Aku Memang “Anak Mama”, Dari Dulu Hingga Selamanya

Erma Purwantini 25 Februari 2012

Mataku terpana oleh kebesaranNya. Memandang jauh ke angkasa takjub akan ciptaanNya. Taburan bintang malam ini kurasakan kesekian kalinya, sejak aku mendapat kehormatan ditempatkan di Aceh Utara. Anganku seketika melayang, pada sahabat terbaikku disana. Dia, yang mengiringi langkah awalku dengan tetesan airmata di bandara.

Tak lama, ku beranjak masuk ke kamar dan ingin malam ini menikmati nikmatnya rindu yang sungguh menggebu. Bibir ini saling beradu, berusaha sebaik mungkin tidak bergetar mengucap syair yang dibuat sangat padu.

 

Ohh...bunda

Ada dan tiada dirimu

Kan selalu

Ada di dalam hatiku...

 

Enam bulan sudah aku melalui hari-hariku di tempat yang sungguh menenangkan jiwa ini. Tempat dimana aku menjalankan kehormatan sebagai Pengajar Muda. Tempat dimana aku bisa pertama kalinya merasakan hidup jauh dari orangtua. Dan semua itu rasanya sungguh....LUARRR BIASA!!!

Di luar dari yang biasa, ya itulah sekarang yang ku rasa. biasanya, ibu selalu ada setiap saya butuh dia. Biasanya, sudah ada lauk siap santap ketika perut mulai meronta. Biasanya, selalu bertukar cerita sebelum memejamkan mata. Biasanya, ibu menggosokkan koin logam seratus rupiah ketika dia tau aku hanya terbaring di tempat tidurku. Biasanya, ibu menanyakan padaku mau pergi kemana ketika aku sudah terlihat rapi. Biasanya, ibu mulai memijat badanku ketika ku mengeluh atas aktivitasku yang cukup menguras tenaga.

Disini, sekarang ini. bukan berarti aku tak punya ibu. Aku jauh dari ibu. Justru, disini aku dipertemukan dengan sosok ibu yang bagiku adalah pahlawanku.

Flashback, aku tinggal bersama dengan orangtua angkat sejak penempatan menjadi Pengajar Muda bulan Juni 2011. Rasa penasaran menghinggapi ketika Pak Jakfar Ibrahim menjemputku di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Utara. Penjemputan ini berarti adalah awal ku mulai akan bertemu keluarga baru. Perjalanan dari Kota Lhokseumawe menuju dusun penempatanku dapat ditempuh selama kurang lebih 2 jam dengan perjalanan santai. Mobil Panther berwarna merah yang keadaannya bisa mencerminkan usia Kepala Sekolahku itu mulai melaju perlahan. Obrolan-obrolan perkenalan terus terjadi selama perjalanan yang disuguhi pemandangan pohon sawit dan rumah panggung khas aceh. Mulai menanyakan berapa lama perjalanan kita hingga adakah sinyal telepon di rumahku nantinya. Yah, walaupun sudah disiapkan mental untuk tak ada sinyal HP mulai dari pelatihan di Jakarta. HP tak bisa lepas dari genggamanku. Dada ini rasanya cukup dag dig dug setelah berpisah dengan teman-teman untuk menuju daerahnya masing-masing. Kulihat sesekali masih ada sinyal yang lama-kelamaan memasuki hutan sawit mulai berkurang strip sinyalnya. Dan pada akhirnya “No Service”.

Kurang lebih pukul 14.00 roda empat ini berhenti di sebuah warung untuk makan siang. “Ini kita sudah sampai di lokasi Bu Erma” kata Pak Jakfar sembari membenahi posisi mobilnya. Seusai makan, saya langsung diantar ke salah satu rumah yang letaknya tak jauh dari situ. Keluarlah 2 orang wanita dengan 1 gendongan anak laki-laki putih di tangannya. Dengan Bahasa Aceh Pak Jakfar berbincang, dan tak lama kemudian kami memasuki rumah dan ditunjukkan kamar yang terlihat sudah lama tak digunakan. Tuan rumah, alias orangtua angkatku kebetulan belum pulang ke rumah. tak lama kemudian aku mulai menurunkan barang-barangku yang cukup banyak bahkan kelebihan 10 kg dari jatah kuota bagasi yang diberikan. Segera kumasukkan barang-barangku ke kamar dan bersegera aku melaksanakan Sholat Dzuhur.

Mulai hari itu, aku bertemu keluarga baru. Mulai ayah, mamak, kakak, adik, hingga keponakan-keponakan yang cukup ramai mengisi rumah baruku. Pelan-pelan aku mulai mengisi baseline assessment daerah tempat tinggalku sehingga aku makin mengenalnya. Bahasa Aceh, ya itu yang selama ini aku belum pernah belajar. Sehingga roaming pembicaraan kerap kali menghantuiku ketika berkumpul bersama keluarga. Meski kakak angkatku sesekali menjadi ahli alih bahasa untukku. Sampai mamak ingin memasang karpet kamarku pun, aku tak mengerti bahasa itu. hingga sesekali aku harus melalui kakak atau adik angkatku terlebih dahulu untuk menyampaikan maksudku kepada mamak.

Sosok yang jarang becakap denganku itu sungguh sosok yang misterius bagiku. Karena mamak cenderung diam denganku. Kadang, sering aku merasa apa yang salah dari aku ya. Apa mungkin aku salah bersikap atau salah berkata-kata. Tapi, aku selalu ingat awal aku datang mengisi Baseline Assessment bahwa mamak hanya bisa Bahasa Aceh. Yah, aku saja yang juga kesusahan untuk cepat berbahasa Aceh J sehingga ada sekat komunikasi di antara kami.

Setiap hari, mamak kulihatnya sangat sibuk mengasuh 2 cucu yang dititipkan kakak angkat yang juga pergi mengajar. Mamak selalu setia menghidangkan nasi selepas ku pulang mengajar, memberikan ku lampu “teplok” jika listrik mati, mengetuk pintu kamarku jika ada ibu-ibu meminta bantu padaku, bahkan mengangkatkan jemuranku ketika aku tertidur lelap selepas aktivitas panjang. Namun, ia tak pernah mengeluh. Ia selalu terlihat tersenyum padaku.

Walau tanpa bahasa kami bercakap, hati kami sesungguhnya sangat ingin mengatakan bahwa kami saling menyayangi. Seperti ibu dan anak kandungnya sendiri.

Kawanku, titip “sungkem” untuk semua ibu. Yang tak pernah lelah menemani hidupmu.

 

Salam rindu untuk ibu,

Erma Dwi Purwantini


Cerita Lainnya

Lihat Semua