Bersama 7 Bocah Gobang Petualang

Astuti Kusumaningrum 25 Februari 2012

To be honest, aku tidak membiasakan diriku untuk menulis! Not really fancy! Jadi ketika Indonesia Mengajar meminta kami untuk menulis blog, in my heart, I’m saying...oh no! So, kalian pasti bisa membayangkan perasaanku tentang menulis... Well, sebenarnya bukan menulis yang jadi masalah tapi lebih kepada sifat perfectionist dalam diriku yang membuatku kerap merasa tulisanku tidak bagus, there’s something wrong atau tulisanku perlu diperbaiki dan seterusnya... in the end, it never finish. And not for the record, ini adalah blog pertama yang kupunya... Yeah, aku tahu! Pasti sebagian dari kalian berpikir, “Hari gini??? Gak punya blog?”. Hahaha....bahkan teman baikku juga mengatakan hal yang sama kepadaku tapi nyatanya aku survive, well at least sampai sekarang.

So, since I have to write, sejak beberapa minggu lalu aku berkali-kali mencoba menuliskan pengalaman dan perasaanku, apa yang ada di kepalaku dan apa yang kualami. Namun berkali-kali juga aku menghapus dan mengulangnya. Aku merasa kurang inilah, kurang itulah, kayanya nggak gini deh. Whatever the reason, pokoknya ada aja alasannya sehingga aku nggak pernah jadi menguploadnya. Akan tetapi, kali ini berbeda! Baru kali ini, aku ngerasain dorongan yang luar biasa kuat untuk menulis... Menuliskan tentang perjalananku bersama 7 murid-murid kecilku dari desa Gobang, 7 bocah-bocah Gobang sang Petualang! Beginilah ceritanya:

Pagi hari ini, tanggal 23 Juli 2011 (yang sempat terlupakan olehku bahwa hari ini, Hari Anak Nasional!!!), aku mengharapkan untuk bisa bertemu dengan Adit, muridku di kelas V. Ternyata hari ini, dia tidak masuk sekolah. What so special about him? Nah, ceritanya, kemarin Jumat, ketika aku mengajar kelas VI, Adit yang saat itu pelajaran kosong diam-diam masuk ke kelas VI untuk ikut belajar. Merasa terganggu dengan kehadiran Adit, ada seorang murid yang berusaha mendorongnya keluar. Akan tetapi, yang terjadi, Adit terjatuh dan menghantam ujung meja. Luka menganga di pelipis kirinya dan darah mengucur deras (lebih deras dari luka gores biasa).

Sempat aku merasa panik melihat darah yang begitu banyak. Terus, aku segera membawanya ke UKS sekolah. Yah, prosedur standar aku lakukan. Kubersihkan lukanya trus kuberikan providone. Ternyata lukanya tidak sebesar dan seseram yang aku duga jadinya aku merasa cukup lega. Hanya saja, melihat wajah pucat Adit, aku tahu bahwa dia pasti mengalami shock yang luar biasa.

Saat itu, masih 2 jam pelajaran sebelum sekolah berakhir. Aku berniat mengantarnya pulang tapi dia bersikeras untuk ikut pelajaran karena sesudah pelajaran di kelas VI, aku mengajar di kelasnya. Kuputuskan untuk mengikuti keinginannya karena saat itu, aku juga diharuskan menghandle 3 kelas, yaitu kelas IV, V, VI karena 4 guru lainnya harus menghadiri pelatihan di UPT Kecamatan. Tapi aku bersikeras untuk mengantarnya ke poskedes seusai sekolah. Setelah memulangkan kelas VI dan kelas IV, ternyata Adit sudah menghilang dari pandangan mata. Yah, sepertinya anak-anak punya ketakutan tersendiri terhadap poskedes dan institusi kesehatan lainnya.

FYI, Poskedes atau Pos Kesehatan Desa adalah satu-satunya institusi kesehatan yang terdekat. Kampung Gobang, tempatku tinggal letaknya di paling ujung timur laut dari Lebak dan berbatasan dengan Bogor jadi puskesmas terdekat jaraknya 20 menit perjalanan, itupun puskesmas kec. Bagoang, kab. Bogor.

