Tabungan Hubungan

Beryl Masdiary 7 Oktober 2011

Ibu Pelatih dari UNJ bilang begitu pada kami begitu ada pertanyaan bagaimana menaklukkan hati ‘mereka yang asing terhadap kita’. Setelah perkenalan kami yang mulus dan menyenangkan, anak-anak di SD ku mulai berulah. Berlarian di kelas, keluar masuk seenaknya, menjahili teman sampai menangis, merenung lalu menanyakan sesuatu di luar pelajaran, dan tidak mau mencatat, menggambar, atau menyanyi.

Satu anak berteriak lantang, “Si Fajar nakal, Bue! Pukul saja!”. Hela napas sedikit, kucoba berujar tenang, “Ibu mengajar anak manusia disini. Bukan anak kambing, jadi tak perlu ibu pukul. Harusnya ibu kasih tahu sudah mengerti.” Lalu, “Siapa yang anak manusia disini?” “Sayaaaaa!” “Perlu Ibu pukul?” “Tidakkkkk.” Nah. Ayo kita menggambar peta! Lalu kelas pun tenang.

Hari-hari berikutnya, “Siapa yang sudah hafal nama-nama warna?” “sayaaa!” ayo berbaris, kita main game!” Berbaris untuk main Chinese Whisper, konsentrasi mereka hanya bertahan 5 menit.  Saling ejek, salah tulis semua. Lalu, “Bu, Sarina sudah nangis dipukul sama Rafi.” “Bu, ini Ipul tendang saya!”. Belajar dihentikan. Keluar main semua. Pikirkan apa kesalahan kalian.” Kembali ke kelas 10 menit kemudian,  saya tanya, dengan nada Bu Wei. Tenang sekali. “Apa kesalahan kalian?” “Pukul teman! Berisik!” “Hmm. Apa lagi?” “Tidak memperhatikan Ibu Guru! Bertengkar dengan teman!”. Lalu kalau berbuat salah harus apa? “Minta maaafff”. “Baik, angkat tangan kanan kalian, simpan di dada kiri, ikuti ibu. “Saya berjanji, akan menjadi anak yang baik dan pintar.” Save recording, play. “Ibu akan tunjukkan rekaman janji kalian kalau kalian ribut lagi di kelas.”

Esoknya, mereka tidak pukul teman, catat dengan cepat, mau membaca dan memahami penjelasan dan bisa menjawab pertanyaan dengan tepat. Well, bukan berarti cara janji tadi langsung ces pleng ampuh. Saya bukan  ahli hypnopromise atau semacamnya. Saya hanya berusaha menabung hubungan. Di dalam dan luar sekolah. Berjalan bersama ke sekolah, mendengarkan mereka bercerita, mengobati luka, membersihkan kelas bersama, mengadakan les tambahan, mandi dan main ramai-ramai di sungai dan laut, dan menghadiahi pencapaian kecil itu mendekatkan hati. Datang ke rumah mereka dan berbincang dengan orang tua mereka juga menjadi tabungan plus. “Gufran, mau jadi anak pertama yang hebat? Ayo kita belajar hitung. Harus bisa!.” Atau, “Ina-nya Har sudah titipkan Har ke Ibu biar Har belajar dan jadi pintar. Har sayang Ina? Kalau sayang, ayo selesaikan latihanmu, anak baik.” “Anisa calon ustadzah, boleh bicara kotor kepada teman? Ayo minta maaf.”

Mengajarkan materi dan membuat mereka mengerti pelajaran menjadi aspek nomor sekian begitu kita datang dengan warna kulit, bahasa, dan kebiasaan berbeda. Tabungan hubungan tulus yang dibangun perlahan membuat mereka menatap kita dengan mata tersenyum,  percaya dengan kita, dan mendekatkan hati. Belajar bukan lagi sekedar mencatat buku sampai habis atau menghitung angka, belajar adalah proses menyenangkan, membebaskan ketidaktahuan, dan menyusun bata harapan serta kepercayaan dalam diri. Begitu inginnya aku menjadi manusia seutuhnya, dengan memanusiakan manusia. Ratu dan Raja kecilku, semoga kalian menikmati proses ini sama seperti gurumu  yang juga sama antusiasnya seperti kalian. ;)


Cerita Lainnya

Lihat Semua