Cemburu Padaku ?

Maria Jeanindya Wahyudi 25 Februari 2012

Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan inspirasi. Aku tidak tahu cara paling efektif untuk berbagi inspirasi. Dan aku tidak tahu rangkaian kalimat paling mujarab untuk menyiarkan inspirasi.

Padahal, langkahku sudah menginjak bulan ketujuh di Arguni, Fakfak. Sebuah pulau terapung yang harusnya ‘kecipratan’ inspirasi dari program asuhan Anies Baswedan ini. Aku malah tetap garuk-garuk kepala kalau ditanya soal barang bernama inspirasi.

Yah, kita tinggalkan saja kebingunganku dengan inspirasi. Satu hal yang pasti, aku jatuh cinta mati dengan pulau bernama Arguni. Bukan hanya soal geografis yang eksotis. Atau ramah senyum mace-pace yang terkulum bersama merahnya buah pinang di bibir mereka. Bukan juga karena kudapan senikmat asida, papeda, colo-colo, pisang ijo, atau ikan kuah kuning.

Satu hal yang pasti (lagi), aku malah jatuh cinta dengan profesi sebagai guru. Pekerjaan yang masuk daftar cita-citaku pun tidak. Tingkah polos dan celoteh ‘miring’ anak-anak Arguni selalu mampu memberi semburat warna hari-hariku. Beberapa kisah berikut, mungkin akan membuatmu ikut merasakan. Hari-hari bahagia yang membuatku jatuh cinta pada Arguni, dan anak-anak muridku.

 

-Gerombolan anak TK-

Aku bukan ibu guru mereka. Pun demikian, mereka tetap memanggilku ‘ibu’. Beberapa yang belum lancar bicara bahkan membuat sebutan baru, ‘ubu’ atau ‘bubu’ saat memanggilku.

Polosnya kata dan pertanyaan mereka kadang membuatku melongo, diam tak berkutik, atau tergelak.

Mahfud Mumuan, pernah menunjukkan padaku di mana Allah tinggal.

“Ibu, Allah itu tinggalnya di atas awan-awan itu ya?” katanya sambil menunjuk awan abu di hitamnya langit malam.

“Mungkin di atasnya awan itu, di atasnya lagi, di atasnya lagi,” jawabku.

“Ah, ibu salah! Allah tara tinggal di situ mo,” balasnya.

Aku masih diam, menanti kalimat berikutnya. Tiba-tiba dia membuka mulutnya lebar-lebar.

“Allah tinggal di dalam sini,” kata Mahfud sambil menunjuk anak tekak yang tergantung di dalam rongga mulutnya.

“Karena Allah tinggal di situ, makanya Dia bisa jaga katong terus-terus,” lanjutnya, polos.

 

Kepolosan Mahfud tak berhenti di situ.

Suatu saat, aku memutar lagu “Di Sini Senang Di Sana Senang” melalui komputer jinjingku. Dia begitu terkesima mendengar suara anak-anak yang menyanyi. Rupanya itu menggelitik rasa ingin tahunya.

“Ibu, itu siapa dorang yang menyanyi?” tanyanya.

“Ibu juga tara tau. Tapi mungkin anak-anak kecil di Jakarta,” jawabku.

Dia terus memerhatikan komputer jinjing di hadapannya. Saking gemasnya, dia mengangkat benda berwarna hitam itu, dan melihat ke bagian bawahnya.

“Baru dorang menyanyi di mana kah?” katanya sambil menunjuk ke arah pengeras suara komputer jinjingku.

Tergelak. Hanya itu jawabanku untuknya saat itu.

 

-Murid kelas 1-

Polos, lucu, menggemaskan.

Teriak, menangis, berkelahi, mengadu pada guru.

Itulah kombinasi yang selalu ada di kelas paling bungsu di sekolah. Mereka juga punya ‘jurus’ untuk membuat guru tertawa. Salah satunya, adalah dengan ‘melagukan’ sebuah mars saat guru membacakan nilai tes atau ulangan.

“Bella, dapat sepuluh” kata si guru di depan kelas.

“Meeemmaaaaaanggggg.....” teriak 16 orang teman Bella di kelas itu.

“Zul, dapat sepuluh,” kata si guru, lagi.

“Meeemmaaaaaanggggg.....” suara mereka kembali menggema, sampai di kelas paling ujung.

“Yahya, dapat telor.” Kali ini hasil ulangan sang murid berbeda dengan dua orang sebelumnya.

“Ahhaaaeeeee!!!” mereka pun ‘melagukan’ mars yang berbeda untuk teman yang mendapat nilai ‘telor’ tersebut. J

 

‘Jurus’ lain yang dimiliki oleh murid kelas 1 adalah polosnya celoteh mereka. Jawaban spontan, yang mereka tak peduli, betul atau tidak.

“Mata gunanya untuk apa?” kata si guru, satu hari saat pelajaran IPA.

“Melihaaaatttt!” kata 17 orang murid kelas 1, kompak seperti biasa.

“Kalau telinga?” si guru memberi pertanyaan lanjutan.

“Untuk mendengar, ibuuuuu!” paduan suara falsetto itu kembali menjawab.

“Bagus. Kalau hidung, gunanya untuk apa ya?” si guru (terlalu cepat) puas. Merasa muridnya sudah pintar-pintar.

“Untuk kasih keluar ingus, buuuuuu!” jawab mereka, masih tetap kompak.

Si guru pun tertawa terbahak di depan kelas, dan tidak melanjutkan pertanyaan.

 

-murid kelas 2-

Namanya juga anak-anak. Itu yang selalu kukatakan dalam hati. Tingkah mereka, selalu berasaskan kepolosan, ketidaktahuan. Termasuk apa yang dilakukan Nasir Bahamba hari itu.

Entah apa penyebab perkelahian antara Zul dengan Nasir. Aku datang terlambat ke lokasi kejadian, karena keduanya sudah menangis saat kutiba. Nasir, sambil masih menangis, meninggalkan sekolah.

Aku tak mencegah, karena masih ada Zul, siswa kelas 1 yang sedang menangis pula. Tak ada guru lain di sekolah.

Lima menit berlalu, kondisi sekolah sudah kembali kondusif.

Hingga seorang anak bertubuh kecil mengangkat parang dan hendak masuk ke kelas 1.

“Ibu jangan pele! Atau nanti saya bunuh ibu pakai parang ini!” hardik Nasir Bahamba, siswa kelas 2 itu padaku.

“Kamu betul mau bunuh ibu dengan parang itu? Kenapa kau bawa parang ke sekolah?” tanyaku tak percaya.

Siswa kelas 2 itu, masih sambil menangis, menjawab terbata.

“Beta.. beta mau bunuh Zul!” teriaknya.

Hatiku mencelos. Kenapa di otak anak sekecil ini sudah ada kosa kata ‘membunuh’ adik kelasnya?

Singkat cerita, parang itu berhasil diamankan setelah hampir setengah jam dia berkeliling sekolah menakuti semua orang. Tentu saja, kejadian itu membuat mataku makin awas terhadap murid-muridku. Terutama, Nasir Bahmba.

 

-murid kelas 5-

Tingkah polos nan ajaib tak hanya dimiliki murid kelas kecil. Mereka yang menjelang puber pun sering bertingkah konyol yang mengundang tawa. Tak jarang, kepolosan itu mengundang senyum sipu dan rona merah pipi si guru.

Satu hari, usai belajar tentang sistem pencernaan manusia, si guru memberi tes tertulis.

Pertanyaan pertama : apa nama enzim di dalam mulut manusia?

Ali Turua menjawab : Baygon.

Si guru hanya bisa tertegun membaca jawaban muridnya.

 

Di hari berbeda, si guru sedang memberikan ulangan PKn kepada murid-muridnya. Topik ulangan kali ini adalah tentang peraturan dan undang-undang.

Pertanyaan no.8 : Selain memakai helm, pengendara motor juga harus membawa .....

Mudasir Rimosan menjawab :  minyak bensin

Si guru tersenyum simpul, dan membiarkan jawaban itu tetap benar. Di Arguni, bensin adalah barang langka. Meski bawa SIM, kalau tidak bawa minyak bensin, tetap saja motor tidak akan berfungsi. :)

 

 Di hari lain, si guru meminta semua anak murid membuat satu puisi untuk mengisi majalah dinding bertema ‘Bulan Kasih Sayang’.  Ada dua tema pilihan : Sekolah atau orang yang tersayang.

Ali, memilih tema “Sekolah” untuk tugas membuat puisi. Begini bunyi bait terakhir puisi milik Ali :

Ibu, beta betul bersyukur pada ibu

Karena ibu sudah datang mengajar ke kampung

Ibu, beta betul bersyukur pada ibu

Karena ibu su mau ajar katong di kampung

Ibu, beta betul-betul mengucap syukur pada ibu

Ada banyak penggunaan kata yang kurang tepat dalam puisi itu. Tapi si guru tetap terharu. Lewat tulisan yang acakadut, kekurangan satu huruf di sana-sini, si guru tetap paham, bahwa muridnya hanya ingin mengucapkan terima kasih setulus hati.

 

Sekelumit cerita ini mungkin tak bisa mendefinisikan inspirasi.

Tapi aku berharap sedikit cerita ini bisa membuatmu ikut merasakan betapa bahagianya aku.

Aku juga berharap sedikit cerita ini membuatmu iri, cemburu, dan ingin menjadi sepertiku.

Dan menikmati kebahagiaan seperti yang kurasakan 256 hari belakangan.

 

Fakfak, 25 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua