Aceh Loen Sayang

Erma Purwantini 25 Februari 2012

Akhir bulan September, rasa rindu di dada ini ternyata terasa menyesakkan jiwa. Rindu untuk kembali bersama mereka, sahabat-sahabat kecil dan keluarga ku di dusun yang nyaman jauh dari kebisingan. Tiga minggu sudah saya meninggalkan kampung ini, merasakan full nya sinyal di kota. Keberadaanku di kota dengan infus yang menusuk raga ini, seakan ingin segera ku kembali pada keluarga angkatku nan jauh di pelosok hutan sawit ini.

Sakit vertigo yang cukup mengganggu ragaku untuk bisa berdiri tegak dengan penuh semangat untuk memberikan inspirasi-inspirasi di tengah segala keterbatasan fasilitas yang ada di kampung. Rumah sakit menjadi tempat ternyamanku untuk memperoleh penanganan terbaik bagi ragaku ini. Boleh saja raga ini sakit dan tak bisa beranjak dari kasur biru itu. Namun, pikiran ini tak pernah selesai dibawa terbang oleh sahabat-sahabat kecilku. Bermain, belajar, tertawa riang dan membagi kebahagiaan bahwa alam ini sangat sarat dengan kasih sayang.

Sepulang ku dari rumah sakit, aku merasakan kehangatan dan kerinduan keluarga. “Anak saya yang dari Jogja sudah pulang” kata ayah kepada salah satu bapak yang sedang menginap di rumah ayah dalam rangka membuka kebun sawit yang baru di daerah tempat kami tinggal. Suara itu terdengar jelas dari dalam kamarku. Seketika itu juga, dada ini terasa bergetar dan mata pun berkaca-kaca. Aku larut dalam suasana haru. Termenung sendiri di ruangan yang sunyi.

Sering masyarakat disini mengutarakan bahwa dulu, suara desingan peluru sudah biasa terjadi disini. Saling curiga antara orang satu dengan yang lain itu sudah hal biasa. Komunitas orang Jawa mana ada yang bisa masuk kawasan ini. “Gag ada orang pendatang seperti Ibu berani masuk kesini”, kata salah satu tetanggaku di Dusun Alue mbang. Bahkan untuk menetap ataupun menjadi warga Aceh, untuk melewati wilayah ini pun orang “ogah”.

Dulu, sudahlah semua orang tau apa yang terjadi di ujung barat negeri ini. Apa yang masyarakat inginkan dari Nanggroe ini. Perasaan tak adil yang terjadi atas eksploitasi kekayaan alam pribumi.

Dulu, tapi itu dulu.

Seiring perjalanan ku menjadi seorang guru, di bulan ke-7 masa penempatanku, aku mencoba menguatkan hati untuk tidak memikirkan hal-hal negatif atas masa lalu Aceh. Namun, pikiranku mulai tidak fokus pada tugas utamaku mengajar. Aku tenang, aku aman dan aku nyaman. Itu yang aku rasakan sejatinya. Beberapa kali kuterima sms yang isinya berbunyi menanyakan bagaimana keadaanku, bagaimana desaku. Jelas aku mengabarkan aku sehat dan baik-baik saja. Rupanya aku yang sudah terbiasa tak menyaksikan layar kaca, ternyata sedang marak isu keamanan Aceh menjelang Pilkada. Kami satu tim Aceh aktif melakukan komunikasi dalam rangka berkoordinasi, baik sesama PM, orangtua, Jakarta, maupun stakeholder yang ada. Kami meyakinkan bahwa kami baik-baik saja.

Hingga saat liburan semester 1 tiba, aku mendapatkan masukan untuk sementara tidak tinggal di desa. Atas saran Geuchik (kepala Desa) dan Camat. Ketika kami bertatap muka, aku justru bertanya “emang ada apa pak?saya tidak merasa diancam”. Kemudian Pak Camat mencoba memasukkan  pemahaman di pikiranku “Tidak apa-apa Ibu, kami sayang Ibu, untuk itu kami mohon Ibu menuruti saran kami”. Aku sangat menghargai para pemangku kebijakan di tingkat Kecamatan ku ini. “Kami pun tidak tau apa yang akan terjadi nanti, kami ambil tindakan preventif”.

Saran tersebut aku telaah dengan baik dan mencoba menuruti apa yang terbaik. Di kota, kurang lebih 3 minggu aku merasakan rindu yang luarbiasa. Dorongan untuk kembali ke sekolah dimana tempat ku mengajar sangat tinggi. Namun, pikiranku kembali beradu mengingat-ingat saran dari para stkaeholder yang ada. Lalu bagaimana dengan anak-anakku?ya, tentu mereka mencari-cariku. Kemanakah Ibu Erma tidak pernah terlihat untuk mengajar?

Seorang murid bernama Nisahul Hafizah memberikan sebuah buku yang berisi goresan-goresan tangannya ketika aku kembali ke sekolah bersama teman-teman dari Indonesia Mengajar. Kubuka lembar pertama isinya sebuah dongeng mengenai perkenalan 2 orang yang sudah lama tidak bertemu. Kemudian, mataku terbuka tajam pada lembar kedua. Dalam hati aku membaca :

“Dulu Aceh mengalami masalah penembakan dan peperangan yang sangat menyedihkan. Anak-anak kehilangan orangtuanya, orang dihajar dengan hajaran yang kasar. Termasuk saya pun mengalami hal yang yang hampir sama. Ibu saya sedang cuci di sungai lalu terdengar suara penembakan. Ibu saya langsung lari dan melihat salah satu warga saya ditembak 3x di badannya.

Abang saya juga dikejar-kejar oleh tentra dan waktu itu abang saya sakit lalu ibu saya menemukannya di hutan rimba. Akhirnya abang saya juga ditemukan lalu dibawa ke pos. Di sana dia disiksa, digantung dan tidak dikasih makan sama sekali. Abang saya itu namanya Razali. Dia anak yang pertama di keluarga kami. Karna Aceh dalam penembakan kami dan warga tidak bisa mencari makan. Di Aceh orang mencoba melawan tentra tapi apa guna semua sia-sia. Banyak tumpuran darah yang mengalir dan banyak orang meninggalkan anak cucu karna riwayatnya habis.

Setelah tahun 2004 di Banda Aceh mengalami tsunami. Orang menangis mencari keluarga yang tak ditemukan. Anak yatim piatu kehilangan hidupnya yang tentram. Mereka tinggal di panti asuhan tempat anak-anak yang kehilangan orang tua dan saudaranya.

Setelah tsunami selesai, Aceh hidup lagi seperti dulu tentram dan bahagia. Orang di Indonesia bangga atas Propinsi Aceh. Setelah memasuki tahun 2012, Aceh menjadi berperangan lagi. dan saya juga harus kehilangan sosok seorang guru. Dia baik dan mempunyai budi pekerti yang baik. Waktu dia pergi, aku sangat merindukannya. Dia bukan meninggal tapi dia pindah karna keadaan Aceh sangat membahayakan hidupnya. Dia Guru Indonesia Mengajar yang dikirim dari Jogjakarta. Dia juga sekolah di Universitas Gajah Mada. Saya ingin bertemu lagi dengan dia. Keinginan saya Presiden harus memanggil para penembakan agar Aceh aman dan saya bisa ketemu lagi sama ibu guru saya yaitu namanya ERMA DWI PURWANTINI.”

(*disalin dari tulisan Nisahul Hafizah berjudul “Cerita Aceh Sengsara”)

Siapa bilang Aceh tidak aman?Aku dan murid-muridku nyaman belajar di sekolah di ujung kecamatan ini. kami tertawa bersama dalam suka cita dan saling mengisi hari-hari dengan warna-warna yang lebih indah.

Hanya saja, ada orang tertentu sepertinya ingin diperhatikan menjelang masa pesta demokrasi di Aceh ini akan berlangsung.

Nisahul Hafizah merupakan salah satu dari sekian banyak tunas-tunas di ujung negri ini yang kelak akan menjadi harapan bangsa. Aku tak perlu resah, ini bagian dari pekerjaan dan sebuah pengabdian. Kelak, akan ada yang kembali untuk mereka. Ada dan tidaknya guru yang mereka inginkan, mereka tetap akan meneruskan cita-cita bangsa ini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Loen sayang aneuk Aceh (Aku sayang anak Aceh).

Salam Semangat dari Barat!


Cerita Lainnya

Lihat Semua