info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ketulusan di Balik Cerita Duka

Maria Jeanindya Wahyudi 25 Februari 2012

 

 

asyhadu an-laa ilaaha illallaah  (Saya bersaksi bahwa tiadai Ilahi selain Allah)

 

Itu doa yang mereka ucapkan selama kurang lebih setengah jam, terus-menerus, tanpa terputus. Kata-kata berbahasa Arab. Berbeda dengan caraku berdoa. Tapi, tahukah kamu? Mereka tengah mendoakan nenekku, yang tepat enam hari yang lalu dipanggil Si Empunya nafas hidup.

Oma dikebumikan di Malang, satu kota di Jawa Timur yang ribuan mil jaraknya dari Arguni, Fakfak. Tapi pagi ini, Senin (21/11), sekitar 40 orang pakcik-makcik berkumpul di rumah keluarga angkatku yang sederhana. Mereka tak henti-henti memanjatkan doa, dalam cara mereka, agar Tuhan memberi kemudahan jalan pada Oma menuju surga abadi milik-Nya.

 

Minggu, 20 November 2011

Mama dan seluruh keluarga angkatku di Kampung Arguni berencana akan mengadakan doa tahlil untuk memeringati malam ke-7 meninggalnya Oma. Aku pun mengiyakan. Meski sesungguhnya merasa tak enak betul dalam hati. Karena tidak mempersiapkan bahan makanan sedikt pun untuk acara tersebut. Waktu kusampaikan perasaan itu, mamak hanya menjawab dengan senyum yang artinya “tidak perlu kuatir”.

 

Sore itu, aku dan mamak tengah asyik memasak sayur sop untuk makan malam kami sekeluarga. Tiba-tiba, seorang makcik, ibu dari Apriyanti (murid kelas 4) masuk ke dapur kami. Ia berbincang dengan mamak menggunakan bahasa Taver (Arguni). Meski sudah mengerti sedikit demi sedikit, tak ada satu pun kata yang kumengerti dari percakapan dua makcik ini. Aku pun bertanya pada mamak, apa yang mereka sedang bicarakan.

“Oh.. Makcik-makcik ini ada mau antar ibu pu harta,” guraunya.

Setahuku, ‘antar harta’ itu hanya untuk orang yang akan dilamar saja. Lalu, siapa yang akan dilamar oleh makcik-makcik itu? Meski tahu mamak hanya bercanda, aku tetap penasaran.

Tak sampai lima menit, Apriyanti mama, bersama lima orang makcik lainnya masuk ke dapur kecil rumahku. Masing-masing memegang satu piring kue. Ada yang membawa kue lontar, ada pula yang membawa kue tergulung (bolu).

Sambil meletakkannya di atas meja, Apriyanti mama berkata padaku, “Ibu ini dari anak-anak murid. Ini dari Apriyanti, yang ini dari Acul, dari Yahya, dari Ali dan Salis, juga dari Mega.”

 

Aku mematung di tempatku berdiri. Masih memegang sendok kuali di tangan kiriku. Air mata hampir menetes, tapi aku berusaha keras agar tidak menangis di depan mereka.

 

Betul. Aku merasa terharu dengan perlakuan mereka padaku. Mereka semua masing-masing menyumbangkan sepiring kue untuk doa tahlil 7 hari nenek. Entah siapa yang meminta mereka melakukan hal tersebut.

“Terima kasih ibu.. Saya yang malu hati ini jadinya merepotkan makcik semua,” kataku pada mereka.

Tapi mereka hanya tertawa dan mengatakan, hal itu sudah biasa mereka lakukan di kampung.

Di malam hari, beberapa anak murid masih ada yang berdatangan dan membawa ‘buah tangan’ untuk sekedar membantu doa tahlil hari ke 7 Oma. Membawa kelapa muda, kue, atau sekedar sekotak teh dan setengah kilogram gula. Tapi semuanya betul membuatku terharu dan merasa sangat diterima di kampung ini. 

 

Bahkan, hingga keesokan harinya (Senin, 21/11) saat doa tahlil dimulai.

Lazimnya, masyarakat mengadakan doa selamat pada sore atau malam hari. Namun berhubung hari Senin sore aku harus kembali ke Fakfak mengambil buku-buku, masyarakat tidak keberatan untuk mengadakan doa pada pagi hari jam 7.

Hingga doa tahlil dimulai, aku masih menerima kiriman kue-kue dari makcik-makcik. Setoples pia jagung, 20 buah onde-onde, dan masih banyak lagi. Saking banyaknya, setelah semua piring dihidangkan untuk para tamu, di rumah masih tersisa 7 piring kue!

 

Ya Tuhan, betapa baik hati orang-orang ini. Belum genap setengah tahun mereka mengenalku. Bahkan mereka tidak kenal Oma, atau pernah melihat foto Oma. Ya Tuhan, mereka semua menyebutMu dengan nama yang berbeda denganku. Berdoa kepadaMu dengan cara yang berbeda denganku. Tapi hari ini, hatiku benar-benar tersentuh oleh ketulusan hati mereka. Betapa mereka menyayangiku dengan cara mereka sendiri.

 

Tak peduli sudah berapa lama aku tinggal, agama apa yang kupeluk, atau dari mana asalku. Aku sungguh merasa dicintai dan disayangi. Terima kasih Tuhan,, memberiku kesempatan merasakan dan membuktikan, bahwa masih banyak ketulusan di negara ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua