info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bantu Mereka Menjelajah Cakrawala Dunia

Maria Jeanindya Wahyudi 7 Oktober 2011

Kadang, aku merasa bukan seorang Pengajar Muda. Apalagi, bila sedang berkumpul dengan teman-teman PM lain yang berada di satu kabupaten. Mendengar mereka bercerita tentang susah-senang selama sebulan terakhir di daerah penempatan masing-masing, makin membuatku berpikir “Aku PM bukan ya?”

Perasaan itu muncul, tentu bukan tanpa sebab. Semua kenyamanan yang kurasakan di Arguni, nama kampungku bertugas, adalah penyebabnya. Keberadaan listrik dari pk 18.00 – 00.00, keluarga angkat yang super duper baik, dan kepala sekolah yang sangat kooperatif, adalah kondisi yang kutemukan di Arguni.

‘Sumber daya’ sekolahku juga bisa dibilang melimpah, terlebih soal fasilitas bagi anak murid. Di sekolah, setiap murid mendapatkan meja dan bangkunya sendiri. Satu meja-bangku untuk satu orang. SD Negeri Arguni juga sudah memiliki 6 lokal. Artinya, setiap rombongan belajar mendapatkan ruangannya masing-masing. 

Jumlah buku panduan bagi para siswa bisa dibilang tercukupi. Setiap mata pelajaran memiliki buku cetak dari 2 – 3 penerbit. Untuk beberapa penerbit, jumlah buku bahkan memenuhi rasio 1:1 untuk setiap siswa.Meski untuk buku terbitan Yudhistira (yang baru saja dibeli menggunakan dana BOS), 2 siswa menggunakan 1 buku.

Karena kurang apik dalam merawat buku, guru-guru di sekolahku sering meminta anak muridnya untuk mencatat (baca: menyalin) semua tulisan di buku cetak. Sayang, catatan yang sudah puluhan lembar itu akhirnya menjadi kumpulan tinta yang tak bermakna. Karena siswa hanya mencatat sembarang. Mereka pun malas membaca tulisan mereka yang acak kadut itu.

Satu kali, aku ubah metode mengajar ini. Aku membuat sebuah catatan yang dipenuhi dengan gambar-gambar dan tinta berwarna. Ternyata, mereka sangat menyukainya! Dengan semangat mereka membolak-balik lembaran kertas A5 tipis yang penuh dengan tinta itu. Akhirnya, kumpulan tinta menjadi suatu yang berguna untuk mereka.

Aku pernah bertanya kepada mereka, “kamong (kamu orang) lebih suka mencatat atau baca macam begini?” Tanpa melepaskan pandangan dari ‘buku catatan’ barunya mereka menjawab serentak, “lebih suka bacaaaaaa!”

Senyum tersungging di bibirku mendengar jawaban mereka.

Ini bukan pertama kalinya mereka excited pada sesuatu. Saat aku menempelkan peta dunia, peta ASEAN, dan peta Indonesia di ruang kelas, mereka betah berdiri di depannya selama hampir setengah jam. Demi untuk melihat nama dan bendera puluhan negara yang baru mereka tahu.

“Andai ada ensiklopedia atau buku referensi di sekolah ini, mereka pasti akan senang”kataku dalam hati.

Ya, mencerdaskan anak-anak Arguni lewat buku menjadi satu cita-cita tersendiri untukku. Karena bagiku, mereka tak jauh berbeda dengan anak-anak di Jepang. Anak-anak Arguni juga mengonsumsi ikan segar setiap hari. Intensitas makan ikan dalam sehari bisa mencapai 2-3 kali. Asupan protein tinggi ini yang membuat kecerdasan mereka seharusnya, tak perlu dipertanyakan lagi.

Hanya saja, minimnya informasi yang mereka dapatkan di kampung non-sinyal ini membuat pengetahuan mereka sebatas Arguni saja. Buku referensi, buku bacaan, majalah anak-anak, buku cerita, ensiklopedi, menjadi kunci bagi mereka untuk mengepakkan sayap, terbang mengelilingi cakrawala dunia.

Jangan tanya buku apa yang mereka butuhkan di sini. Mereka suka hampir semua buku. Mulai dari buku paket pelajaran, buku cerita, komik, majalah, hingga koran.

Kini aku mulai menyadari kebenaran pepatah “buku jendela dunia”. Ingin sekali rasanya aku membuka jendela mata dan hati anak-anak Arguni tentang dunia yang luas di luar sana. Bahwa agama tidak hanya Islam saja (seperti di kampung mereka), bahwa ada negara lain selain Indonesia, bahwa dunia ini memiliki 7 keajaiban, bahwa ada jutaan jenis ikan yang terkandung di laut (seperti laut mereka), dan masih banyak lagi.

Sebuah gedung perpustakaan (bantuan dari Pemda Fakfak) akan segera berdiri di sudut halaman SD Negeri Arguni dalam 2 bulan mendatang. Gedung perpustakaan baru ini tentu akan senang sekali bila ia bisa segera menjadi ‘tempat nongkrong’ baru anak-anak murid.

Aku pun membayangkan, anak murid duduk di lantai perpustakaan dengan beberapa buku berserakan di kakinya. Matanya berbinar excited, sambil jari-jemarinya terus membuka lembar demi lembar buku di hadapan mereka.

Semoga bayangan indah itu segera terwujud.. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua