Papua (Ingin) Merdeka, Benarkah ?

Maria Jeanindya Wahyudi 25 Februari 2012

 

Minggu lalu, aku sedang asyik menikmati senja kota Fakfak dari dalam taxi (baca : angkot) . Lamunanku buyar saat mendengar lagu yang si supir putar kencang2 dalam taxi.

Lagu bernada rap itu kata2nya kurang lebih begini :

"B**i Indonesia! B******g Indonesia!

Ini Tanah Papua, bukan Indonesia!

Ini bintang kejora, bukan Merah Putih!"

dan masih banyak lagi kata-kata makian di dalamnya...

Taxi penuh penumpang itu hening seketika. Lamunanku pun berganti. Pada satu tulisan yang sempat kubuat bulan Agustus tahun lalu. Saat Merah Putih dengan gagahnya melambai-lambai dalam genggaman putra-putri Arguni..

 

 

-17 Agustus 2011-

Kapan terakhir kali kau merasakan panas matahari begitu menyengat saat Pembina Upacara membacakan amanatnya yang berlembar-lembar? Kapan terakhir kali kau merasakan berpeluh-peluh keringat menetes di dahi yang kepanasan karena tertutup oleh topi? Kapan kau merasakan bosan dan kaki kesemutan saat teman membacakan Preambule UUD 1945 yang cukup panjang itu?

Aku merindukan upacara bendera dengan mengenakan seragam sekolah, dasi dan topi... Dan tahun ini, rasa rindu itu terpuaskan..

 

Aku tidak terlalu ingat apa yang kulakukan pada perayaan Kemerdekaan RI ke-65 tahun lalu. Mungkin, aku sedang berlari dari satu kopaja ke kopaja lain untuk mengejar berita, seperti hari-hari sebelumnya.

Tapi tidak tahun ini. Peringatan Kemerdekaan RI ke – 66 berlangsung meriah di Arguni, (yang orang bilang) kampung pedalaman di Papua.

 

Upacara bendera di SD Negri Arguni (mustinya) dimulai pada pukul 07.30. Namun, walau sehari sebelumnya seluruh guru sudah mengumumkan agar anak murid tidak terlambat, saya dan Ibu Yani tetap harus menunggu mereka sampak pukul 07.50.

“Mungkin mereka pikir hari ini libur, Ibu. Karena tidak ada bendera,” kata seorang anak murid, mencoba memberi penjelasan padaku.

“Ah, tapi ibu su toki bel. Kemarin juga ibu su bilang toh kalau hari ini ada upacara,” jawabku.

Aku tidak patah semangat dan terus menunggu hingga arloji menunjukkan pukul 08.00. Dan upacara pun dimulai, meski tidak 100% anak murid, terutama kelas 1 hadir pada hari itu.

Sejujurnya, para petugas upacara hari ini agak sedikit ‘lebih kacau’ dari upacara yang dulu pernah mereka lakukan. Febri, sang dirigen dan barisan koor terlambat hampir 1 menit menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk mengiringi penaikan bendera.

“Nyanyi sudah,” kata Ibu Yani, yang menjadi pembina upacara dengan sedikit gemas ke arah barisna koor.

Belum lagi Asrafil dan Sabri, para pemimpin regu yang berjalan bak robot (kaki kanan maju bersamaan dengan tangan kanan, dan sebaliknya) saat melapor ke Pemimpin Upacara. Berbagai kejadian itu memang cukup menggelitik. Tapi unungnya, upacara masih bisa berjalan dengan khidmat dan tertib.

 

“Tanpa penghormatan, balik kanan bubar, jalan!” kata para pemimpin regu kepada barisannya masing-masing saat upacara telah selesai.

 

And now.... It’s show time!!

“Anak murid segera ambil peralatan masing-masing!” perintahku sembari membagikan bendera Merah-Putih kecil kepada anak murid kelas 1 dan 2.

Dengan sigap murid laki-laki mengambil peralatan ‘drum band’ berupa ember kosong yang sudah diberi tali untuk diikat ke leher, lengkap dengan dua stik terbuat dari kayu. Sementara putri-putri kecil Arguni, sudah mengikatkan sebuah botol sirup di leher, dan menenteng sebuah sendok besi. Ya, itu peralatan ‘musik’ mereka. Cukup sederhana, murah, dan mudah didapat tentunya.

 

Aku menjadi mayoret dalam pawai hari itu. Satu posisi yang pernah cukup kuimpikan saat duduk di bangku SMP. Dan baru hari ini aku bisa mewujudkannya.

 

“Semua siap? Coba Vahdal dan Mudasir, mainkan!” kataku memberi aba-aba.

Mereka pun membuat suara “tek terektek terektek tek tek” dari drum kecil miliknya.

Sabri dan Mudasir menyusul kemudian hanya dengan satu ketukan di ember.

“Bagus! Selanjutnya,, anak kelas 3 dan 4 siap? Mulai!” teriakku.

Tujuh orang murid laki-laki dengan semangat memukul pantat ember yang mereka bawa, bak rebana. “Semua ketukan sudah berirama. Bagus,” kataku dalam hati.

Beberapa saat kemudian, semua murid perempuan yang membawa botol mulai membuat suara denting lewat aduan botol dengan sendok besinya.

 

“Oke! Satu, dua tiga!”

Lagu “Indonesia Tetap Merdeka” membahana di antara dentuman ember dan denting botol kaca. Saya, Pak Ustadz Dawir, dan Ibu Yani, serta seluruh anak murid berjalan dan memulai pawai kami mengelilingi kampung Arguni. Anak murid kelas 1 dan 2 dengan semangat mengibarkan bendera yang ada di tangan-tangan mungil mereka.

Semua anak dan orang tua keluar dari rumah untuk melihat suara ribut yang kami buat saat kami melewati halaman rumah mereka. Setiap melihat anak kecil, saya pun membagikan bendera Merah Putih dan mengajakknya ikut berpawai.

 

Sungguh, senyum bahagia terus tersungging di bibir melihat semangat anak murid yang luar biasa menyanyikan lagu-lagu Nasional. Padahal, mereka sedang berpuasa hari ini. Rasa bangga dan puas mengalir sampai ke ujung kakiku. Pawai sederhana ini terjadi di Tanah Papua! Sebuah pulau yang identik dengan konflik, kerusuhan, dan keinginan untuk menjadi sebuah negara sendiri.

Aku tidak melihat itu hari ini. Aku hanya melihat semangat yang terpancar dari mata anak-anak ini. Aku hanya mendengar rasa bangga saat mereka meneriakkan lagu “Garuda di Dadaku!” Dan aku melihat nasionalisme saat mereka mengibarkan bendera Merah Putih kecil di genggamannya.

 

“Sorak sorai bergembira, bergembira semua!

Sudah bebas negeri kita, untuk slama-lamanya.

Indonesia merdeka! (merdeka!!)

Republik Indonesia (Indonesia!!)

Itulah hak milik kita, untuk s’lama-lamanya”

 

Tetaplah berkibar Merah Putih. Untukmu, aku berdiri tegak dengan bangga di sini. Di salah satu bagian paling timur Indonesia.

Baktiku padamu!


Cerita Lainnya

Lihat Semua