Keesokan harinya aku berharap untuk melihat Adit di sekolah, tapi dia tak kunjung datang. Aku tanyakan ke teman sekelasnya ternyata Adit tidak masuk dan tidak ada yang tahu kenapa. Saat itu, kuputuskan untuk mengunjunginya ke rumah walaupun aku tidak tahu letaknya di mana karena rumahnya berada di desa lain, yaitu Desa Kabagusan yang berjarak 45 menit perjalanan dari sekolah.

Aku mengutarakan keinginanku pada anak-anak kelas V dan menanyakan kepada mereka apakah ada yang rumahnya dekat dengan rumah Adit sehingga bisa jalan bareng. Beberapa jam kemudian, tiba-tiba saja seantero sekolah sudah tahu kalau aku mau ke Kabagusan dan mereka semua berniat mengantarku. Berkali-kali mereka bertanya, ”Ibu Tuti mau ke Kabagusan? Saya ikut, ya Bu!”. Dalam hati aku merasa tersanjung walaupun juga berpikir, “Busyeettt!! Anak-anak ini semangat banget tapi nggak mungkin dong bawa semuanya!!!”. Mengingat aku akan bertamu dan nggak enak juga nanti kalau bawa terlalu banyak anak jadinya aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ini dengan sedikit anak saja.

Aku berniat untuk berbicara dengan mereka tetapi ternyata di akhir jam pelajaran hanya tersisa 7 anak yang bersedia. So, aku melakukan perjalanan ini dengan ketujuh bocah-bocah Gobang itu, Royan, Alip, Siska, Diana, Rosti, Ratih, dan Abet. Lalu perjalanan pun dimulai....

Saat itu waktu menunjukkan jam 11 siang. Matahari begitu terik dan terasa panas. Melihat pohon-pohon yang hanya tumbuh di kedua sisi jalan, pupus sudah harapan bahwa jalanan akan terasa teduh. “Yah setidaknya untunglah, jalan sudah diaspal sehingga tidak becek” begitulah pikirku. Well, orang-orang yang bilang “Becareful with what you wish for! Because it might come true” sepertinya belum pernah ke Kabagusan karena setelah berjalan sekitar 500 meter, habislah sudah jalanan yang diaspal, digantikan oleh jalan tanah merah dan bebatuan.

Ternyata teriknya matahari siang itu belum mengeringkan sisa-sisa hujan semalam. Walaupun jalanan berbatu tapi tetap terasa licin bagi kakiku yang belum terbiasa. Aku berjalan pelan-pelan dan ekstra hati-hati sementara anak-anak dengan riang dan mudahnya berlari dan melompat ke sana kemari.

Dalam hati aku merasa iri dengan kelincahan mereka. Well, wajarlah mengingat mereka masih berumur under 13 sementara aku way over 13. Tetapi sungguh, anak-anak itu baik hatinya! Di ujung jalan mereka menungguku. Begitu aku mendekat mereka mengulurkan tangan berisikan buah-buahan hutan. Mereka bilang, “Ibu, ini untuk Ibu! Biar nggak haus”.

Aku begitu tersentuh! Tak tega melihat peluh di dahi mereka, aku bertanya, “Apakah ada tempat di mana kita bisa beli minum, biar nanti bisa diminum sambil jalan?”. Serentak mereka bilang, “Nggak ada, Bu! Adanya di Kabagusan”, yang itu berarti masih 45 menit perjalanan. Setelah berpikir sesaat, Royan menawarkan untuk minum di rumahnya karena rumahnya sudah dekat. Setelah menaiki tanjakan yang WOW, lumayan mantap untuk otot pahaku, kami sampai di sebuah belokan di mana terdapat jalan setapak yang mengarah ke hutan. Dan di sanalah berdiri satu-satunya rumah dari bambu dan kayu yang berhalamankan hutan. Anak-anak segera berlari mendahuluiku yang mengingatkanku lagi pada perbedaan stamina dan usia kami.

Sapaan salamku dibalas oleh ucapan salam dari seorang ibu muda (menurutku) yang berusia sekitar dua puluhan akhir, belum tiga puluh, Ibunya Royan. Setelah duduk kemudian berbincang-bincang barulah aku tahu bahwa ternyata Royan dan Layah (yang sama-sama kelas 4) adalah kakak beradik dan mereka adalah 2 anak tertua dari 5 bersaudara. Pantas, aku merasa mereka mirip. Dan ternyata, Layah hari itu tidak masuk sekolah karena sakit. Jadilah aku mengobrol dengan Ibunya Royan dan Layah sementara bocah-bocah petualang itu minum air dengan rakusnya. Air mata sempat tergenang di mata ketika Ibu Royan bercerita bahwa Royan dan Layah mengatakan bahwa mereka ‘resep’ (senang) dengan Ibu Tuti, guru baru di sekolah karena ‘bageur teuing’ (baik banget).

Subhanallah, hatiku penuh dengan kehangatan ketika mengetahui bahwa ternyata muridku berpikir begitu. Padahal, aku sering berpikir dan merasa gagal karena pengalaman kacau yang kualami ketika mengajar di kelas II dan IV minggu ini.

Aku hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani menatap mata Ibu Royan karena takut air mata ini mengalir. Pada saat itu, aku baru merasakan betapa hangat dan melegakannya sebuah apresiasi. Kata-kata sederhana itu, mengangkat perasaan gagal yang kurasakan dan membuatku semangat lagi. Dengan semangat, aku ceritakan bahwa Royan dan Layah adalah murid yang sangat antusias dan selalu memperhatikan. Setiap ada pertanyaan, mereka selalu berani dan semangat menjawab. Tampak binar-binar di mata Ibu Royan, begitu juga di mata Layah! Dalam hati aku bertekad akan lebih sering memotivasi dan mengapresiasi murid-muridku...

Kami pun berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 10 menit terdapat lebak (turunan), cai’ (sungai), dan pohon asem. Anak-anak langsung berlari ke arah turunan berumput itu, berusaha untuk mengambil buah asem (yang ternyata walaupun belum masak juga bisa dimakan). Mereka melompat-lompat dengan kayu di tangan, berusaha untuk menggapai buah asem yang menjuntai. Aku tertawa simpul melihat mereka dan memutuskan untuk bergabung. Habis, kasihan banget mereka kan kecil-kecil. Paling nggak, kali ini aku merasa lebih superior karena lebih tinggi, hehehe...

Anak-anak itu kemudian memunguti buah asem yang berjatuhan. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan dan mengucapkan, “Ibu mau?”. Setelah dicoba, BUSYETTT!!, ternyata buah asem yang belum matang aseeemmmmm buuuaaaannngggeeettt! ASSEEEMMM!!! Anak-anak tertawa melihat ekspresi aneh yang kubuat karena rasa asem yang kecut banget! Ketika akan kumuntahkan, mereka memberitahuku untuk menelannya.... Setelah percobaan pertama, baru 10 menit kemudian aku bisa memasukkan sepotong buah asem lagi ke dalam mulutku. Itupun hanya ketika aku merasa haus....

Perjalanan masih panjang. Selama itu kami mengobrol tentang cita-cita. Alip, bocah manis yang matanya selalu dipenuhi mimpi-mimpi dan harapan, dengan lantang, mengungkapkan keinginannya untuk menjadi polisi. Siska yang gemar bertanya dan tak pernah berhenti bercerita dengan semangat meneriakkan, “Aku ingin jadi dokter!”. Teriakan yang ditimpali juga oleh Abet dan Rosti, gadis-gadis mungil hitam manis yang tak pernah berhenti tersenyum dan tertawa.

Berbeda dengan mereka, Diana yang selalu penuh semangat dan antusias berkata, “Saya ingin jadi guru! Seperti Ibu Tuti!”. Mendengarnya hatiku dipenuhi oleh perasaan haru. Kemudian dengan tegas aku berkata, “Tidak boleh! Kamu tidak boleh menjadi guru seperti ibu karena kamu harus menjadi guru yang LEBIH BAIK dari ibu.” Senyum mengembang di bibirnya, menggantikan ekspresi kaget mendengar kata-kata tegasku.

