perasaan. Biasanya terbagi menjadi beberapa baris atau larik. Kemudian baris-baris itu disusun menjadi beberapa bait. Itulah pengertian puisi secara sederhana”, aku mulai menulis di papan tulis. “Begini, Pak guru coba bacakan sebuah puisi. Nanti gantian kalian yang membaca”, lalu aku mulai mendeklamasikan sebuah puisi berjudul Indonesiaku.

“Nah, untuk mempermudah kalian membuat puisi, pak guru mau putarkan sebuah film. Nanti kalian lihat, film itu akan berhubungan dengan puisi yang akan kalian buat”.

“Pak guru ingin kalian membuat puisi bertema tentang “PAPUA”! Maka, film yang akan pak guru putar adalah.... Denias!!!” Dan riuh riang suara mereka mulai mengisi kelasku.

Tanpa dikomando, anak-anakku ini mulai merangsek maju dan memindahkan kursi ke angle masing-masing.

 

  •  

     

     

     

  • formasi saat nonton film di kelas.
  •  

     

    Mereka mulai tersenyum-senyum melihat laptop mungilku menayangkan Denias yang sedang berburu Kuskus. “Di pulau ini ada Kuskus?”, aku kembali berinteraksi dengan mereka. “Ada pak guru!” seru anak-anak. “Tadi malam ada berburu dapat 1 ekor pak guru”, kata Rahim, jendral kelas 5.  “Waw, baik, nanti ajak pak guru juga untuk melihat Kuskus ya?”.

     

     

     

  •  

     

     

     

  • Saharudin dan Sahid antusias melihat aksi Denias
  •  

     

     

     

    Denias telah habis. Aku kembali menarik pikiran mereka agar tetap terkait dengan pelajaran. “Kalian perhatikan kisah Denias tadi, hampir sama to dengan kalian? Denias anak Papua, kalian juga hidup di mana?”

    “Di Papua!”

    “Di film tadi Denias berburu Kuskus. Di pulau ini ada Kuskus?”

    “Adaaa!”

    “Denias tadi suka jalan ke hutan. Kalian juga suka?”

    “Sukaaa!”

    “Tapi lihat, Denias punya sekolah telah roboh, karena terbuat dari papan. Sekolah kalian lebih bagus dari Denias! Walaupun hanya 2 ruangan tapi kita harus bersyukur karena ini lebih baik dari sekolah Denias. Denias masih hidup di honai, tetapi kalian sudah hidup di rumah yang lebih baik. Denias harus jauh berjalan ke sekolah, tetapi kalian tinggal berjalan ke ujung kampung untuk pergi ke sekolah. Denias hidup di hutan, tetapi kalian hidup di pulau. Ingat, kalian sama seperti Denias, sama-sama anak Papua, tetapi kalian harus lebih semangat dari Denias, kalian harus punya mimpi lebih tinggi. Dan ingat, untuk PR, kalian harus buat puisi!”

    14 September 11. Di bumi yang terinspirasi Denias, SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.

    Foto-foto ceria mereka ada di sini.


    Cerita Lainnya

    Lihat Semua