Dalam diam, Ratih berjalan membawakan salah satu tasku. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan sepucuk kertas berisikan kata-kata, “Ibu, aku ingin menjadi dokter!”. Kemudian pandangan bertanyaku beralih kepada Royan. Kali ini gilirannya. Dengan gayanya yang sok dia berjalan mendahuluiku. Sambil menengok ke belakang ia berkata mantap, “Saya ingin jadi Presiden, Bu!”. Detik itu juga, sesuatu menyentuh hatiku. Royan dan keluarganya yang tinggal dalam satu-satunya rumah yang berada di Luwigalih (di tengah hutan) tanpa air dan juga listrik ternyata memiliki mimpi yang begitu besar. Begitu juga dengan murid-muridku yang lain, yang hidup dalam keterbatasan dan akses yang minim.

Teringat kata-kata Adhiti pada anak-anak didiknya di Papua, dalam hatiku, aku juga mengucapkan kata-kata yang sama, “Ayo, Nak! Pelan-pelan kita wujudkan impianmu!”

Tanpa terasa, kami sudah sampai di desa Kebagusan. Sepanjang jalan ke rumah Adit, aku menjumpai beberapa muridku yang lain. Dengan malu-malu mereka memanggilku, “Ibu Tuti...Ibu Tuti..!”. Beberapa anak berlari mendekatiku dan menyerahkan sebuah bungkusan hitam yang berisikan jeruk bali. “Dari kebun, Bu!”, ucap mereka kemudian langsung kabur, sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Karena sudah berada di depan rumah Adit, kutunda keinginanku untuk mengejar mereka dan mengucapkan terima kasih secara layak.

Memasuki rumah Adit, aku disambut oleh ayah, ibu, uwa’ (tante), dan saudara Adit yang lain. Saat itu, Adit sedang tidak ada, dia ke cai’. Rumah mungil itu terasa tambah sesak karena dimasuki juga oleh 7 bocah petualang Gobang. Mengetahui kami yang berjalan dan kepanasan, Ibu Adit menyuguhkan air es kepada kami.

Subhanallah, ternyata panas menjadikan segelas air es begitu nikmat. Sebelum sempat aku mengambil, anak-anak sudah berebutan. Aku geli melihatnya karena pada saat mereka semua hendak menyerobot, Royan tiba-tiba berteriak, “Ibu guru dulu!” dan sontak mereka semua berhenti lalu menoleh ke arahku. Takut terjadi pertumpahan darah, kemudian aku membagikan gelas-gelas air es tersebut kepada mereka yang tanpa ba-bi-bu langsung tandas habis..bis..bis.. Sepertinya next time kalau ke Kabagusan lagi aku harus siap bawa minum dan payung.

Sambil menunggu, aku menanyakan mengapa Adit tidak masuk sekolah hari ini. Aku cukup khawatir kalau itu disebabkan lukanya terutama kalau terjadi infeksi. Kemudian ibunya menjelaskan bahwa kemarin malam, Adit sempat demam dan menggigil. Itulah kenapa paginya tidak masuk sekolah. Untung, aku memang sudah mempersiapkan beberapa obat untuk diberikan kepada Adit. Alcohol dan betadine untuk lukanya, kemudian antibiotik kalau terjadi demam lagi. Sekitar 5 menit kemudian, datanglah Adit. Setelah mengecek dan mengobrol dengannya, aku merasa tenang karena kondisinya sudah baik sambil berpesan bahwa aku menunggu kehadirannya lagi di sekolah.

Sepulang dari rumahnya Adit, kami tidak langsung kembali. Ada dua rumah lagi yang kami kunjungi, yaitu rumah Bu Nanah (guru kelas 1) yang tidak mengajar hari ini karena sakit dan rumah Iklim, anak kelas V. Kalau yang kedua, lebih karena permintaan dari Diana dan Ratih yang merupakan teman dekat Iklim. Ternyata, Ibu Iklim adalah saudara dari Ibunya Adit dan begitu juga dengan orangtua-orangtua murid-muridku yang lain. Hampir semua dari mereka adalah kerabat. Seperti Gobang, orang-orang di Kabagusan sebagian besar masih memiliki hubungan saudara baik dekat maupun jauh.

Berkali-kali Ibu Iklim memohon maaf tidak bisa menyuguhkan apa-apa saat itu, hanya satu teko es teh (yang begitu kami syukuri) karena tidak tahu sebelumnya kalau aku akan datang. Well, aku memang tidak meniatkan dari awal. Saat itu, tidak terpikirkan olehku bahwa kedatanganku begitu penting bagi mereka sehingga mereka merasa harus menyuguhkan atau memasak sesuatu untuk menyambutku, well , bukan hanya aku tapi semua guru. Berkali-kali juga aku meyakinkannya bahwa itu tidak menjadi masalah dan aku memohon maaf karena datang tanpa pemberitahuan.

Sambil berkata begitu, aku menoleh dan melihat ke arah jendela. Tanpa kusadari, sedari tadi kedatangan kami sudah diketahui oleh murid-muridku yang tinggal di Kabagusan. Di jendela itu, aku melihat banyak kepala menyembul berusaha untuk mengintip. Sambil tersenyum geli, aku menghampiri dan menyapa mereka. Begitu kudekati, mereka langsung kabur. Beberapa bertahan dan menanyakan mengapa aku ada di sana. Setelah bercakap-cakap sebentar dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang, aku memutuskan sudah waktunya pulang. Masalahnya, aku bawa anak orang lain jadinya kalau kenapa-kenapa, aku harus bertanggung jawab. Untung saja, sebelum pergi, anak-anak sudah berpamitan atau mengabari rumah masing-masing sehingga orang tua mereka tahu perihal perjalanan kami ke Kabagusan. Selain itu, besok hari Minggu, jadi tidak terlalu menjadi masalah apabila kecapekan, terus tidur yang lama, dan bangun siang.

Perjalanan pulang begitu sunyi. Ternyata 7 bocah-bocah yang tadinya begitu perkasa sudah kelaparan. Padahal, mereka sudah menggasak habis makanan di rumah Ibu Nanah. Well, sepertinya makanan itu belum cukup mengganjal perut mereka. Untung saja kami membekali diri dengan air minum. Tapi sedih juga melihat wajah mereka. Tiba-tiba, aku teringat kalau masih ada sebungkus nasi di tasku. Aku mengajak mereka untuk berhenti sebentar di bawah pohon asem dan menawarkannya pada mereka.

Tanpa tedeng aling-aling, mereka langsung menyerbu. Pepatah yang mengatakan, “tidak ada logika tanpa logistik” sepertinya tahu benar apa yang dia katakan karena hal itu menggambarkan dengan jelas kelakuan murid-muridku saat itu. Well, setidaknya mereka tampak benar-benar menikmati nasi yang tidak seberapa itu. Setelah itu, kami bebilas (mencuci mulut) dengan jeruk bali. Wah, ternyata kulitnya keras dan tebal sekali. Untunglah, Royan yang sudah terbiasa mengambil dan memotong kayu memiliki tangan yang sekuat baja. “Tangan pisau” begitulah kami kemudian memanggilnya. Dan sekali lagi, anak-anak berebutan mengambil jeruk yang sudah tersedia itu.

Heran deh! Pasti ada sesuatu yang menyenangkan tentang berebut karena walaupun jumlah jeruk yang tersedia cukup bahkan berlebih, tetap saja anak-anak itu rebutan mengambilnya. Hmmm...mungkin selain jeruk, yang dicari adalah sensasinya! Sensasi puas karena telah berhasil mendapatkan dan mengambil, bukannya diberi. Mungkin itu juga, yang menyebabkan permainan sepakbola begitu menarik. Seandainya ke-22 orang yang berebutan bola itu diberi masing-masing 1 bola pasti permainan tidak akan jadi seru lagi... Well, enough with the football! Kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Saat melewati rumah Royan, aku memberikan sebuah jeruk yang tersisa untuk diberikan kepada Layah dan Ibu Royan agar mereka segera membaik. Pemberian yang disambut dengan senyuman lebar Royan. Dengan segera, ia melesat berlari ke rumah. Sambil menunggu Royan, anak-anak berlarian ke sisi hutan untuk mencari buah-buahan liar lagi. Begitu juga denganku. Wah, sepertinya sudah menjadi kebiasaan nih! Ternyata anak-anak ini lebih jago survival daripada aku. Semenit kemudian, Royan memanggil kami dari kejauhan. Ternyata dia mengambil jalan pintas dan sudah berada di depan kami.

Selepas makan siang yang belum mengenyangkan tadi, aku menawarkan anak-anak untuk memasak dan makan di rumahku. Mereka langsung menganggukkan kepala tanda setuju. “Akan tetapi, ibu tidak memasak nasi jadinya kalian membawa nasi masing-masing dari rumah ya?!” kataku. Anak-anak langsung sepakat. Terus, ketika ditanya ingin memasak apa mereka sepakat menjawab: indomie goreng!! Hahahaha....tetap saja! Ingin mengajak makan yang lebih sehat, tapi untuk kali ini, mereka telah berbaik hati mengantarku. Jadinya sebagai ucapan terima kasih, aku menuruti permintaan mereka. Selain itu, aku merasa kasihan kalau mereka harus menunggu lama untuk makan makanan lain yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memasaknya.

Akhirnya kami sepakat dan bagusnya, Royan juga ikut serta. Dengan semangat yang baru, karena akan makan indomie goreng di tempat Ibu Tuti, anak-anak berjalan pulang. Menghindari panas yang semakin terik, Alip menawarkan untuk melewati jalan pintas, melewati sawah. Tawaran yang kemudian kami setujui karena jalan itu juga melewati curug (mata air) sehingga kami bisa berbasuh dan mendinginkan tubuh. Ternyata, perjalanan lewat sawah sama menariknya, mungkin lebih. Kami melewati kandang kerbau bersama milik warga. Yup, kampung Gobang ini benar-benar seperti desa yang kerap diceritakan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia SD. Di mana-mana sawah membentang luas. Kehidupan semua warganya dari bertani sehingga untuk makan semua diambil dari hasil sawah masing-masing. Kacang tanah, sampe (singkong), uwi (ubi), bonteng (timun), cabe, timun suri (puan), cau’ (pisang), gedhang (pepaya), dll. diambil dan dimasak fresh from the ground. Di sini, para petani menggunakan kerbau untuk membajak sawah, dan kerbaunya, WOW!, besar-besar dan sehat-sehat. Walaupun banyak yang punya kerbau, biasanya ada satu orang yang menggembalakan secara bergantian. Jadi penggembalaannya bersifat massal. Pernah mencoba untuk memegang, tapi kerbau bisa mengenali orang, pemiliknya atau orang asing. Karena tahu aku orang asing, seekor kerbau hampir menamparku menggunakan ekornya ketika kudekati. Weitss, tunggu aja! Aku pasti bisa menaikimu suatu hari! Seperti gambar anak kecil yang tidur di atas punggung kerbau di buku Bahasa Indonesiaku dulu.

So, melewati kandang kerbau dan hutan bambu, jalan setapak dari tanah merah menurun tajam. Anak-anak itu, dengan tenangnya berlari turun seolah-olah gravitasi tidak berpengaruh bagi mereka. Bagaikan melayang, mereka melesat turun dalam waktu beberapa detik. Aku...well, saat itu aku tidak mengenakan sepatu terbaikku untuk berlari, jadinya perlu sekitar 10 menit bagiku untuk menuruni jalan curam itu. Untung, si Abet berkenan mendampingiku. Tidak seperti temannya yang lain, dia berjalan di sisiku dan dengan sabar menunggu apabila aku tertinggal jauh.

Sesampainya di bawah, aku melihat anak-anak duduk-duduk di bawah naungan hutan bambu dengan muka dan rambut yang basah. “Pasti, mereka sudah berbasuh!”, pikirku. Kemudian mereka berdiri dan menunjukkanku curug warga yang berharga. Curug ini adalah satu-satunya sumber air bersih desa Gobang. Untuk memasak dan minum, warga mengambil air dari curug ini sementara untuk MCK mereka pergi ke sungai Cidurian. Airnya dingin dan jernih. Di sana, kulihat, tergeletak berbagai jerigen dan drum yang menanti untuk diisi. Seorang pemuda, sekitar SMA, mengisikan air ke wadah-wadah tersebut. Melihatku, ia mempersilakanku untuk berbasuh dulu. “Wah, segarnya!!”, pikirku. Air curug yang mengalir menghapuskan kelelahan dan kegerahan yang kurasakan. Rasa dingin dan segar menggantikan panas yang diakibatkan oleh teriknya matahari siang. Timbul semangat baru untuk menyelesaikan perjalanan yang tersisa. Wajah murid-muridku pun semakin segar.

Untuk berjalan pulang, kami melintasi sawah yang luas. Berbeda dengan sawah yang berada di sisi selatan kampung, sawah di sini tergenang air dan becek karena air curug yang terus mengalir. Aku memutuskan untuk melepas sepatuku yang licin dan berjalan bertelanjang kaki melewati pematang-pematang yang sempit dan berlumpur. Masing-masing dari kami saling mengingatkan agar berhati-hati karena apabila terperosok, lumpurnya cukup dalam. Baru saja, Alip berkata, “Hati-hati, bambunya licin!”, padaku, ia terpeleset dan sebelah kakinya terbenam dalam lumpur hingga ke betis. Barisan kami pun terhenti. Ketika berusaha menarik kakinya keluar, sepatu Alip tertinggal di dalam lumpur dan untuk mengeluarkannya diperlukan tenaga yang ekstra besar sehingga harus dibantu oleh Rosti. Melihat yang terjadi, anak-anak mulai melucuti sepatunya dan bertelanjang kaki. Mereka takut sepatu mereka akan kotor atau rusak.

Ya, di desa ini sepatu adalah barang berharga bagi anak-anak. Sering kali kujumpai anak-anak yang pulang bertelanjang kaki dengan sepatu dijinjing di tangan. Ketika kutanya, mereka menjawab, “Biar nggak rusak, Bu!”. Ketika aku melucuti sepatuku karena sepatuku yang licin mengganggu jalanku, anak-anak itu melucuti sepatu mereka untuk melindungi sepatu mereka yang berharga agar keesokan harinya, bisa dipakai dengan penuh kebanggaan untuk sekolah. Semakin lama kami berjalan dan semakin ke tengah sawah, tanah terasa semakin panas. Kami pun setengah berlari melewatinya. Well, lebih tepatnya anak-anak itu setengah berjalan sementara aku setengah berlari dan berhati-hati agar tidak terperosok. Kali ini pun, aku dikalahkan oleh bocah-bocah itu.

Akhirnya kami sampai juga, dengan kaki berlumuran tanah dan lumpur. Yeah, setidaknya, tidak ada yang menginjak kotoran kerbau. Hehehe.... Kami mampir ke rumah Mak Ende. Mak Ende memiliki kamar mandi dan sumur yang menakjubkan karena letaknya outdoor dan tertutupi oleh pagar bambu yang dirambati oleh pohon pare. Dari sela-sela pagar bambu, kalian bisa melihat hamparan sawah yang luas karena kamar mandinya menghadap ke sawah. Tapi tenang saja, pagar bambunya cukup rapat sehingga yang mandi tidak terlihat dari sawah. Sumurnya adalah sumur tarik (sebutanku) karena tidak menggunakan katrol dan dalamnya hanya sekitar 2 meter. Sumur Mak Ende adalah satu-satunya sumur yang tidak kering selama musim kemarau sehingga menjadi tujuan tetangga untuk mengambil air, seperti yang kami lakukan juga.

Sesampainya di sumur, aku melihat Royan sudah menimba air dan (lagi-lagi) bocah-bocah itu berebut untuk menggunakannya. Di ujung, kulihat Alip dengan ember di tangan dan mulai mencuci sepatu dan kaos kakinya. Melihatku, (lagi-lagi) mereka menghentikan ‘pertempuran berdarah’ memperebutkan air dan menawariku terlebih dahulu. Tidak mau terlibat, aku menerima tawaran mereka. Hehhehe...ternyata menjadi guru atau jadi orang dewasa memiliki privilege tersendiri.

Selesai berbasuh, aku meminta mereka untuk pulang terlebih dahulu, ganti baju, dan mengambil sangu (nasi). Dalam perjalanan ke rumah (Wow, tanpa kusadari rumah Mak Kenok sudah kuanggap rumah sendiri!), aku mampir ke warung membeli mi goreng dan teh. Mengingat betapa laparnya kami dan ‘buasnya’ anak-anak itu ;p, kuputuskan untuk membeli ekstra. Aku juga membeli es batu untuk es teh.

Sesampaiku di rumah, Siska, Rosti, Abet, dan Diana sudah duduk di depan pintu dengan sepiring nasi di tangan. Kubuka pintu dan mereka langsung berhamburan masuk. Heran, energi mereka nggak ada habisnya!!! Anak-anak itu sangat cekatan. Setelah meletakkan nasi masing-masing, Diana mengambil tikar, Siska mengmbil es dari tanganku dan bersama Rosti menuju dapur mencari alu (penumbuk padi) untuk menghancurkan es dan piring untuk mie. Aku dan Abet menuju kompor, mengambil wajan dan air kemudian memasak mie. Dalam waktu 10 menit, makanan (nasi, mie, dan es teh) sudah tersedia di tengah-tengah tikar.

Sambil menunggu, Alip, kami mengobrol. Menghindari ‘pertempuran berdarah’ berebut mie goreng, aku yang membagikan mie goreng. Setelah berdoa bersama, dengan lahap (atau rakus) mereka menghabiskan makanan masing-masing. Dalam bahasa Sunda Banten, (sepertinya) mereka bercerita tentang pengalaman perjalanan tadi. Karena tidak terlalu mengerti, aku hanya bisa memahami dari ekspresi mereka. Mereka tertawa-tawa dan tersenyum. Mata mereka berbinar-binar. Terdengar semangat dan antusiasme dari suara mereka. Melihatnya, hatiku menghangat. Kami mengakhirinya dengan bilasan (pencuci mulut) jeruk bali yang tersisa. Seperti biasa, si ‘tangan pisau’ Royan yang mengulitinya, walaupun kali ini pakai pisau beneran. Setelah selesai, aku dan Diana mencuci piring sementara yang lain membereskan tikar, menyapu, dan membuang sampah.

Setelah selesai, anak-anak dengan senyum lebar dan rasa enggan berpamitan pulang. Mereka mencium tanganku satu per satu dan mengucapkan terima kasih sebelum kemudian berbalik dan menjauh. Kututup pintu di belakangku dengan perasaan yang begitu hangat. Senyum mereka dan binar-binar dalam mata mereka memberikanku semangat. Semangat yang sangat kubutuhkan dan akan selalu mengingatkanku tentang tujuanku di kampung ini, yaitu untuk memberikan yang terbaik bagi mereka. Memberikan pengetahuan terbaik dengan cara yang terbaik agar mereka menyadari bahwa masa depan terbaik membentang untuk mereka.

Walaupun panas dan lelah, hari itu adalah hari Sabtu terbaik yang pernah kualami. Kini, kalian mengerti kan kenapa aku tidak bisa, tidak menuliskan kisah perjalanan ini? Hari ini jam menunjukkan pukul 5.48 pagi. Tanpa terasa sudah semalaman aku menulis. Saatnya untuk tidur yang panjang. Lagian besok kan hari Minggu, HARI LIBUR! Oops, bukan besok! Tapi hari ini.....Selamat tidur! Sleep well, dream nice, and have a beautiful life once you awake...

Dari kamarku di Gobang, 23-24 Juli 2011 (pukul 22.00-5.48)


Cerita Lainnya

Lihat Semua